Cerpen Andri Saptono
Kerinduan kepada anak lanang yang tak tersampaikan menumpukkan kabut di bola mata Sanyoto. Semisal kisah Yakub yang merindukan Yusuf hingga rabun bola matanya[i].
Ya, tahun-tahun belakangan ini anaknya memang jarang sekali pulang. Kecuali, pulang setahun sekali ketika lebaran. Anak lanangnya pulang bersama dua anaknya: laki dan perempuan, serta dua pembantu sekaligus rewang mereka. Jadi mobil itu dipenuhi dengan rewang dan barang bawaan.
Namun yang kadang membuat Sanyoto dan istrinya galau, biasanya anaknya itu juga cepat pergi dari rumahnya. Keluarga putranya itu sekadar transit di rumahnya terus pergi lagi ke villa di Tawangmangu. Di sana mereka berwisata sekaligus ngadem selama seminggu. Sanyoto kadang berkecil hati kalau rumahnya ini tak cukup menyenangkan bagi anak dan terutama cucu-cucunya itu.
Sanyoto tidak tahu mengapa hal ini terjadi pada dirinya dan mengapa anaknya bersikap begitu. Rasanya begitu sedikit sekali waktu anaknya untuk menyinggahi orang tua sendiri.
“Itu karena anakmu terlalu takut dengan istrinya,” kata Paimin, tetangganya.
“Ah, kelihatannya tidak begitu,” bantah Sanyoto.
“Tetapi mengapa cepat sekali pergi, dan manut saja kalau istrinya mengajaknya ke Tawangmangu? Masak singgah di rumah orang tua, cuma maknyuk[ii] saja.”
Sanyoto tak bisa menjawab. Ia jadi terkenang dengan masa-masa dulu ketika anaknya masih tinggal bersama mereka. Anak lelaki semata wayang itu ia besarkan dengan tirakat dan beragam laku prihatin. Dengan kungkum[iii] di tempuran sungai, puasa mutih[iv] dan ngrowot[v] selama tujuh tahun, dengan nyepi ke puncak Lawu. Seorang peziarah di Argo Dalem[vi] pernah menujumkan kalau anaknya akan menjadi tokoh penting di negara ini. Seperti yang sekarang ia ketahui anaknya duduk di parlemen, duduk sebagai anggota DPR yang terhormat. Dikenal sebagai politikus ulung.
Tetapi, mengapa ia merasa makin tak kenal dengan darah dagingnya itu. Ya, ia tahu wajah itu adalah turunan wajah miliknya. Tubuh itu yang pendek gempal dan rahang yang kukuh yang sama dirinya. Ia merasa dapat mengenali diri sendiri ketika muda pada sosok anak lanangnya itu. Tetapi selain itu, mengapa ia merasa makin tak kenal? Anak lelakinya Ngadiyo yang ketika SMA masih tinggal bersama dirinya, kemudian ia kuliahkan di Jogja, di salah satu universitas ternama di Kota Pelajar itu. Hingga kemudian ia nikahkan dan ia kontrakan di sebuah rumah kecil karena mereka belum bisa mandiri.
Saat-saat awal anaknya berumah tangga, Sanyoto dan istrinya masih sempat rajin menengok anaknya itu, meskipun sebulan sekali. Membawakan beras, sayur mayur, atau ayam dari desa. Biasanya suplai makanan itu juga cepat habis dimakan bersama dengan teman-teman kuliah anaknya yang sering datang ke kontrakannya itu.
Hal itu tak mengapa bagi Sanyoto. Ia senang anaknya tidak pelit kepada temannya. Tetapi, mengapa sekarang anaknya malah pelit kepada orang tuanya sendiri. Bukan pelit soal harta tapi pelit soal waktu untuk pulang menengok. Menginap satu dua hari saja. Seolah itu perjalanan paling jauh yang akan ditempuh anaknya itu.
Oh, tidak, ia tak pernah bisa puas dengan percakapan di telepon atau sekadar chatingan dengan telepon pintar yang dibelikan anaknya. Adalah istrinya yang biasa menjawab telepon atau membalas pesan dari anaknya yang seminggu sekali masih bertukar kabar.
Juga terkadang ia bertanya sendiri, apakah nasibnya yang dicueki anak sendiri merupakan ganjaran karena ia juga sama menelantarkan kedua orang tuanya dulu? Rasanya hal itu tidak ia lakukan. Ia tinggal nyaris seumur hidup bersama mereka hingga keduanya meninggal. Ia sendiri yang menguburkan mereka berdua, nyelameti[vii] hingga sewunan[viii].
Memang ia sendiri agak pangling[ix] ternyata anaknya berbeda dengan dirinya dan orang di desa, yang kebanyakan petani atau pergi ke pabrik, tetapi anaknya ternyata melampaui orang di desa ini. Menjadi seorang tokoh politik yang terkenal, bahkan mungkin di tingkat internasional. Rasanya mongkog[x] punya anak menjadi pejabat penting. Tetapi, ia merasa tidak siap dengan konsekuensi yang tidak normal itu; kesibukan anaknya yang melalaikan keberadaan orang tuanya sendiri.
Sebagai kesibukan ia dan istrinya menanam padi dan pelbagai sayur di sawah yang dibelikan anaknya. Di sawah itu Sanyoto membuat sebuah gubug dari bambu. Dengan kesibukan begini mereka merasa tidak akan nglangut di rumah. Pun kalau panen, pisang dan sayuran sering ia bagikan kepada tetangga-tetangganya. Toh, makanan rasanya tak pernah habis di rumah.
***
“Menurutmu apa kita yang harus ke Jakarta sana, menengok cucu kita lagi, Bu? Kalau anak kita belum ada waktu, biar kita saja yang ke sana. Entahlah, rasanya aku pengin ke sana. Anggap saja ini keinginan terakhirku.”
“Halah, mbok jangan bilang gitu, Pak. Panjenengan baru umur enam puluh tahun.”
“Rasanya itu tak berlaku padaku, Bu.”
“Mbok jangan pesimis to, Pak.”
Percakapan itu terjadi malam ini. Ketika mereka akan berbaring di penghujung Rajab.
“Dua bulan lagi, Ramadhan ya bu?”
“Iya, berarti tiga bulan lagi, lebaran.”
“Semoga kita menangi[xi] bulan Ramadhan, ya Bu.”
“Insya Alloh, Pak.”
Suaminya diam. Suasana tambah ngelangut saja di kamar.
“Oh ya, Dio telepon tadi siang. Katanya, selama tiga bulan dia ada safari keliling Indonesia. Tidak bisa mampir,” istrinya bicara.
“Tiga bulan? Artinya lebaran ini tidak bisa mampir?”
“Kira-kira begitu.”
“Duh, kok sibuk banget to.”
Istrinya berbaring duluan. Cepat sekali memejamkan mata. Mungkin karena seharian di sawah. Akan tetapi Sanyoto masih saja sulit memejamkan mata. Hingga, ia bisa memejamkan mata kemudian setelah memantapkan dalam hati, ia akan mengajak istrinya ke Jakarta besok. Ya, besok pagi, hendak ia nyatakan keinginan itu pada istrinya.
****
Istrinya tidak terkejut ketika suaminya dadakan mengajak ke Jakarta pagi itu. Diiyakan saja. Sebab ia tahu keadaan hati suaminya. Betapa lelaki itu ingin sekali melihat anaknya. Karena hanya Ngadiyo itulah anak semata wayangnya. Tapi, siapa sangka anak laki-laki semata wayangnya itu seakan milik menantunya. Ia tahu hal itu tapi tak ingin ia nyatakan kepada suaminya. Takut membuat suaminya tambah terluka.
“Apa ditelepon dulu. Biar mereka persiapan menjemput kita di stasiun, Pak?”
“Kamu aja yang telepon.”
Istrinya mengambil telepon pintar yang mahal itu. Ia menekan nomor kontak anaknya. Tersambung.
“Assalamu’alaikum, Dio… apa kamu sedang sibuk sekarang?”
“Wa’alaikum salam. Tidak Bu. Tapi, masih dinas luar kota. Wonten dhawuh napa?[xii]”
“Oalah, ini Bapakmu kangen, ngajak nengok Dodo dan Lusi,”
Istrinya melirik pada suaminya yang cemberut saja disinggung begitu.
“Ya, silakan Bu. Tapi, dalem[xiii] tidak tahu bisa pulang kapan. Jadi mungkin nanti di sana hanya ketemu dengan Ndari dan anak-anak.”
“Yo wis. Tak apa. Ini kami berangkat pagi. Tolong nanti ada yang jemput di stasiun ya?”
“Nggih[xiv] Bu. Pak Rejo nanti biar yang jemput.”
“Pembantumu itu masih awet to?”
“Iya Bu. Tak kasih gaji dua kali lipat biar dia kerasan.”
Ibunya manggut-manggut. Kemudian pamitan. Telepon ditutup.
“Gimana Pak, jadi berangkat? Ngadiyo masih di Bali sekarang.”
“Ya, jadi berangkat. Nanti kita nginep di sana seminggu. Kunci rumah kamu titipkan kepada Mbakyu Giyem saja.”
Perempuan yang telah menjadi istrinya lebih dari 40 tahun itu tersenyum saja, mengiyakan semua keinginan suaminya. Paham apa yang ada di dalam dada lelakinya.
“Pak, aku mau tanya?”
“Soal apa?”
“Bapak ridha anak kita jadi orang besar seperti sekarang? Bapak, yang rutin tirakat kungkum setiap malam Jumat. Suka puasa mutih dan ngrowot selama tujuh tahun biar si Ngadiyo itu jadi sukses, tapi akhirnya jarang pulang menengok kita?”
Lelaki itu terkesiap dengan pertanyaan istrinya. Sejenak ia menghela napas.
“Kalau mau jujur, sakjane[xv] tidak seperti ini harapanku Bu. Tapi, kalau memang sudah begini pinastine[xvi], mau apa lagi? Ya, semoga saja, anak itu masih menangi jasadku di atas bumi kalau aku mati, Bu.”
Perempuan itu tergugu dengan jawaban suaminya.
“Yo wis, ayo mangkat saiki.”[xvii]
Perempuan itu mengangguk. Sendika dhawuh[xviii] dengan perintah suaminya. Seakan perintah suaminya memang harus ia turuti karena begitu rapuh sekali umur mereka. Entah hari ini, atau besok rasanya ajal itu begitu dekat. Sementara tidak ada yang tahu, akankah ajal mau berkompromi dengan rindu?*****

Andri Saptono, tinggal di Karanganyar. Sibuk berbuku dan mengelola penerbitan indie. Sedang menyiapkan novel untuk ulang tahunnya yang ke-40. Alamat surelnya: andri_saptono@yahoo.co.id.
[i] Kisah Nabi Yakub yang rindu dengan Yusuf yang hilang karena “dibuang” oleh saudara-saudaranya.
[ii] Maknyuk, Jawa, ungkapan superlatif yang maknanya waktu yang sangat singkat.
[iii] Tirakat dengan berendam di sungai pada malam hari, di waktu tertentu. Sungai pun dipilih yang terkenal angker. Misal berendam di sendang atau tempat mata air atau tempuran.
[iv] Puasa dengan berbuka makan nasi putih saja, atau umbi-umbian yang berwarna putih.
[v] Puasa dengan berbuka hanya dengan makan umbi-umbian. Kesemua laku prihatin tersebut menjadi tradisi orang Jawa yang ingin hajat dirinya terkabul.
[vi] Argo Dalem, salah satu dari tiga puncak di Gunung Lawu, Jawa Tengah; yang lainnya ada Argo Dumilah dan Argo Dumuling. Konon merupakan pusat lokasi mistis di pulau Jawa ini.
[vii] Selametan, upacara atau ritual yang maknanya agar arwah leluhur selamat di kehidupannya (alam Barzah).
[viii] Sewunan, bagian dari acara selametan untuk orang meninggal, atau selametan seribu hari.
[ix] Takjub, tidak kenal, lebih dimaksudkan sebagai pujian.
[x] Mongkog, Jawa, bangga, ikut berbesar hati
[xi] Menangi, Jawa, masih bersua baik zahir maupun batin.
[xii] Wonten dhawuh napa? Jawa, terjemah bebasnya ada perintah apa. Tetapi, ini biasa dipakai untuk berbasa-basi dalam budaya Jawa sekaligus menunjukkan ikram (ingin memuliakan kepada orang yang dihadapi, entah karena lebih tua, atasan, atau mungkin orang tua sendiri)
[xiii] Dalem, Jawa, saya (kromo inggil)
[xiv] Nggih, Jawa, ya
[xv] Sakjane, Jawa, seandainya atau inginnya
[xvi] Pinastine, Jawa, takdirnya atau ketetapan di Lauh Mahfuz
[xvii] Jawa, Ya sudah, ayo berangkat sekarang.
[xviii] Sendika dhawuh, Jawa, manut dan menaati perintah
Sedih ceritanya