Cerpen Rahma Syukriah Sy
Hendak kuapakan tubuh suamiku yang terbujur kaku ini? Bisakah kusimpan saja? Kalau ia yang kusayangi membusuk bagaimana?
“Pak, aku harus bagaimana?”
***
Orang-orang membawa nasi berkat, berjalan gontai penuh tawa, berbincang riang entah apa saja. Besek, kata mereka. Isinya tak tanggung-tanggung, nasi lengkap dengan lauk, lalapan serta sambal. Lalu ditambah buah-buahan, kue basah dan agar-agar. Bahkan di antara mereka saling rebut, demi mendapatkan lebih banyak berkat untuk dibawa pulang. Bagi mereka berbagi besek, bentuk berkat untuk semua tetangga dan sanak saudara. Tak jarang di antara mereka membawa dua sampai tiga besek.
Dari wajah mereka yang gembira, siapa sangka sesungguhnya nasi berkat itu mereka bawa dari rumah duka. Ah, kegembiraan dan kesedihan kadang begitu lekat, dan doa-doa hanya sebentuk ritual, selebihnya untung rugi. Jika kita ingin beruntung dan tak mau rugi, cukup pergi ke rumah duka, lalu mengaji. Nasi berkat sudah menanti.
Aku mengintip dari kaca jendela, orang-orang bersarung pulang mengaji dari rumah Pak Waluyo yang meninggal sore kemarin.
“Serius benar, ada apa?” Suamiku yang sebelumnya tengah terbaring di kasur menguntit, lalu mengejutkanku.
“Itu, Pak. Orang-orang pulang melayat.”
“Memangnya kenapa?”
Kupalingkan badan, kamar kontrakan kami berukuran tiga kali empat, dari tempatku berdiri aku masih bisa melihat senyumnya. Aku berjalan mendekatinya, memandangnya, mengelus tangannya yang kian keriput, gurat-gurat menua sudah memenuhi wajahnya. Tapi senyumnya masih sama.
“Tidak, Pak. Aku hanya berpikir. Maut bisa datang tiba-tiba. Kemarin aku masih melihat Pak Waluyo lewat di depan rumah. Sorenya sudah diumumkan di musala beliau berpulang.”
“Iya, tinggal kita menunggu giliran.”
“Pak.” Kuelus tangannya, “Jangan ngomong gitu, kita akan bersama selamanya.”
Perbincangan itu tak berlanjut lagi, aku hanya berbaring di sampingnya, sesekali terdengar ia terbatuk-batuk sedang matanya terpejam. Puluhan tahun hidup di perantauan bersamanya tak pernah ia mengeluh. Walau hidup serba berat, tapi berdua bisa kami lewati. Mungkin itu cara Tuhan mencintai kami, hingga usia senja, tak dikaruniai anak juga anugerah. Untuk bertahan hidup berdua saja kami susah, apalah nasib jika punya anak?
Hidup di kota tak seenak di kampung. Di kota serba uang, jangankan bertahan hidup, mati saja masih perlu uang. Masih teringat perbincangan kami dulu. Dua tahun lalu, teman kami sesama pemulung meninggal dan tak punya biaya sepeser pun. Beruntung keluarganya dari kampung datang menjemput setelah sebelumnya dibawa dengan ambulans ke rumah sakit.
Sejak saat itulah, aku dan suami memutuskan menabung setiap hari barang dua ribu atau lima ribu perak. Persiapan kematian kami. Mengingat tak ada siapa-siapa yang akan mengurus kami.
“Untuk biaya pemakaman delapan ratus ribu katanya, Bu.”
“Ooo.” Itu saja komentarku, semoga uang segitu bisa terkumpul nanti.
“Ada lagi, uang penyelenggaraan jenazah sejuta lima ratus.”
Tak tanggung terkejutnya aku mendengar perkataan suamiku. Hah? Penyelenggaraan jenazah yang dimaksud memandikan, mengafani, mensalatkan, mendoakan. Itu dibayar? Melihat aku yang tak ada respon. Suamiku hanya tersenyum lalu berkata, “Memang begitu, Bu! Semuanya bayar, belum nanti nasi berkat, uang tahlilan, dan lain-lainnya.” Kenapa urusan mati menjadi berat begini? Tak bisakah kita mati lalu disalatkan oleh jemaah musala, dan dikubur di TPU, tanpa ada tetek bengek lainnya?
Aku memejamkan mata mengingat-ingat perbincangan itu. Sebelum akhirnya terlelap tidur di sampingnya, aku masih mendengar beberapa kali suamiku terbatuk.
Entah pukul berapa aku terbangun, rasanya dingin sekali, biasanya kalau tidak selepas hujan tak dingin begini. Aku beranjak dari tempat tidur lalu memeriksa jendela, barangkali lupa ditutup. Tidak! Sudah terkunci rapat, lalu aku beringsut mengambil minum. Tepat di sebelah suamiku yang tertidur kusediakan termos, agar jika nanti ia butuh minum, aku bisa langsung mengambilnya. Suamiku suka minum hangat. Sejak menderita batuk parah enam bulan lalu, air hangatlah satu-satunya yang bisa melegakan dadanya. Kadang ia sesak, semalaman batuk tak berkesudahan sampai-sampai suaranya parau. Sempat beberapa kali kubawa ia ke puskesmas. Kata dokter, suamiku sakit paru-paru. Obatnya sangat banyak, dan harus ditebus setiap bulannya. Hal itu yang menyebabkan tabungan kami terkuras. Setelahnya kami tak ke puskesmas lagi.
Anehnya, setelah rutin minum obat badannya makin menyusut. Tak ada tenaga lagi, ia banyak berbaring. Tak kuizinkan lagi memulung bersamaku.
“Pak, mau minum dulu?”
Aku membangunkan suamiku yang tampak lelap tidurnya. Sedari tadi aku terbangun tak sekalipun kudengar suara batuknya. Kulihat jam dinding sudah pukul tiga pagi, biasanya ia bangun sekadar meminta minum atau hendak ke kamar mandi.
“Pak,”
Tak ada jawaban, kugenggam pergelangan tangannya yang hanya tinggal tulang itu, dingin. Aku khawatir, spontan kuguncang-guncang bahunya, memanggil-manggilnya tapi tak ada jawaban. Perasaan risau menjalar sampai ke hati, rasanya perih. Kukuatkan hati mendekatkan telinga ke hidungnya. Benar, tak ada suara, tak ada deru napas.
Lama aku termenung, tak bisa membendung air mata. Tak menyangka sesakit ini rasanya ditinggalkan. Kubaringkan diri di sampingnya kembali, menatap lama wajahnya yang lusuh, tirus. Pak, aku harus bagaimana?
Seharian itu aku hanya berbaring di samping jenazah suamiku, tak tahu hendak apa, aku tak punya uang sepeser pun. Kembali kuhitung-hitung, berapa kira-kira total biaya yang diperlukan. Kepalaku menjadi sakit, rasanya tak bisa berpikir apa-apa lagi.
Hari itu rasanya berlangsung lama sekali. Sesekali kuhalau lalat yang hinggap di jasad suamiku. Aku benar-benar hilang akal, tidak tahu harus minta pertolongan kepada siapa. Hingga magrib menjelang jasad suamiku belum terurus. Aku berjalan ke sisi jendela, lagi orang-orang yang sama lewat di depan rumah, membawa nasi berkat dari rumah pak Waluyo, pengajian hari ketiga.
“Pak, apa aku minta tolong orang-orang itu? Minta belas kasihan menguburkanmu dengan cuma-cuma.”
Hening, malam makin dingin. Kembali kubaringkan diri di samping tubuh suamiku yang mulai kaku.
“Tak apa-apa, Pak. Ada aku, aku akan menemanimu.”
Entah jam berapa, aku tertidur lelap sekali, rasanya lelah menangis dan berpikir seharian. Ketika terbangun kurasakan gelap gulita, mungkin lampu mati, kuraba-raba di sebelahku, masih ada suamiku yang kaku, lalu kupeluk ia erat-erat. Dulu semasa hidup, ia selalu ada untukku, apa pun ia lakukan untukku, satu saja yang ia tak bisa. Ia tak bisa berada dalam kegelapan, tidur pun kami menyalakan lampu terang. Jika gelap, tiba-tiba ia akan sesak dan panik, ia benci gelap. Kembali kueratkan pelukan.
“Tak apa, Pak! Ada aku.”
Pagi menjelang, aku masih bingung hendak diapakan suamiku yang semakin banyak dihinggapi lalat. Apa aku kubur saja di lantai rumah ini? Bagaimana kalau aku bongkar saja ubinnya, rasanya tak begitu susah. Kutempelkan telinga mengetuk-ngetuk ubin, mencari bagian yang suaranya agak redam. Satu, dua, tiga, empat, kutandai bagian yang mungkin bisa dilepas.
Dengan peralatan seadanya, palu, pisau dapur dan gunting mulai memecah satu per satu ubin. Dua ubin berhasil kulepas, tapi ubin lainnya sulit dipecah. Lalu kuputuskan menggali lewat dua ubin itu.
Ketika proses penggalian lewat dua ubin itu aku perpikir tentang bagaimana cara menguburkan suamiku. Aku perlu memotong-motongnya menjadi bagian-bagian kecil. Tentu saja setelah itu lubang ini akan cukup mengubur tubuhnya. Tak kupikir lebih lama lagi, dengan alat yang kupakai untuk menggali, kupotong-potong suamiku dengan perlahan, agar ia tak merasakan sakit.
“Pak, sabar ya! Sebentar lagi akan kukubur.”
Sesekali di sela pekerjaanku memotong-motong suamiku, kuhalau lalat yang kian banyak. Tak cukup pisau, kuambil gergaji, sepertinya bisa mempercepat pekerjaanku. Aku tak mau menunggu malam tiba, aku ingin menguburkan suamiku secepatnya. Kasihan, sudah terlalu lama jenazahnya terlantar.
Sedang konsentrasi dengan pekerjaanku, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu. Aku kaget, pekerjaanku belum selesai. Baru kaki dan tangan yang berhasil kupotong. Tak kuhiraukan ketukan itu. Aku melanjutkan memotong bagian dada. Pikirku, ini tak akan lama, sejam atau dua jam lagi ubin akan tertutup. Namun, ketukan itu terus terjadi, bahkan sudah menjadi gedoran, tampak tak sabar. Gedoran pun beralih ke jendela, aku masih tak menghiraukan, pekerjaanku kulanjutkan.
“Tak apa-apa, Pak! Sebentar lagi selesai.”
Tiba-tiba pintu didobrak, dibuka paksa. Orang-orang masuk, aku merasa kami diserang. Aku melihat mereka yang lalu lalang membawa nasi berkat beberapa hari lalu. Mereka menunjuk-nunjuk ke arahku sembari berteriak-teriak, lalu beberapa orang memegangiku, berusaha menyeretku ke luar.
“Aku ingin menguburkan suamiku!” Berkali-kali kuteriakkan itu, tapi mereka abai.***

Rahma Syukriah Sy, seorang ibu (agak) muda, penikmat puisi dan karya sastra yang menghabiskan hari-hari bermain bersama dua buah hati yang lucu-lucu dan adik-adik di Rumah Belajar Ka Rahma. Sekarang tengah aktif mengikuti event-event menulis dan menerbitkan beberapa antologi bersama. Bisa mengunjunginya di FB, IG dan akun Opinia dengan username yang sama @RahmaSyukriahSy