Cerpen Yeni Kartikasari
Mustika merasakan telinganya berdenging. Saat pandanganya dibuang ke luar jendela, kebenciannya bagai bara dalam sekam. Baginya, dendam bukanlah sebuah kejahatan, jika dibalas sedikit demi sedikit. Di samping kolong amben, ia menata sesajen. Jerami dibakar, dupa dinyalakan. Ia bergerak dengan perlahan supaya tidak diketahui siapapun, sekalipun ibunya yang sakit dan bergumam tentang karma. Mustika tak tahu persis apa yang dimaksud ibunya. Hanya kesumat yang saat ini Mustika pikirkan.
“Mampus!” gumam Mustika.
Serabut kelapa ditata memajang. Ujung-ujungnya dipangkas rapi sebelum ditekuk menjadi dua bagian. Mustika mengikat lengkukan seperti membentuk kepala hingga dua cabang di bawahnya seolah menyerupai kaki. Ketika bagian lengan telah ditambahkan, ia sedikit menjauhkan tangannya—memastikan boneka telah berbentuk. Sebuah foto dikeluarkan dari kantong. Kedua matanya memandang dengan amarah. Selesai ritual nanti, ia ingin segera menusuk-nusuknya.
Namun, hati Mustika berkecamuk saat memutarkan boneka di atas anglo. Jika upayanya menjauhkan Kinanti dari Damar berujung kematian, Mustika akan menanggung dosa besar. Apalagi, ibunya pernah mengatakan perbuatan syirik dapat mendatangkan kesialan. Saat asap jerami berlenggak-lenggok di udara, Mustika terseret bayangannya.
“Kamu pasti lupa,” ucap Kinanti seraya mengulurkan sampur di pentas bulan purnama. Mustika menerimanya dengan terpaksa. Ia sempat berpikir, apakah Kinanti rela kehilangan pamor?
Kenangan itu tidak dapat diusir dari benak Mustika. Sampur itu mengembalikan kepercayaan dirinya, sehingga ia dapat melenggang ke kanan-kiri, sesekali dikalungkan ke leher bujang ganong yang menghampiri. Saat itu, Mustika sangat menginginkan Damar mendekat di tengah tariannya. Tetapi, kenyataan memang sering mencurangi harapan. Damar justru meninggalkan lapangan di saat penonton semakin bergairah. Langkah Mustika berubah lemah setelah pandangannya bertemu dengan jathil lainnya. Dari gerakan mulut mereka, ada dua kata yang terserap; Kinanti dan masuk angin. Menyadari keberadaan Kinanti nihil, anggainya mencuat, nuraninya berdebar-debar. Perlahan, Mustika menepi dan berlari memikul bimbang.
Sejak mengetahui bahwa Damar menemani Kinanti di bilik rias, Mustika menyaksikan bahwa cinta tidak bergerak atas muruwah dan petuah. Di ambang kelambu, Mustika berdiri dengan punggung terguncang dan bibir bergetar. Damar menadahi muntahan Kinanti dengan rompinya. Bau telur busuk dan amonia menguar seiring dengan keluarnya sari-sari makanan. Hal yang memerihkan perlahan terjadi, Damar mengusap air liur, mengolesi minyak kayu putih, dan mengeluarkan sebuah koin untuk mengerok tubuh Kinanti. Lagi, kerelaan itu membuat Mustika menangis.
Kebenciannya mendarah daging pada pementasan berikutnya. Pada pagelaran reyog obyok di telaga Ngebel, hatinya terasa ditusuk ribuan jarum. Di antara keriuhan penonton yang berteriak cabul, Damar berjalan sambil menenteng topeng bujang ganong ke tengah panggung. Sebelum dipakai, ia berjalan memutari Kinanti dan mencolek pinggangnya. Gong berdentang-dentang, terompet ditiup panjang. Damar melakukan gerakan magak dengan iringan senggakan. Mustika sangat geram menyaksikan Damar memajukan kepala dan mengulir tangannya seperti hendak merengkuh Kinanti. Lekas, api cemburu menyulut dengan ganas.
Mustika yang merasa muak dengan kejadian itu akhirnya mulai merencanakan pembalasan. Lewat ilmu sihir yang dipelajari dari internet, ia mengumpulkan barang-barang perlengkapan; anglo, jerami, dupa, tanah kuburan, paku, jarum, serabut kelapa, dan bunga setaman. Ia ingin menunjukan bahwa orang-orang yang tersakiti tidak dapat terkalahkan.
“Tikus tengik!” umpatnya.
Satu persatu, air mata Mustika berjatuhan. Beriring dengan gerakan memutar boneka di atas anglo, jerit tangis memekik telinganya. Samar-samar, Mustika mendengar kata ibu. Dalam beberapa saat, pintu kamarnya digedor-gedor.***

Yeni Kartikasari, mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Ponorogo. Dapat disapa melalui @yeni_kartikasarii.