Cerpen

Gaun Hijau Botol

December 14, 2021

Cerpen Jeli Manalu

Nirara berdiri tepat di depan sebuah toko, ketika notifikasi WhatsApp membuat getaran dalam saku jaketnya. Ia membuka pesan itu sesaat setelah mengalihkan pandangan dari gaun hijau botol yang dipakai patung berambut ikal, seperti rambutnya. Isi pesan dalam ponselnya, menjelaskan pada hari raya Natal akan datang seorang pastor tamu. Si pembuat pesan, yakni ketua paduan suara, mengatakan tahun ini harus lebih semarak dan meriah dari tahun-tahun sebelumnya. Kelompok paduan suara akan mengenakan baju seragam.

Membaca pesan itu, di mana seruan ketua merupakan keharusan terlebih telah didukung anggota lainnya, harapan Nirara tentang Natal dengan gaun hijau botol yang menggembirakan hati pupus seketika. Mengenakan seragam, membeli baju jadi ataupun menjahitkannya, itu artinya ada pengeluaran tambahan di bulan yang sama. Sementara, sejak gaun hijau botol dipajang pemilik toko, di mana Nirara dapat melihatnya setiap pergi dan pulang bekerja hampir seminggu lamanya, karena telanjur naksir namun belum tiba tanggal gajian, ia membujuk majikannya supaya diberi pinjaman demi menyerahkan sejumlah uang kepada pemilik toko sebagai tanda jadi, sehingga gaun itu tidak dijualkan kepada orang yang barangkali berminat membelinya. Dan sekarang, setelah mendapatkan maklumat penting di hari yang genting, selain tak dapat memiliki gaun hijau botol, kemungkinan kehilangan uang tanda jadi sebagai kompensasi karena membatalkan pesanan turut mengganggu pikirannya. Jika harus mengambil gaun bersamaan dengan baju seragam, itu mustahil lagi. Ia tidak punya cadangan uang. Rekeningnya sudah lama tak ada isi. Bila dulu belanja-belanja perkara gampang, pada kehidupannya sekarang, segala sesuatu terasa sulit.

Belakangan, sebelum tiba masa gajian, ia membuat catatan esktra ketat terhadap nominal yang hendak diterimanya. Sesudah uang di tangan, ia langsung membelanjakannya untuk kebutuhan sebulan penuh, hanya menyisakan kebutuhan lauk-pauk yang dibeli per dua hari. Token listrik, beras, minyak sayur, serta isi ulang gas 3 kilo berlabel “hanya untuk masyarakat miskin.”

Ia bimbang, juga mulai bersedih. Ingatan akan gaun berwarna hijau, yang pernah dibelikan Tona, suaminya pada Natal pertama saat mereka baru berumah tangga, hadir dalam lamunannya.

“Buka dan lihatlah. Nama warnanya, hijau botol,” kata Tona, waktu itu.

Hijau botol. Seperti warna botol kaca muatan 620 ml, tempat bir bergambar bintang. Hijau yang gelap. Atau seperti warna kasula pada masa minggu biasa dalam liturgi—Tona mengatakan itu merupakan warna kesukaannya, juga Nirara.

Lelaki itu mengaku senang ketika Nirara mulai memasukkan kepalanya ke lorong gaun. Saat Nirara merentangkan kedua tangan dan menggerak-gerakkan badan, Nirara merasakan tangan Tona membantu Nirara membetulkan di bagian dada sampai pinggul. Gaun itu kemudian Nirara tahu berbahan katun lembut, namun sedikit tebal. Dalam cermin ia melihat dirinya yang sedang mengenakan gaun berkerah lebar, di mana pada sepertiga bagian ujungnya terdapat lubang-lubang mungil menyerupai gambar hati. Panjang gaun setengah betisnya. Risleting di bagian belakang. Ketika hendak mengenakannya untuk merayakan malam Natal di gereja, Nirara meminta tolong pada Tona supaya mengancingkannya. Tona memegang kepala risleting, tapi ia berkata agak kesulitan melakukannya. Ia menarik ke atas, lalu menurunkannya lagi sebelum benar-benar mencapai puncak, ia bilang resletingnya mungkin perlu diberi lilin sedikit supaya lincah gigitannya.

“Jangan bercanda, nanti kita terlambat,” protes Nirara.

Lama-lama, mereka malah saling mencumbu, sampai-sampai tiba di gereja tepat ketika pastor berkotbah di altar cintanya Tuhan tentang kelahiran bayi Yesus. Dan sebulan setelahnya, Nirara mengandung anak pertama, meski pada usia kehamilan tujuh minggu ia mengalami keguguran.

Di depan toko yang ramai oleh lalu lalang pengunjung, tiba-tiba, penyesalan kecil timbul di dada Nirara. Barangkali, bila tidak terlalu memikirkan prinsip hidup tentang masa depan kesendiriannya apabila sudah ditinggal mati Tona, sejak lama, yakni tidak mau seperti tetangganya yang memilih hidup sepi saja sejak ditinggal mati kekasih hatinya, bisa jadi, Nirara tidak sedilema sekarang ini. Ia tidak perlu menghapus keinginan pribadi atas nama kebersamaan. Sepanjang lima tahun, ia sudah mengikuti segenap aturan tak tertulis di kelompok paduan suara—wujud nyata dari sebuah kekompakan, begitu para anggota menamainya. Menjahitkan kebaya lengkap dengan roknya saat uskup berkunjung. Membeli sepatu pantofel merah ketika ada pertandingan kor antar stasi. Membayar kaos bersablon nama paduan suara saat berwisata rohani ke luar pulau, topi lebar ala perempuan bangsawan Inggris, membayar tiket, membeli syal ungu, membeli celana berwarna sama, bergantian mentraktir bila tiba hari ulang tahun, dan lain-lain dan lain-lain.

Saat itu, tiga minggu setelah Tona tiada, Nirara segera membuat keputusan. Pengurus gereja ditemui, dan berkata jika dirinya berniat menjadi anggota paduan suara. Kehadirannya disambut dengan penuh suka cita. Pertemuan selanjutnya setelah dirinya resmi bergabung, ia mengadakan jamuan makan malam di rumahnya. Bulan-bulan setelahnya ia lalui dalam kebersamaan. Empat kali Natal tak satu pun ia lewati dengan perasaan seorang diri, meski sejak kepergian Tona, hari-hari ia lalui dalam kemerosotan ekonomi.

Ia memang tidak terlalu peduli ketika tak pernah lagi membeli kepiting gendut-gendut untuk dijadikan sup kincung pedas, walau itu sekadar mengenang ulang tahun pernikahannya dengan Tona di masa lalu. Ia mengisi waktu dengan latihan vokal. Tampil di hari Minggu sebagai pemazmur atau pemimpin lagu, juga peserta kor. Menyanyi di pesta pernikahan, hingga upacara kematian. Dan ini mestinya Natal kelima dirinya merupakan bagian dari komunitas itu.

Natal memang belum waktunya walau Desember sudah merayap. Natal masih seminggu lagi, meski orang sudah ramai keluar-masuk toko pakaian, memilih model dan warna yang disuka, mencoba apakah kekecilan atau kebesaran hingga membawanya ke rumah dengan hati senang. Natal memang belum tiba, meski beberapa perempuan paruh baya yang datang tanpa ditemani seseorang, tampak menghadiahi diri mereka dengan satu atau dua pasang baju untuk menghindarkan hati dari nelangsa.

Nirara sebentar berpikir, jangan-jangan si tetangga, yang hidupnya terkesan menyedihkan karena menutup diri dari semua kemungkinan membahagiakan, saat ini justru lebih bersuka cita ketimbang dirinya. Bisa jadi perempuan itu, ada datang membeli gaun kesukaan di toko sama dengan Nirara tanpa diketahui. Perempuan yang selalu menutup pintu, dan tiap sore masih menyeduh dua gelas teh lalu duduk di balkon menatap matahari hingga tenggelam mungkin saja sedang bersenang-senang dengan pikiran serta keinginannya sendiri. Tak perlu merasa terganggu harus mengenakan baju ini atau sepatu itu. Model rambut ini, atau apakah gunanya sebuah topi dan syal, atas nama sebuah kekompakan tanpa peduli apakah perempuan paruh baya seharusnya tak perlu bekerja terlampau keras setelah ditinggal mati pasangan hidupnya demi itu semua.

“Apa gaunnya akan diambil sekarang?” tanya pemilik toko, sewaktu Nirara melangkah ragu-ragu di antara kerumunan di mulut pintu, dan matanya terpaku pada gaun hijau botol dikenakan patung berambut ikal, seperti rambut miliknya yang tak ingin ia ubah, meski teman-teman di paduan suara beberapa sudah meluruskan serta mewarnai rambut mereka untuk persiapan Natal meriah bersama pastor tamu.

“Banyak orang menanyai gaun ini. Tapi sepertinya, hanya kaulah yang beruntung mendapatkannya,” kata pemilik toko lagi.

Nirara berusaha tersenyum, belum tahu harus menjawab apa. Ia tentu mengerti perasaan pemilik toko, mengharapkan supaya barang dagangannya cepat habis, sehingga dapat menuntaskan keinginan pribadi menjelang Natal. Sejak dirinya hanya berdiri sesudah membaca maklumat penting dari ketua paduan suara, ia sesekali memperhatikan bila si pemilik toko menawarkan pakaian dengan warna atau corak berbeda ketika pengunjung ingin mencoba gaun pilihannya.

“Aku akan membungkusnya sekarang,” ujar pemilik toko, ia memiringkan tubuh patung supaya lebih mudah melepas gaun.

“Tapi aku belum punya uang. Maksudku, aku gajian tiga hari lagi.” Nirara mencoba berkelit.  

Pemilik toko melongo. Wajahnya tidak menunjukkan kesan marah, pun tak tampak bersedih. Dan Nirara, hanya berdiri saja menyaksikan pintu toko mulai ditutup, hari sudah sangat malam. Keesokan hari saat akan berangkat dan pulang bekerja, Nirara tak pernah lagi melihat toko itu buka. Begitu pula hari kedua dan ketiga seperti dijanjikannya, pun hari-hari berikutnya.

Nirara mengaktifkan ponselnya, dan mencoba menghubungi nomor yang tertera di pelat nama toko. Menunggu teleponnya diangkat pemilik nomor, Nirara menggeser-geser layar ponselnya. Ia buka galeri, mencari foto dirinya mengenakan gaun hijau botol, ketika sempat mencobanya di ruang ganti saat pertama kali datang ke toko.

Si pemilik nomor belum juga mengangkat telepon dari Nirara. Nirara mencoba menghubungi sekali lagi, sambil jarinya terus mencari foto gaun hijau botol di galeri ponsel. Saat bersamaan, lonceng gereja terdengar liris di tempat jauh. Malam pukul 19.00. Natal bersama pastor tamu, barangkali sudah dimulai.***

Riau, Desember 2021


Jeli Manalu, senang menulis dan berkebun. Ia lahir di Padangsidimpuan pada 2 Oktober dan saat ini tinggal di Rengat Riau. Cerpen-cerpennya terbit di media lokal dan nasional. Buku kumcernya “Kisah Sedih Sepasang Sepatu” tahun 2018.

Only registered users can comment.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *