Cerpen

Ingin Kuinjak Kepala Orang Ini

May 23, 2023

Cerpen Aliurridha

“Jadi antar Ibu pulang?” Pertanyaan itu datang ketujuh kalinya. Bantal tebal yang menutup telingaku tak cukup membendung suara cemprengnya. Selang lima menit sekali, dia datang ke depan pintu kamarku, meneriakiku dengan pertanyaan yang sama. “Sebentar. Sepuluh menit lagi,” balasku. Ketika gerutuannya menjauh, aku merasa lega. Tetapi itu sebentar saja, karena tidak sampai lima menit, dia sudah datang lagi, memanggil namaku dan mengulang pertanyaan yang sama: “Alif… Jadi antar Ibu pulang?” Sialan, ingin kuinjak kepala orang ini. Namun, aku berhasil menahan diri untuk tidak melakukannya.

Dengan mata mengantuk dan pikiran terantuk kesal akibat kurang tidur, aku membasuh wajah sembari berharap air bisa membilas kantuk dan kesalku. Semalam aku tidur kemalaman, persis seperti malam kemarin, seperti juga malam sebelum kemarin, seperti juga malam tahun lalu, seperti juga malam sepuluh tahun lalu; aku benar-benar tidak ingat kapan terakhir kali aku tidak tidur kemalaman. Seingatku, sejak aku punya kesadaran tentang hidup yang brengsek ini, aku selalu tidur kemalaman.

“Ibu sudah nunggu di depan, Bang,” kata istriku.

“Aku tahu,” balasku ketus.

Tidak perlu dikatakan juga aku tahu. Dari tadi ibu sudah mengganggu tidurku. Padahal sudah kukatakan kalau aku akan mengantarnya jam tujuh, tapi belum juga jam setengah enam ibu sudah bolak-balik membangunkanku.

Kulihat ibu tengah duduk pada sebuah kursi kayu di teras rumah. Di sebelahnya, terbaring sebuah tas ransel berwarna cokelat yang rasanya terlalu besar untuk tubuhnya yang terlalu kecil. Beberapa lubang terlihat pada tas ransel yang telah terlalu lama membebani pundaknya. Kaosnya yang agak kebesaran itu tersingkap pada bagian pundak, memperlihatkan tulang bahu yang menonjol seperti ruas-ruas akar pohon yang menyeruak dari dalam tanah. Topi berwarna cokelat bersetia di kepalanya, menutupi rambut pendek berwarna abu-abu, menyusul kisah kelabu yang menjadi warna dominan dalam hidupnya.

“Ibu sudah sarapan?” tanyaku.

“Sudah,” jawabnya singkat tanpa menoleh.

“Kita jalan sekarang?”

Ibu mengangguk. Kemudian dia berdiri memasang tas ransel jeleknya. “Tetapi ongkosnya belum dikasih.”

“Astaga! Tunggu sebentar.”

Istriku bergegas lari ke dalam rumah. Tak berapa lama dia telah kembali dengan beberapa lembar uang, dua kotak roti, dan sebotol air mineral yang langsung diserahkan kepada ibu.

“Ini buat ongkos bus. Ini buat pegangan Ibu.” Istriku menyerahkan beberapa lembar uang untuk Ibu.

Ketika aku sedang memanaskan motor, mendadak kudengar suara Hanifa dari dalam rumah. “Mau ikut! Mau ikut!” rengeknya. Anak ini biasanya tidak pernah bangun pagi, apalagi sepagi ini. Paling cepat dia bangun jam Sembilan. Tetapi kali ini dia seolah tahu aku akan keluar mengantar ibu, dia jadi bangun lebih pagi dari biasanya.

“Ayah hanya sebentar, mengantar nenek ke terminal,” jelas istriku.

Hanifah tidak peduli. “Pokoknya ikut. Harus ikut. Mau ikut. Ikut. Ikut. Ikut….”

“Biar sudah dia ikut,” kataku.

“Tapi, Bang. Nanti kalau dia ketiduran di jalan bagaimana?”

“Kalau dia tidur nanti Abang tinggal di pasar seperti Hitam.”

Istriku tertawa. Dia pikir aku bercanda. Itu membuatku merasa cocok dengannya. Amarahku selalu reda setiap melihat tawa dan senyumnya. Padahal yang kukatakan tadi itu serius, jika kesalku sudah tak terbendung, mungkin aku benar-benar meninggalkan Hanifa di pasar seperti halnya dulu aku meninggalkan Hitam di pasar. Berkali-kali aku dibuat kesal oleh Hitam. Tiga kali ia melahirkan di lemari pakaianku, tiga kali juga aku membuangnya di pasar, dan tiga kali pula ia tahu jalan pulang ke rumahku. Tetapi semenyebalkan-menyebalkannya Hanifa dan Hitam, tentu saja tidak ada yang lebih menyebalkan dari ibu. Dia jauh lebih menyebalkan daripada seluruh orang menyebalkan di alam semesta ini digabung-satukan.

Ibu datang ke rumahku setiap kali dia bertengkar dengan ibunya, saudara-saudaranya, atau juga tetangga-tetangganya. Kemudian dia akan melampiaskan emosinya ke aku, ke istriku, dan ke anak-anakku. Kemudian dia akan pergi begitu saja setelah hatinya lega seperti halnya dulu dia pergi begitu saja dari hidupku di saat aku bahkan belum seusia Hanifa. Ibu dengan tega meninggalkanku bersama suaminya yang suka menginjak-injak kepalaku. Lalu, tiba-tiba dia kembali ke hidupku ketika aku merasa sudah tidak butuh perlindungannya. Dan ketika dia mengatakan aku ini ibumu, seketika itu juga aku ingin menginjak kepalanya. Tetapi, aku selalu berhasil menahan diri untuk tidak melakukannya.

Benar kata istriku, baru setengah jalan Hanifah sudah tertidur. Dia duduk di depan, di kursi bantu untuk balita. Sialan! Aku berhenti di pinggir jalan, dan tanpa menoleh ke belakang aku berkata kepada Ibu: “Bu, Hanifah tidur. Bisa Ibu pegang dia?”

Ibu tidak menjawab. Kuulangi lagi pertanyaanku. Kali ini sedikit lebih keras.

“Ibu pegang ini,” kata ibu.

Aku menoleh ke belakang dan melihat barang pemberian istriku berada di tangannya. “Kamu pegang saja anakmu. Kalau Ibu pegang dia, nanti Ibu jatuh,” lanjutnya dengan nada yang tidak ada enak-enaknya di telinga. Aku sebenarnya mau mengatakan kalau barang-barangnya bisa ditaruh di depan saja. Tetapi kuurungkan niatku, aku kenal ibuku. Aku benar-benar mengenalnya.

Bersusah payah aku jalan sambil satu tanganku memegang Hanifah pada bagian dadanya agar kepalanya tidak terantuk kepala motor. Mendadak kurasakan sesuatu yang hangat menempel pada tanganku. Sialan! Dia tidur sampai ileran.

Sesampainya di terminal, Damri ternyata belum datang. “Nanti jam sembilan baru datang,” kata lelaki bertopi merah. “Tetapi kalau mau beli tiketnya. Bisa beli di dia.” Lelaki bertopi merah menunjuk lelaki berkulit hitam legam dengan kaos oblong berwarna cokelat yang telah pudar di beberapa bagian. Wajah lelaki itu jelek bukan main. Namun, pada bagian dada di kaosnya tertulis Pria Tampan Kesepian. Aku ingin mengumpat ketika membacanya.

“Busnya belum datang, Tapi Ibu bisa beli tiketnya di Bapak itu,” kataku.

Tanpa perlu kami panggil, lelaki berbaju cokelat mendatangi kami. Semakin dekat, wajahnya terlihat semakin jelek saja.

“Damri belum datang. Ini kalau mau tiketnya. Harganya 130 ribu,” kata si lelaki buruk rupa.

Sialan! Calo ini ngambil untung banyak betul. Disangkanya aku tidak tahu harga tiketnya.

“Ini kenapa tulisannya Titian Mas. Saya mau naik Damri,” kata ibuku.

Lelaki itu mencoret tulisan Titian Mas pada kwitansi pembayaran, lalu menulis Damri.

“Kamu pikir saya bodoh. Saya ini sekolah sampai SMA. Kamu palingan cuma sampai SD,” kata ibuku.

Lelaki itu menunjukkan gejala akan marah. Wajahnya terlihat semakin jelek saja.

“Ini Bang tiketnya,” kata temannya yang berambut ikal.

Setelah mengambil tiket dari temannya yang berambut ikal, lelaki buruk rupa ini langsung menulis 120 ribu pada kwitansi itu. Dia menurunkan harganya. Itu pun dia masih untung banyak. Ongkos bus ke tempat tujuan ibu hanya 85 ribu. Ketika aku hendak menarik tangan ibuku agar tidak mengeluarkan dompet, Hanifah menggeliat di gendongan. Dia bangun lalu mengucek-ngucek matanya. “Ayah pulang! Ayah pulang!” rengeknya. Hanifa menangis sambil menarik kerah bajuku. Aku tidak jadi menghentikan ibu. Tetapi ibu juga tidak mengeluarkan dompetnya.

Ibuku bukan orang bodoh. Dia tidak akan tertipu oleh calo yang, dari rupanya saja, terlihat lebih bodoh darinya.

“Mana busnya?” tanya ibuku lagi.

“Tunggu sudah. Itu orang-orang juga sedang tunggu Damri,” kata laki-laki itu. Dia menunjuk beberapa orang yang duduk di halte dengan barang bawaan beraneka rupa.

“Mana busnya?”

“Tunggu sudah. Nanti jam sembilan datang.”

“Ayah pulang… Ayah pulang….”

“Mana busnya?”

Kulihat cuping hidung lelaki jelek itu kembang-kempis. Wajahnya benar-benar kesal. Aku segera menghampiri ibuku. “Bu, Alif balik duluan ya. Hanifah rewel,” kataku. Dia sekilas menatapku dengan tatapan dingin sebelum kemudian mengangguk. Aku berupaya menahan senyumku sebisa mungkin ketika aku melihat lelaki jelek itu menahan geramnya. Biar sudah kamu untung 35 ribu, 35 ribu kali juga kamu akan ditanyai hal yang sama oleh ibuku. Dia tidak akan berhenti bertanya sampai busnya berada tepat di depan matanya.

Aku meninggalkan terminal dengan perasaan lega. Rasanya seperti ketika aku meninggalkan Hitam di pasar. Aku berharap ibu akan mendapat pengalaman buruk dari kedatangannya kali ini agar dia jera dan tidak pernah datang lagi. Tetapi, tentu saja, itu tidak mungkin. Tidak ada pengalaman buruk yang bisa menghalangi ibu untuk kembali melakukan apa yang ingin dilakukannya. Dua kali dia kembali ke Saudi, padahal di sana, dia diperkosa berkali-kali oleh majikannya, tapi dia tidak punya pilihan selain kembali ke sana karena suaminya yang pemabuk itu tidak tahu cara mencari uang. Hingga di kali ketiga dia mau balik ke Saudi, KJRI memulangkannya karena kondisi kejiwaannya tidak memungkinkan lagi untuk bekerja. Ya, ibuku gila sejak hari itu, dan gilanya masih sering kambuh. Setiap gilanya kambuh, trauma masa kecilku juga kambuh, dan setiap trauma masa kecilku kambuh, aku jadi ingin menginjak kepalanya. Untungnya aku selalu berhasil menahan diriku.***

Blencong, 2021-2022


Aliurridha, Pengajar  di Universitas Terbuka. Cerpennya berjudul Metamorfosa Rosa masuk dalam antologi Cerpen Pilihan Kompas 2021. Dia diundang sebagai emerging writer dalam Makassar International Writers Festival (MIWF) 2023. Dia tinggal di Lombok Barat dan bergiat di komunitas Akarpohon.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *