Cerpen Erwin Setia
Seusai mimpi buruk pada malam itu, Bono ingin sekali agar matanya buta seperti nenek dan yang dilihatnya hanya kegelapan. Ia lebih menyukai kegelapan. Ini aneh. Bono adalah penyuka hal-hal cerah dan terang. Semua orang terdekatnya tahu betul mengenai itu. Ia akan memilih baju warna matahari ketimbang dongker dan buku bersampul ramai ketimbang temaram. Ia menyukai yang terang-benderang dan ketika kemudian ia malah mengharapkan dan menyukai kegelapan, tentu ganjil sekali.
Untuk memahami Bono pada hari ini, perlu kiranya menyusuri jalan hidup Bono pada hari-hari lalunya. Manusia, bagaimanapun, dibesarkan oleh hari-hari silam.
Bono ketika kecil adalah anak lelaki kurus yang senang melukis dengan media apa pun. Sebelum ayah-ibu Bono sadar akan kebiasaan anaknya, Bono biasa melukis dengan cat air yang bertumpuk di gudang, ia melukisi tembok, pakaian ayahnya, lantai, dan apa pun selain kanvas. Kemudian, setelah kekagetan dan kegeraman sesaat, melihat kelakuan anaknya itu, ibu Bono membelikannya seperangkat alat lukis.
Meskipun sudah memiliki seperangkat alat lukis, terkadang Bono tetap mencoret-moreti objek-objek yang seharusnya tak boleh dilukisi. Bono, bagaimanapun, hanyalah seorang kanak-kanak. Tetapi, ayah Bono, sebagai pegawai perusahaan multinasional sibuk, yang sangat tidak menghendaki hal-hal mengecewakan sesampainya di rumah selepas pulang dari kantor, tak mau peduli, biarpun anak kecil Bono mesti tetap diberi pelajaran.
Maka itulah salah satu hari yang terus Bono ingat, ketika ayahnya menampar wajahnya sampai ia terempas dan menangis keras, akibat Bono melukis wajah seorang lelaki yang mirip ayahnya di jas ayahnya yang tersampir di kamar. Ibunya datang. Mengangkat Bono. Menatap tajam ayahnya. Ayahnya membalas tatapan itu lebih tajam. Ayahnya masuk ke kamar dan membanting pintu. Ibu Bono mengelus dan memeluk Bono.
Beranjak besar, Bono dititipi untuk tinggal bersama neneknya yang sudah tak mampu melihat di kota seberang. Ayahnya dipindahtugaskan ke kota yang jauh. Bono ingin ikut. Tapi ibu, yang menemani ayah, melarang. “Kota itu sangat jauh, Bono.” Bono merajuk dan jawaban ibunya tetap sama. “Nanti ibu dan ayah akan rajin mengunjungi rumah nenek, kok. Membelikanmu apa saja yang kamu mau. Oke, sayang?”
Bono tidak mengangguk dan tidak pula menggeleng. Ia hanya menghambur ke dekapan ibunya, dekapan panjang, yang mungkin akan berlangsung lebih panjang jika saja ayah Bono tak memotong, “Ayo, Bu, pesawat kita akan segera berangkat.”
Setelah hari itu, Bono tidak lagi berjumpa ibu dan ayahnya, kecuali satu tahun sekali. Biasanya ibu dan ayah mengunjungi rumah nenek dan menemuinya pada pengujung tahun, ketika ayahnya libur panjang. Kadang mereka juga mengunjungi rumah nenek pada libur lebaran, tapi yang demikian itu jarang sekali.
Satu hal yang Bono perhatikan, tiap ibu dan ayahnya datang ke rumah nenek dari tahun ke tahun, adalah paras ibunya. Paras ibunya selalu tampak lebih gelap dari satu kunjungan ke kunjungan berikutnya. Bono tak tahu mengapa dan ia juga tak berani menanyakan perihal itu kepada ibunya apalagi kepada ayahnya. Kendati gelap, sesungguhnyalah ibu Bono selalu menguarkan senyuman. Namun, senyuman itu, lebih terlihat menyedihkan daripada memancarkan aura kegembiraan.
Ibu dan ayahnya datang dan pulang, dan perubahan paras ibunya tetap serupa kotak kaca hitam yang belum terpecahkan di kepala Bono.
Semenjak paras gelap ibunya menggelayuti pikiran Bono, ia menjadi pemburu hal-hal terang dan cerah. Mulai dari pakaian, sampul buku, tema film, sepatu, benda pecah belah, koleksi lukisan, dan lain sebagainya. Bono berharap usahanya itu bisa berdampak pada ibunya. Barangkali, pada perjumpaan berikutnya, wajah ibunya akan kembali cerah atau setidaknya tak bertambah gelap.
Usaha Bono sia-sia belaka.
Ia memang semakin banyak membeli hal-hal bertema cerah dan terang-benderang hingga teman-temannya mengidentikkan sesuatu yang semacam itu kepada Bono. Misalkan mereka menjumpai sampul buku yang heboh bukan main dengan gradasi warna-warna cerah di toko buku atau menemui poster film dengan corak terang di area bioskop, mereka akan berseru, “Wah, ini Bono banget!” Namun ketika hari kedatangan ibu dan ayahnya tiba, kadar gelap di paras ibunya semakin tinggi. Seolah-olah waktu berputar hanya untuk mempergelap paras ibu.
Satu hal lagi yang baru Bono sadari adalah paras ayahnya. Sementara wajah ibunya kian menyerupai awan-awan musim hujan, wajah ayahnya justru sebaliknya, tampak berbinar seakan-akan seluruh cahaya wajah ibu direnggut wajah ayah.
Menyadari itu, rasa iba Bono kepada ibunya semakin menjadi-jadi. Pada saat yang sama, rasa bencinya kepada ayah kembali tumbuh dan menyubur. Rasa benci yang sebetulnya sudah coba ia kubur. Rasa benci yang bermula dari hari ketika ayahnya menamparnya semena-mena. Bono akan terus membenci ayahnya sejak hari itu andai saja ibu tak menasihatinya. “Bono, tolong kamu maafkan ayahmu, ya. Jangan sampai kamu membenci ayahmu sendiri. Biar bagaimanapun ayah tetaplah ayah yang harus dicintai dan dihormati, bukan dibenci. Oke, sayang?”
Satu tahun sebelum malam yang membuat Bono beralih mencintai kegelapan, ibu dan ayahnya datang dengan wajah bertolak belakang. Wajah ibu makin layu. Wajah ayah makin mekar. Namun, ada hal lain yang benar-benar membuat Bono tak lagi bisa memendam rasa penasarannya perihal perubahan ibu. Hari itu wajah ibu bukan hanya sendu, melainkan juga luka memar tampak di sekitar pelipis dan bagian bawah rahangnya.
“Ibu tidak apa-apa, Bono,” jawab ibu saat Bono bertanya soal luka memar di area wajahnya. Mendapati jawaban begitu, Bono memandangi ayahnya yang tampak biasa-biasa saja, seolah tak ambil peduli dengan kondisi istrinya.
“Ada apa kau lihat-lihat ayah seperti itu, Bono?” Ayahnya bertanya dengan nada membentak dan Bono menimpalinya dengan pandangan menyilet.
Bono baru saja akan mengatakan sesuatu pada ayah, ketika ibunya berujar lirih, “Sudah, Bono. Ibu memang tidak kenapa-kenapa. Tak usah mengkhawatirkan ibu.”
Pada kunjungan kali itu, yang sekaligus kunjungan terakhir ibu dan ayahnya, mereka tidak menginap di rumah nenek berminggu-minggu seperti biasanya. Mereka menginap hanya beberapa hari. Ketika nenek menanyakan kenapa ayah dan ibu buru-buru sekali, ibu bilang kerjaan ayah sedang melimpah sehingga mereka tidak bisa berlama-lama. Ayah membenarkan ucapan ibu dan mereka pun pulang.
Sebelum pulang, ibu mengelus kepala Bono dan mengecup kening anak tunggalnya itu. Bono sudah beranjak dewasa. Ia tampak rikuh diperlakukan begitu, tapi pada kemudian hari ia berharap kala itu ibu mengelus kepala dan mengecup keningnya lebih lama.
Hal terakhir yang Bono lihat dari ibu menjelang kepulangannya adalah punggung ibu saat hendak menaiki taksi. Dan Bono kembali baru menyadari satu hal: punggung ibu terlihat bungkuk, padahal usia ibu belum begitu tua.
Sore sebelum malam kelam itu, seharusnya jadwal ibu dan ayah mengunjungi rumah nenek. Tetapi, mereka tak datang. Yang datang hanyalah sebuah telepon dari kota yang sangat jauh, kota tempat ibu dan ayah tinggal. Suara di telepon itu pun bukan suara ibu dan ayah, melainkan suara semi bariton seorang lelaki asing. Nenek dengan tergopoh-gopoh mengangkat telepon itu. Tak lama kemudian nenek pingsan. Telepon rumah itu terjatuh dan kabelnya menjuntai-juntai. Tapi masih menyala. Setelah membaringkan tubuh nenek di atas sofa, Bono mengangkat telepon itu. Rupanya telepon dari kepolisian tempat tinggal ibu dan ayah. Ketika suara di seberang telepon mencapai inti persoalan, Bono nyaris pingsan dan membuat telepon terjatuh sebagaimana nenek barusan, namun ia menahannya. Bono mengucapkan terima kasih kepada polisi tersebut, menutup telepon, dan duduk melamun di sofa bersampingan dengan neneknya yang belum siuman.
Bono melamun terus-menerus hingga ia jatuh tertidur. Dalam tidurnya Bono bermimpi persis seperti isi cerita polisi di telepon tadi. Mimpi itu begitu nyata, terang-benderang, dan tak terhalangi suatu apa pun. Dalam mimpi itu, Bono melihat darah begitu merah, cahaya mentari begitu menyilaukan, dan desing pisau begitu tajam. Dalam mimpi itu, Bono melihat dua orang yang begitu dikenalnya, dua orang yang menjadi perantara Bono lahir ke muka bumi dan merasakan hidup. Dalam mimpi itu, Bono merasakan hawa begitu dingin dan aroma anyir darah begitu pekat. Dalam mimpi itu, Bono duduk di sebuah kursi dan menyaksikan dua kematian. Seorang lelaki berjas rapi yang tak lain adalah ayahnya, ternganga seolah menjerit dalam kebisuan dengan dada berlubang di atas tempat tidur. Seorang perempuan dengan pakaian koyak moyak dan rambut berantakan yang tak lain adalah ibunya, tersenyum pilu dengan nadi terputus di atas lantai.
Sebangun dari tidur, bayangan mengerikan mimpi itu masih terus menghantui Bono dengan amat jelas. Bono melihat ke arah neneknya dan ia ingin seperti nenek agar yang dilihatnya hanya kegelapan. Sebab, bagi Bono, kegelapan adalah sebaik-baik pemandangan.***

Erwin Setia lahir pada 14 September. Penulis lepas. Aktif menulis karya fiksi dan esai. Tinggal di Bekasi. Bisa dihubungi di Instagram @erwinsetia14 atau melalui surel: erwinsetia2018@gmail.com.