Cerpen Uncategorized

Kidung Bakti

May 10, 2022

Cerpen Prima Yuanita

Katamu sebuah lagu mampu mengungkapkan perasaan seseorang, seperti bumbu dapur menerjemahkan rasa masakan. Dan aku pun percaya hal itu. Jadi, ketika perasaanku padamu mendesak-desak ingin disampaikan, lagu Kidung Bakti yang akhirnya berbicara pada semua insan.

Kamu tahu kan, sejak kecil aku suka sekali merangkai syair dan nada-nada? Mereka seringkali membesuk kepala. Lalu menyusup ke tangis, tawa, marah, kecewa, bahagia, bahkan dalam diam.

Dulu kita selalu menandaskan gigil fajar di perapian dengan memutar tembang kenangan, seperti langgam jawa, yang kental dengan iringan gamelannya, atau pop klasik berbirama empat perempat yang menggelitik halus di pendengaran. Saat itu sesekali bibirmu turut menggumamkan lirik lagu tersebut sambil tanganmu terus bergerak-gerak  lincah di atas talenan, sementara kamu memintaku menggisar-gisar kayu bakar agar api di tungku tidak lekas padam.

Aku tahu kamu suka menyanyi, dan karena itulah kamu rajin mengajariku menyanyi ketika usiaku menginjak lima tahun. Bukan lagu anak-anak khas taman kanak-kanak, akan tetapi lagu kebangsaan dengan suara yang dibesar-besarkan. Kamu tahu suara sopranku sedikit sumbang, maka kamu akan membenarkan nada tinggiku yang masih terdengar payah. Aku juga ingat ketika kamu menyuruhku mengucapkan nama negaraku dengan benar. Katamu, aku mengucap kata ‘Indonesia’ menjadi ‘Endonesia’. Seketika aku tertawa dan kamu ikut tertawa, lalu kita tertawa bersama-sama.

Semakin hari aku tumbuh bersama lagu-lagu di sekitarku, bukan hanya lagu kesukaanmu yang kerap kita dengar bersama itu, tetapi dari stasiun-stasiun radio yang kuputar, aku jadi mengenal beragam lagu yang bagus-bagus. Orang-orang berkirim salam kepada orang yang dikasihinya dan meminta senandung favorit mereka untuk diputar. Aku pun pernah melakukan hal yang sama untukmu. Ketika itu aku sudah punya ponsel berwarna hitam nan tebal hasil dari uang yang kukumpulkan berbulan-bulan. Aku begitu takjub menyadari betapa ponselku sangat pintar mengirim pesan. Akan tetapi pesanku tidak pernah dibacakan dan lagu yang kuminta tidak diputar. Menyebalkan sekali bukan? Dari situ aku bertekad dalam hati bahwa kelak aku akan membuat lagu sendiri dan stasiun radio itu tidak akan bisa menolak untuk tidak memutarkan laguku.

Benar saja yang kupikirkan. Saat dewasa aku menikah dengan seorang penyanyi. Singkat cerita ia tidak keberatan membawakan lagu yang kuciptakan. Berhari-hari ia menghafal lirik lagu tersebut. Konon ia tak pernah selama itu menghafal lagu, akan tetapi di lagu ciptaanku, yang sengaja kubuatkan untukmu itu, ia mengaku kesulitan menyanyikannya, apalagi di bagian lirik yang menggunakan Bahasa Jawa.  

Dhuk semono rung biso sembodo

mlaku tansah dituntun ditoto

ojo nganti adigang adigung adiguno

eling Gusti …eling Gusti soko jiwo

Dulu sebelum menikah, suamiku itu tak pernah menjanjikan materi yang lebih padaku. Aku hanya tahu dia orang baik, memiliki keluarga yang baik dan kawan-kawan yang baik. Maka kupikir hidupku pasti akan dikelilingi oleh orang baik. Dengan demikian aku juga bisa menjadi orang baik seperti apa yang kamu harapkan selama ini padaku. Bukankah memiliki kawan-kawan yang baik termasuk salah satu rezeki yang patut kita syukuri?

Hal itu terbukti saat suamiku meminta tolong mereka untuk mengiringi lagu ciptaanku. Tanpa berpikir panjang, mereka langsung mengeluarkan alat musiknya. Mereka membawa piano, gitar, seruling, kendang, saron, sapek, juga karinding. Dengan semangat yang meletup-letup di dada, mereka berbondong-bondong ke studio rekaman dan memainkan alat musik itu sebagai instrumen dari lagu yang kuciptakan. Sekitar sepekan lagu itu pun rampung digarap. Kami semua gembira dan lagu itu disebar ke mana-mana, termasuk ke stasiun radio yang tak pernah memutar lagu permintaanku dulu, kini lagu ciptaanku malah jadi playlist permintaan dari orang-orang.

“Bukan hanya Lathi, lagu Kidung Bakti juga bisa menggabungkan dua unsur yang berbeda,” kataku padamu.

“Iya, aku suka sekali lagu ini,” komentarmu di satu pagi yang cerah, secerah foto profilmu dengan kebaya putih dan gincu merah merekah.

Saat itu kita berbincang lewat sambungan telepon. Semenjak menikah, seseorang biasanya akan semakin sibuk dengan keluarga barunya. Bukan hanya aku dengan keluarga baruku, tetapi kamu dengan keluarga barumu, seperti dalam potret yang kamu jadikan foto profil itu. Aku ingat gambar itu diambil beberapa saat setelah kamu resmi dinikahi seorang duda kaya yang baik hatinya. Lalu di pagi yang berseri-seri, dengan wajah yang berseri-seri pula kamu bertanya padaku, “Bagaimana kamu bisa membuat lagu ini?”

Mendengar pertanyaaanmu itu hatiku serasa dilumuri berpuluh-puluh es krim. Lantas kujelaskan padamu bahwa di satu bunga tidur malam, kupingku mendengar nyanyian alam. Bersayapkan angin segar yang menyeberangi Laut Jawa, ia hinggap di pulau terbesar di Indonesia, ia menjumpai wajah-wajah yang dulu kerap menyapa: seperti gemuruh ombak di Sungai Mahakam, perahu-perahu kayu bercat cokelat kelam; arakan awan langit khatulistiwa, hutan ulin yang suram nan gersang; paras bertaburkan bedak beras, dan air mata seorang wanita di telepon genggam; cairan serupa yang kusaksikan menggenang saat kamu melepas genggamanku di bandara.

Kamu ingat aku pernah pergi jauh. Tapi apa kamu tahu kenapa aku melakukannya? Waktu itu hidupku tak ubahnya bola yang digiring ke kiri-kanan, lantaran menyaksikan dua kepala yang sama-sama ingin menang. Hatiku lelah, jiwaku berontak, kakiku melangkah sejauh bola yang menggelinding keluar area permainan. Kamu berulang kali memanggilku tapi aku tak peduli. Aku terus menjauh dari jangkauanmu. Kian lenyap dari pandanganmu, hingga akhirnya pria yang kini kamu sebut menantu itu datang ke kehidupanku, lalu ia menegur kala kakiku jatuh tersungkur.

 “Jangan lagi buat orang tuamu menangis! Seburuk-buruknya mereka, kamu tak boleh jadi anak durhaka! Pulanglah!”

Alam pun menutur makna

tentang rasa yang dijaga

ke mana langkah kususuri

tak temukan kasih yang lebih sejati

Ayah dan Ibu ….

Begitulah lagu Kidung Bakti itu menceritakan perasaanku padamu, juga pada ayah; sesosok lelaki yang bertahun-tahun lalu telah meninggalkanmu. Lelaki itu kutemui bersama menantumu ke suatu tempat yang ia sebut rumah, tapi bagiku itu bukanlah sebuah rumah, itu hanya tempat orang-orang singgah untuk mengenyangkan perut yang lapar. Tidak ada kasur di sana, apalagi kamar tidur, yang ada hanya tikar lusuh yang digelar untuk orang-orang menyantap semangkuk soto ayam.

Di mata lelaki yang kulitnya legam dan penuh kerutan itu, kutemukan segudang penyesalan. Sudah kukira hal itu pasti terjadi, tapi walau bagaimanapun, wanita yang berada di sampingnya saat itu adalah istri sahnya. Bukan lagi namamu di Kartu Keluarga-nya. Jadi ia akan selalu pulang ke tempat istrinya itu, dan kupikir kamu pasti juga sudah bahagia bersama lelaki berusia enam puluhan yang menikahimu setahun lalu.

Tapi rupanya aku keliru. Sepekan lalu, di satu malam tak berbintang, ketika lagu Kidung Bakti itu telah didengar ribuan orang, suara serakmu mengabarkan bahwa suamimu itu telah berpulang karena sakit yang kamu anggap hanya masuk angin. Seketika tubuhku gemetaran. Degup jantungku berloncatan. Kepalaku berdenyut-denyut dan di sana berkelebat sebuah pertanyaan: kenapa rasa sayang selalu membuat kita kembali pulang?***


Prima Yuanita, seorang ibu rumah tangga, penyuka makanan tradisional dan lagu-lagu bernada mayor. Saat ini tinggal di Sragen, Jawa Tengah dan pernah meraih juara 1 Lomba Karya Jurnalistik PKK tahun 2020 tingkat Provinsi Jawa Tengah. Akun Facebook: Prima Yuanita dan Instagram: prima_yuanita.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *