Cerpen Era Ari Astanto
Jika engkau ingin seperti Paman, itu wajar. Aku tahu engkau diam-diam membayangkan punya harta yang melimpah. Punya istri cantik dan baik. Apalagi dia memintamu mencari istri lagi setelah beberapa tahun belum juga dapat menumbuhkan keturunanmu di rahimnya. Lebih luar biasa lagi istrimu sendiri yang mencarikan istri kedua untukmu. Sangat langka terjadi, bukan? Jika demikian, engkau boleh merasa bahagia dan merasa menjadi lelaki paling beruntung. Apa yang engkau rasakan itu wajar belaka. Tapi aku tidak yakin kau merasa demikian, jika kau tahu kisah Paman yang dia sembunyikan.
Karir Paman di ibu kota memang gemilang, tapi tidak perihal jodoh. Begitu banyak wanita yang menolaknya. Entah karena apa tidak ada yang tahu persisnya. Padahal, wajah Paman tidak bisa disebut jelek walau juga tidak termasuk rupawan. Dia sering diolok-olok kawan-kawannya sebagai bujang lapuk lantaran usianya sudah berkepala empat.
“Mungkin karena kau hanya mencari wanita yang berparas biasa-biasa saja.” Kata seorang temannya suatu kali.
“Mungkin kau perlu mencari yang sangat cantik sekalian. Siapa tahu jodohmu malah yang cantik.” Kata teman yang lain sambil terkekeh, diikuti semua temannya.
Paman hanya nyengir, lalu ikut tertawa. Dia berpikir tidak perlu menanggapi serius olok-olok semacam itu.
“Lho, siapa tahu kan?” Tegas salah seorang temannya lagi.
“Sebaiknya dicoba. Masak takut. Kan sudah terlatih ditolak.”
Tawa teman-temannya meledak. Lagi-lagi Paman ikut tertawa.
“Aku ada saran. Mungkin Niki, yang karyawan baru itu, bisa kau dekati. Agak tomboi sih, tapi kupikir itu bukan soal.”
“Benar itu. Dia sangat cantik dan lumayan kalem lho, meski tomboi. Andai aku belum punya tiga anak, sudah kudekati dia.”
“Terlalu cantik dan muda buatku,” jawab Paman sambil tertawa. Dia tahu usia Niki belum menyentuh angka dua tujuh.
“Didekati saja dulu.”
“Atau harus kami comblangin?”
“Tidak perlu. Biar aku dekati sendiri.” Kata Paman dengan sok jantan.
“Oke. Kami tunggu kabar apa pun darimu.” Nadanya terkesan meragukan kesungguhan Paman.
Kali ini Paman tidak ingin diremehkan. Dia menunjukkan keberaniannya kepada teman-temannya dengan mendekati Niki, meski tidak berharap akan diterima. Justru dengan begitu dia bisa berbincang dan bercanda dengan sangat santai. Di mata teman-temannya sikap Paman sungguh tidak seperti saat mendekati wanita-wanita sebelumnya. Tapi, mereka bersikap biasa-biasa saja saat memergoki Paman berbincang dengan Niki.
Seiiring waktu, Paman dan Niki tampak semakin akrab dan lekat. Paman bisa merasakan kedekatan itu, meski tidak yakin diterima. Walau begitu, dia tetap mengatakan keinginannya memperistri Niki, saat makan malam bersamanya. Paman yang sudah bersiap mendengar kata-kata penolakan menjadi terkejut saat Niki mengatakan bersedia, meski dengan syarat.
“Apa itu?”
“Aku harus minta pendapat temanku dulu. Apa jawabannya, itulah keputusanku.”
“Boleh. Tapi, kenapa bukan meminta pendapat orang tuamu saja?”
“Tidak. Aku merasa temanku itu lebih memahami siapa aku.”
“Baiklah. Berapa lama aku harus menunggu?”
“Dua atau tiga hari. Bagaimana?”
“Aku akan menunggu dengan tenang. Cepat waktu segitu.”
Niki tersenyum. Sesungging senyum yang teramat manis di mata Paman.
***
“Aku berhasil, Kawan.” Paman berkata dengan wajah berseri kepada kawan-kawannya, saat mereka berkumpul di sebuah kafe.
“Kau yakin?” Nada kawan di samping kirinya seolah tak percaya.
“Tentu saja. Kami akan menikah satu bulan lagi.”
Tak bisa dipungkiri, kawan-kawannya kini memandang tak percaya.
“Aku sungguh-sungguh,” Paman berusaha meyakinkan mereka.
Sesaat kemudian mereka memberi ucapan selamat dan menyalami Paman, seperti baru saja memenangkan kuis berhadiah mobil mewah. Tapi, wajah mereka tak bisa menyembunyikan rasa masih tidak percaya. “Kami tunggu undangan resminya.” Kata salah satu dari mereka. “Tentu. Pasti itu.” Kata Paman dengan wajah tetatp berseri dan nada suara bersemangat.
***
Paman akhirnya berhasil menanggalkan predikat bujang lapuk. Teman-temannya pun ikut berbahagia dengan keberhasilan itu. Mereka memeluk erat Paman di acara pesta pernikahannya. Wajah mereka berhias senyum ceria saat memberikan ucapan selamat kepada Paman. Senyum Paman pun seperti tak pernah terjeda barang sejenak di hari bersejarah itu. Ini memang peristiwa indah yang tak akan mungkin dia lupakan. Aku sudah tidak akan lagi disebut sebagai perjaka tua, pikirnya.
Hari-hari selanjutnya menjadi saat-saat indah bagi Paman.
Kenapa dulu aku ketakutan mendekati wanita cantik, jika jodohku ternyata memang yang cantik? Walau dia tidak bisa memasak, tapi itu bukan masalah bagiku. Yang penting dia sangat menyenangkan saat di kamar. Dan lebih penting lagi, dia penyabar dan pengertian.
Begitulah pikir Paman saat merenungkan dirinya dan Niki.
Sampai suatu hari, Paman mengerutkan dahi, bertanya-tanya dalam hati saat melihat Niki tampak gelisah. “Ada masalah apa, Sayang? Wajahmu tampak gelisah.”
“Aku takut mengatakannya. Takut Mas marah.”
“Asal tidak mengatakan telah menyesal menikah denganku, aku tidak akan marah. Katakan saja.”
“Tentu aku tidak menyesal menjadi istrimu, Mas. Hanya saja aku merasa berhutang budi kepada Cici.”
“Hutang budi soal apa memangnya? Selekasnya kita balas kebaikannya.”
“Mas ingat soal aku harus minta pendapat temanku waktu kamu bilang ingin menikahiku?”
“Iya. Masih. Lalu?”
“Aku ingin membalas pemikirannya itu dengan memberikan sesuatu kepadanya. Apakah Mas setuju?”
Paman berpikir sejenak. “Boleh. Tanpa dia mungkin kita tidak jadi menikah. Kamu ingin memberikan apa kepadanya?”
“Mungkin sepeda motor. Atau Ponsel yang bagus. Atau apalah. Yang penting pantas.”
Paman tertawa mendengar perkataan Niki. “Boleh. Itu gampang. Besok kita belikan sepeda motor.”
“Sungguh?” Niki nyaris tak percaya dengan jawaban Paman.
“He-em,” jawab Paman tegas. Anggukan kepalanya pun terlihat mantap.
Niki tersenyum ceria dan segera memeluk serta mencium Paman berulang kali.
***
Tiga tahun berlalu terhitung sejak acara pesta pernikahan itu. Niki belum juga bisa hamil. Sebagai lelaki yang sudah berumur sangat matang, tentu dia memikirkan tentang keturunan. Dia berpikir, jangan sampai saat lanjut usia dia baru punya bayi. Itu sangat merepotkan. Gelagat kegelisahan itu tertangkap Niki. Berkali-kali dia minta maaf karena hal itu, walaupun kata dokter mereka berdua tidak punya masalah pada kesuburan.
“Kamu tidak salah, Sayang. Mungkin akulah yang sudah terlalu berumur.”
“Tidak, Mas. Umur lelaki tidak menjadi penghalang untuk membuahi. Apalagi punyamu sangat bagus. Aku jadi merasa bersalah padamu, Mas.”
Paman membelai Niki dengan lembut, lalu perlahan menarik kepala Niki bersandar di dadanya. “Kamu tidak salah, Sayang. Mungkin belum waktunya saja.”
“Bagaimana kalau Mas menikah lagi saja? Tapi, aku yang mencarikan.” Niki berkata dengan hati-hati. “Aku rela kamu menikah lagi, Mas.”
Paman terkejut dengan perkataan istrinya. Tepatnya karena tidak percaya. Sudah mengizinkan untuk menikah lagi, dan masih mau mencarikan pula. Nalurinya ingin segera punya keturunan tertarik dengan tawaran istrinya itu. Tapi, dia menahan diri dengan mengatakan “tidak”. Namun, Niki bersikeras akan mencarikan Paman istri lagi. Melihat keteguhan istrinya itu, Paman menyerah. “Baiklah jika kamu benar-benar rela dan mau mencarikan untukku, Sayang.”
Niki tersenyum. Wajahnya kembali cerah. “Terima kasih, Mas. Akan aku ingat-ingat siapa di antara teman-temanku yang belum menikah dan sekiranya cocok untukmu, untuk kita. Dan yang penting mau satu atap denganku.”
“Terima kasih, Sayang. Kamu baik sekali. Beruntungnya aku punya istri sepertimu.”
Beberapa pekan kemudian Niki mengajukan sebuah nama kepada Paman. “Aku sudah mengatakan semua duduk perkaranya kepada Cici, Mas. Dia dengan senang hati mau menikah denganmu.”
“Jika kamu yakin dia akan baik kepadamu, aku setuju saja.”
***
Pada tahun baru sebelum pandemi covid-19 menyerang, Paman pulang beserta kedua istrinya. Memperkenalkan Cici kepada saudara-saudara di kampung. Semua saudaranya tentu terkejut dan takjub mendengar cerita tentang kebaikan Niki. Di antara saudara-sudaranya tentu ada yang iri dengan keberuntungan Paman. Aku tahu irinya mereka itu hanya karena Paman punya dua istri yang rukun. Tapi, apakah mereka merasakan apa yang kurasa? Mereka berdua terlalu rukun bagiku. Itu ganjil menurutku. Ah, mungkin itu hanya karena aku belum pernah melihat ada yang lebih rukun atau setidaknya sama rukunnya seperti Niki dan Cici. Aku segera menepis prasangkaku.
Keganjilan yang kurasakan saat tahun baru sebelum pandemi terjawab setelah pandemi mereda dan Paman bisa pulang lagi ke kampung halaman, tapi sendirian. Paman bercerita kepadaku, dan mengakunya hanya kepadaku. Suatu hari dia merasa tidak enak badan sehingga memutuskan pulang lebih awal dari kantor tempatnya bekerja. Dia mendapati rumah sangat lengang, sementara pintu depan tidak dikunci. Dia langsung masuk tanpa menaruh curiga apa pun, mengira kedua istrinya sedang tidur. Agar tidak mengganggu, dia berusaha melangkah tanpa menimbulkan berisik, menuju kamar Niki. Pintu kamar itu tampak terbuka beberapa inci. Perlahan dia mendorongnya tanpa menimbulkan suara. Matanya seketika terbelalak saat melihat dua wanita bergumul di atas ranjang tanpa penutup tubuh apa pun.
Paman ingin berteriak, tapi yang terjadi justru mulutnya tertutup rapat. Dengan tubuh gemetar dia merogoh ponsel di sakunya. Mengambil video secukupnya. Lantas, perlahan berbalik dan melangkah ke ruang depan. Menjatuhkan diri di atas sofa dengan tubuh masih gemetar menahan kekecewaan yang menjelma amarah.***

Era Ari Astanto penyuka bika ambon ini lahir di Boyolali. Saat ini bekerja di sebuah penerbitan buku pelajaran di Solo dan aktif di komunitas Sastra Alit. Karya tunggal yang sudah diterbitkan adalah Novel berjudul Jika sang Ahmad tanpa Mim Memilih (Najah, 2013), The Artcult of Love (Locita, 2014), Novel Bertutur Sang Gatholoco (Basabasi, 2018), Novel Riwayat Bangsat (Basabasi, 2019). Karya antologi: Memoar Bermasjid (Diomedia, 2017), kumcer Masa Depan Negara Masa Depan (Surya Pustaka Ilmu, 2019), Memoar Ramadhan dan Merantau (Diomedia, 2019), kumcer Hanya Cinta yang Kita Punya untuk Mengatasi Segalanya (Divapress, 2020). Cerpen-cerpennya juga tayang di beberapa media online. Buku terbarunya yang terbit: Novel dwilogi Nama yang Menggetarkan (Diomedia, 2020).
Keren cerpennya, ditunggu lanjutannya
Terima kasiiih…
Lanjutannya nunggu Paman bercerita kelanjutannya…. hehe