Cerpen Rudi Agus Hartanto
Aku masih memikirkan pernyataan orang-orang tentang malam. Perihal saat yang tepat memikirkan runyamnya hidup atau waktu terbaik memohon sesuatu kepada Tuhan. Alih-alih mendapatkan ketenangan, justru pikiranku hampir tak pernah bermuara ke persoalan itu. Terus terang saja, setiap kali mencoba, aku seolah-olah gagal mengejawantahkan pernyataan mereka.
Termasuk malam ini. Aku menikmati kopi dan menyulut rokok, sendiri, di teras rumah sembari memikirkan dunia. Sangar bukan? Memikirkan dunia! Kataku. Tapi itu yang sering dibilang teman-temanku di tongkrongan. Sementara, di duniaku, yang selalu terbayang hanyalah Sheila Dara Aisha, pemeran Aurora dalam film Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini. Aku tidak membual, Sheila memang menguasai pikiranku dan aku ingin sekali menemaninya melukis. Andai saja terjadi, aku ingin menemaninya menangkap momen daun jatuh seperti yang terlihat di halaman: dari melayang hingga tersungkur menabrak pagar.
Pikiranmu penuh dunia fiksi, bodoh! teriak pikiranku di sisi lain.
Tentu saja kehadiran teriakan itu tidak datang begitu saja. Itu terjadi setelah aku berulang kali cerita kepada teman-teman perihal kecintaanku menonton film. Kata mereka seharusnya aku menyadari bahwa hidup adalah kenyataan, dan apa untungnya membayangkan hidup seperti dunia fiksi? Dasar aneh! masih di sisi yang sama, pikiranku semakin terbakar mendukung mereka.
Tapi, apa yang mereka tahu soal kenyataan selama masih menghabiskan duit buat judi slot? Hanya karena alasan itu, lantas berani-beraninya menganggapku tidak menyadari hidup, memang ada-ada saja perangainya. Sebenarnya aku ingin membalas dengan sok-sokan filosofis, sayang aku terlanjur mati kutu ketika mereka lebih dulu mengatakan: Kenyataan hidup adalah berjudi, maka kita perlu praktik kecilnya.
Mungkin, mereka hanya sekadar melihat bukan menyelami isi setiap film. Ndakik sekali kau! lagi-lagi pikiranku mendesak untuk berperang dengan diriku sendiri. Kubuang rokok yang masih separuh, aku tak mau pusing. Aku ingin menikmati malam, sendiri, sembari menggeser foto Sheila di Instagram. Inilah dunia seharusnya. Begitu, bukan?
Aku memang salah, kuakui itu. Namun apa artinya malam dengan menggantungkan diri pada yang tak terlihat. Dan, bukan berarti aku tidak sepakat dengan pernyataan mereka. Aku hanya ingin malam seperti yang aku bayangkan saja. Aku bosan dengan pengharapan yang membohongi jiwa. Kebablasan kau, Nak, meski terdengar berbisik, pikiranku di sisi lain ini benar-benar menyebalkan.
Aku butuh bantuan untuk mengenal malam lebih jauh. Tidak sendiri maupun dalam kondisi seperti ini. Rasanya sangat tak mengenakan. Kecuali setelah bertemu Ayu besok, malamku bisa saja seperti bayanganku. Sebab temanku yang enggan aku samakan dengan Sheila itu kadang juga sepemikiran denganku. Malam hanyalah waktu yang biasa-biasa saja. Lebih dari itu? nanti dulu. Aku mau tidur.
***
“Kenapa? Padahal kau cerdas, lukisanmu laku mahal, bahkan mengantarmu mendapatkan beasiswa magister di Royal College of Art,” tanyaku kepada Ayu saat kupersamakan dengan aktris kesayanganku itu.
“Hanya itu di pikiranmu? Aku bosan mendengarnya.” Ayu membuka tudung hoodie-nya. “Kau tak ubahnya sama dengan mereka,” desak Ayu sembari mengarahkan telunjuknya kepadaku.
“Malam?”
“Pikiranmu selama ini soal malam, bukan? Mungkin benar yang kaummu katakan, tapi sesampainya mereka di atas kasur, pikirannya tak lebih dari membayangkan tubuh perempuan.”
Obrolan kami terjeda saat pelayan kafe mengantarkan pesanan. Pada saat itu, aku mengedarkan pandang ke sekeliling. Di sini keadaan tak terlalu riuh, tidak banyak tempat duduk yang diisi lebih dari dua orang. Mereka bercakap pelan sembari sesekali memerhatikan keadaan di luar jendela. Mungkin saja, mereka juga terganggu seperti kami ketika kendaraan berknalpot brong melintas. Sama seperti pernyataan Ayu yang menghardikku, terasa mengejutkan.
Aku menuntut Ayu lebih jauh menjelaskan maksudnya. Kurasa ia orang yang tepat dalam menjawab pertanyaanku. Kubiarkan ia panjang lebar berbicara soal malam. Tentang kesehariannya membuat paper di tengah kesibukan melukis. Ia juga menyinggung betapa beratnya proses mendapat beasiswa untuk belajar ke Inggris. Seiring itu, aku hanya terangguk mengiyakan apa yang keluar dari bibirnya. Aku tak ingin menyela penjelasannya.
Belakangan Ayu lebih banyak menyiapkan keperluannya sebelum terbang seminggu lagi. Ia sangat antusias menceritakan hal yang akan dihadapinya. Terlebih, dalam proses tersebut ia berhasil melewati ribuan pesaingnya. Aku menatap Ayu semakin dalam—mungkin terperangah, ketika ia menceritakan bahwa beberapa kali dipanggil negara menjadi pengisi seminar bagi para pencari beasiswa.
“Aku tak pernah membayangkan, sekarang duniaku sejauh itu,” lanjut Ayu sembari kembali mengangkat tudung hoodie-nya.
Entah mengapa, apa yang baru saja dikatakan Ayu membuatku tersentil. Namun hal itu segera hilang ketika sepasang orang yang duduk di belakang Ayu menjatuhkan gelas. Beberapa saat kami saling bertatapan satu sama lain. Ayu lekas menoleh, ia memandangi mereka dan saat kembali ke posisi sebelumnya mukanya berubah masam.
Kubiarkan Ayu tetap seperti itu. Aku tak mengajaknya berbicara. Tak lama kemudian ia mengambil gawai yang tersembunyi di balik kantong hoodie-nya. Aku tak tahu apa yang ada di balik gawai itu, yang pasti Ayu memunculkan senyum kecil. Mungkin saja ia dihubungi orang terkasih. Sebab ia seperti ragu-ragu ketika akan membalas pesan, hal itu terlihat dari gerak-gerik jarinya yang menggambarkan kirim-tidak-kirim-tidak di atas simbol kirim.
“Kau bisa menikmati malam-malammu, Ayu,” gangguku di tengah keasyikannya dengan gawai.
“Aku tahu isi pikiranmu. Kau menduga aku punya pacar, bukan?”
Entah jin apa yang merasuki perempuan di depanku ini. Ia mampu membaca pikiranku dan aku harus mengelak. Jika tidak kurasa pertemananku akan bermasalah, sebab ia mesti berpikiran bahwa aku sedang cemburu. “Aku ingin membalasmu, sebelum ada gelas pecah tadi,” ucapku sekenanya.
“Mengelak saja terus. Lalu segala curhatmu soal malam kepadaku apa tujuannya?”
Aku tak mengerti harus menjawab apa. Ayu berhasil menyudutkanku, bahkan sejak awal obrolan kami dimulai. Ia sangat sensi dengan apa yang muncul dariku malam ini. Tapi di sisi lain aku sangat membutuhkan dirinya. Akhirnya aku terangguk karena aku tak tahu letak salahku.
“Kurasa yang kau butuhkan di setiap malam bukan lagi bersembunyi, tapi menentukan pilihan: kerja atau cari beasiswa.”
Sontak pikiranku segera melayang. Dua tahun sudah sejak lulus, aku hanya menggantungkan hidup dari orangtua. Ijazahku selama ini hanya tersimpan di lemari. Dan persoalan malam? Rasanya perlu aku tanggalkan. Kini aku merasakan dalam perihal waktu yang sering dikatakan orang-orang mengapa terasa dingin.
Kami tak bercakap lagi. Suasana telah berubah. Agar bisa mengendalikan diri kuseruput vietnam drip pesananku yang terlanjur mendingin. Sebatang rokok juga kusulut kemudian. Asap tembakau terbang ke luar jendela. Ini bukan seperti bayanganku semalam. Ayu baru saja membuatku seperti seorang pesakitan.
“Ayo, pulang,” Ayu menarik tanganku.
Sial kau, batinku di tengah anggukanku menjawab ajakannya. Apakah ia tak melihat bahwa pesananku baru sekali membasahi tenggorokanku. Pula dengan matcha pesanannya, belum tersentuh lagi usai diserahkan pelayan kafe.
Inilah hidup, tiba-tiba pikiranku di sisi lain kembali keluar. “Diam kau!” balasku ketus.
Ayu melepaskan genggamannya dan menoleh kepadaku. Ia berjalan semakin cepat, aku tertinggal beberapa depa di belakangnya. Beberapa pelanggan kafe seperti memerhatikan kami berdua. Kutambah kecepatan langkahku mengejar Ayu.
Kau ini kenapa? Aku tak peduli lagi dengan pikiranku ini. Aku menyuruh diam. Telapak tanganku mendarat di ujung dahiku.***
Rudi Agus Hartanto, putra daerah Mojogedang. Merupakan mahasiswa Program Magister Ilmu Linguistik, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sebelas Maret. Bergiat di komunitas Kamar Kata Karanganyar dan Sanggar Bima Suci.