Cerpen

Megh dan Cerita-Cerita yang Memicu Luka

January 25, 2022

Cerpen Pasini

Megh tiba lima belas menit setelah aku mempersiapkan semuanya. Yang kumaksud mempersiapkan di sini adalah lubang di halaman belakang, lilin, dan kue ulang tahun. Juga, kopi mocca favoritnya tentu saja.

“Aku yakin sebentar lagi akan menjadi ulat dalam kepompong. Rumah ini begitu nyaman dan tidak membiarkan penghuninya pergi ke mana-mana,” buka Megh, menyertai gerakanku menuang kental kopi ke dalam dua cangkir keramik. Menanggapinya, aku tersenyum tentu saja. Bukankah senyum adalah cangkang paling aman untuk menyembunyikan apa saja. Termasuk luka. Dalam hal ini, aku berguru dari ibuku.

“Tapi bagi seekor kupu-kupu, ulat yang bertapa di dalam kepompong adalah fase paling menyiksa.” Dua cangkir kopi kubawa menuju Megh yang memilih bangku dekat jendela terbuka menghadap taman samping rumah. Bougenvil, mawar, anggrek, aglonema. Ah, lagi-lagi mengingatkanku pada ibu. Pada luka.

“Oh, tidak. Aku ulat yang bahagia.” Megh berkata sambil menarik bibirnya menjadi dua sudut yang sangat runcing. Seperti menegaskan bahwa ia bukan ulat mengenaskan seperti yang kusangkakan. “Untung aku jauh berjarak dari masa-masa itu, Ros. Mendengarkan cerita dari mulut Ibu saja sudah membuat tulang-tulangku linu.”

Dalam beberapa detik aku langsung menyadari betapa konyolnya aku dengan prasangkaku. Tentu saja Megh dan ibunya dan neneknya yang miskin itu bahagia. Ibunya tidak perlu lagi jadi buruh pabrik yang berangkat kerja pagi-pagi sekali dan tiba kembali di rumah kontrakan sempit menjelang malam. Neneknya tidak lagi serupa laba-laba yang seharian di dalam kamar memintal sarang disertai erangan.

Di mana sebelum ibu Megh berangkat kerja, sudah ia siapkan makanan di meja dekat ranjang tempat perempuan tua itu berbaring. Juga obat-obatan murah dari warung. Beberapa pijak sebelum langkahnya meninggalkan ambang kamar, ia meminta perempuan tua itu untuk sedikit menahan sakitnya. Di tanggal gajian ia berjanji akan membawa ke dokter dan membelikan obat dari apotik.

***

“Tidak enak menjadi simpanan. Selalu dianggap sebagai perebut hak bahagia orang lain.”

Megh, ibunya, dan nenek laba-labanya, tinggal di kota kecil. Berita seperti apa pun dengan cepat menyebar bagai bau busuk ditebar lalat. Yang menjadi lalat di sini tentu saja perempuan-perempuan tetangga. Mengatai ibu Megh perempuan tak punya hati. Nenek Megh menjual anak sendiri. Ketika Megh lahir, ia menjadi korban perundungan teman-teman di sekolahnya.

“Lalu Ibu merayu Ayah agar kami sekeluarga bisa pindah ke rumah yang lebih besar.”

“Ayahmu menyanggupi?” tanyaku ringan, selayaknya helai daun rapuh yang sudah tiba waktu jatuh dan diterbangkan angin. Penting untuk tetap menjaga luka di dalam cangkangnya. Aman di sana.

“Itu adalah harga yang harus dibayar setelah orangtuanya memakai kemiskinan Ibu dan Nenek agar mau dinikahi anak satu-satunya.”

“Sepertinya kau tidak suka dengan ayahmu, Megh?” telisikku.

“Aku benci saat ia mengatakan harus buru-buru pergi sementara aku masih ingin dipeluknya. Masih ingin dibacakannya sebuah dongeng, masih ingin bermanja-manja di pangkuannya. Anak-anak orang lain bebas melakukannya setiap waktu, Ros.”

Cerita Megh serupa anak sungai yang menghanyutkanku ke masa lalu. Saat terbangun di tengah malam dan mendapati hanya ada ibu menenangkanku. Padahal dalam mimpi buruk yang baru saja membuatku terjaga, aku dikejar-kejar sosok buruk rupa dan diselamatkan ayah dengan menunggang kuda.

Ibu kemudian tertawa. Mengatakan bahwa ayah tidak mungkin sedang bersama kuda. Ia tengah berada di jauh sana, berjibaku dengan kertas-kertas kerja atau laptop menyala. Aku meminta ibu menghubunginya. Hanya terdengar nada dering yang begitu lama. Esok harinya ayah baru membalas dengan beberapa alasan. Jika aku di usia ibu dan aku istrinya, tidak akan kupercaya.

Aku bahkan membenci kenyataan pernah mengirim doa-doa baik di setiap kepergian ayah. Agar  mobilnya tidak bertemu pengendara ugal-ugalan di jalan. Agar ia kembali dengan sekeranjang hadiah. Agar ia membawa uang yang banyak sehingga aku bisa membeli sekarung permen atau arum manis.

Aku juga pernah berdoa agar ayah tidak sering pergi, tetapi ibu melarangnya. Katanya, ayah bisa dikeluarkan dari tempatnya bekerja jika menolak perintah atasan. Dan itu sama artinya tidak ada lagi sekeranjang hadiah, sekarung permen, dan arum manis. Meski menurut ibu, pergi ke luar kota adalah kebiasaan baru. Ayah tidak melakukannya di tahun-tahun awal pernikahan mereka.

Rasa percaya ibu yang begitu dalam pada ayah, membawanya ke dalam luka paling palung saat terjatuh. Dan harus ada yang membayarnya agar luka itu tidak berlalu sia-sia.

“Tak ada yang bersimpati ketika Nenek meninggal. Ketika Ibu menyusulnya karena leukemia. Orang-orang dengan pintasnya mengatakan itu sebagai tuai.”

Aku mengangsurkan cangkir kopi agar lebih dekat dengan Megh. Sambil memberinya saran, ia sebaiknya menjeda ceritanya dengan minum. Cita rasa kopi akan memudar seiring perubahan suhunya.

***

Sampai ibu ditemukan dengan jerat tali di lehernya pada sebuah pagi berkabut, aku masih belum memahami perihal sakit yang dimaksud nenek. Yang kutahu, ibu menjadi seorang yang berbeda sejak ayah meninggal. Dari seorang ceria yang suka menghabiskan hari-hari dengan menanam bunga, menjadi seorang pendiam yang mencari-cari alasan agar selalu menyendiri.

Ibu juga membakar semua barang milik ayah dan tidak ingin menyimpannya demi mengawetkan kenangan. Bagiku itu ironi mengingat ayah adalah satu-satunya lelaki di hidup ibu. Mereka sudah bersama begitu lama, tepatnya sebelum aku terlambat hadir di tahun ke sepuluh pernikahan.

Setelah ayah meninggal dalam sebuah kecelakaan yang tragis, ibu belum pernah sekali pun menziarahi pusaranya. Beberapa tanyaku tentang ayah kembali sebagai jawaban-jawaban pendek. Bahkan lebih sering menguap bagai nasib awan tersapu angin.

Yang kutahu, perubahan sikap ibu dimulai ketika napas ayah tinggal satu-satu dan memaksa untuk bicara empat mata. Ibu keluar dari ruang rawat dengan tangis tak terbendung dan jatuh di pelukan nenek. Tak lama kemudian ayah meninggal dan ibu mematung.

Sebelumnya ibu adalah seorang istri yang tidak pernah mengeluh kekurangan waktu. Bahkan ibu menjadi payung peneduh atas gundahku saat tepat berusia tujuh dan dirayakan dengan sebuah pesta tanpa kehadiran ayah.

Ayah meneleponku. Mengungkapkan rasa bersalah karena kesibukannya. Menggantinya dengan sebuah janji boneka beruang dan pergi jalan-jalan sepulangnya nanti. Jadi ketika ibu mulai menghindari tanyaku tentang ayah, aku berpikir ibulah yang jahat dan ayah sebaliknya.

“Ibumu sakit,” reda nenek sambil membelai rambut sepunggungku.

Aku menggeleng. “Ibu baik-baik saja.”

“Sakitnya di sini.” Nenek menunjuk dadanya.

Tersisa nenek di sisiku. Meski yang tampak di mataku adalah sebuah jasad dengan hanya sepertiga ruh di dalamnya. Ibu adalah satu-satunya anak perempuan nenek dan menjadi kesayangan di antara dua anaknya yang lain. Kepergian ibu dengan cara mengenaskan di usia masih cukup muda pasti begitu memukul nenek. Menjadikannya semakin letih dan mendekatkannya dua kali kepada kematian. Dengan suara lirih sebelum benar-benar menutup mata nenek berujar, “Seandainya orang tua ayahmu mau lebih bersabar. Karena setahun kemudian ibumu berbadan dua. Peristiwa yang membawa luka itu tak perlu terjadi.”

Sebuah alamat kemudian diangsurkan kepadaku dan aku tidak tahu harus melakukan apa sampai begitu lama.

***

“Tapi aku pernah begitu bahagia dan merasa menang, Ros,” kata Megh. Itu adalah hari ke sembilan aku mampir ke tempat makan miliknya. Lebih dulu aku mencari tahu sebuah alamat dan menemukan Megh sebagai pemilik dari sebuah resto kecil. Aku menghabiskan banyak uang dengan pesanan dan Megh terkesan.

“Benarkah?”

“Meskipun hanya kemenangan kanak-kanak, aku memaknainya dalam. Aku berpura-pura sakit. Ibu dan Nenek memberi pilihan agar Ayah pergi. Merekalah yang akan menjagaku. Ada gadis kecil lain menunggunya untuk menerima suapan pertama dari potongan kue. Tapi Ayah memilihku.”

Megh meraih gelas. Kami bersulang. Goncangan air kuning bening di dalam gelas tulip menandai cangkangku yang retak dan tidak mampu lagi menampung bengkakan luka di dalamnya.

“Kau dan kotamu sudah menerimaku begitu baik. Aku mengundangmu untuk berganti pergi ke kotaku. Ke tempatku. Aku akan menjamumu dengan sebuah petualangan yang tidak mungkin akan kau lupakan,” kataku dengan tatap penuh permohonan.

Dan Megh mengabulkannya. Siang ini ia tiba di rumahku, lima belas menit setelah aku mempersiapkan semuanya. Yang kumaksud mempersiapkan di sini adalah lubang di halaman belakang, lilin, dan kue ulang tahun. Juga, kopi tentu saja.

“Kau juga tinggal sendiri di rumah sebesar ini, Ros?” Megh menyeruput minumannya. Mengedarkan pandang pada seisi ruang tamu yang hanya berisi pigura dengan fotoku seorang diri.

Aku melihat Megh seperti ingin berdiri. Pandangannya lekat kepada seekor kupu-kupu yang hinggap di pigura tadi dan kupikir ia hendak pergi ke sana untuk menangkapnya atau sekadar menatap dari jarak yang lebih dekat. Tapi tubuhnya kembali roboh dengan lemparan pantat yang begitu keras pada bangku. Seolah ia kehilangan kekuatannya sama sekali.

“Benar. Ayahku sudah di neraka. Bisakah kau menyampaikan salamku saat bertemu dengannya?”

Megh menatapku tak mengerti. Tapi sama sekali tidak tersisa waktu untuk bertanya. Ia memegangi lehernya serupa orang tercekik. Serbuk-serbuk putih yang ikut kularutkan di dalam teko sepertinya sedang bekerja.

Aku menyalakan lilin. Setidaknya kali ini Megh tidak perlu berpura-pura sakit di saat ulang tahunku. Sesaat setelah memejam mata untuk merapal pinta selayaknya prosesi pertambahan usia, aku menyeret tubuhnya ke lubang galian di belakang rumah.****


Pasini, mitra BPS Kabupaten Ngawi sebagai tenaga entri data. Menulis cerpen yang pernah tersiar di sejumlah media cetak dan daring.

Only registered users can comment.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *