Cerpen

Menghafal Wajah

April 25, 2023

Cerpen Fahrul Rozi 

Ini bermula ketika hujan turun dari pagi sampai petang hari Jumat. Satu warga melapor melihat sosok misterius dengan mata besar berwarna hijau dan mulut selebar kuali menculik anak gadisnya. Warga yang lain melaporkan melihat dewi bersayap hitam dengan rambut pendek—serupa Milda, anak Pak Diman—telah membawa pergi anak gadisnya dan tidak pernah kembali. Yang lain lagi melaporkan melihat lelaki dengan ekor belang berjalan dengan istrinya di malam hari dan ia tidak pernah pulang ke rumah. Semua laporan itu aku tulis di kolom kasus orang hilang. Tidak diragukan lagi. Aku menulis semua laporan tidak masuk akal itu di atas kertas folio.

Saat pulang ke rumah aku berkata pada diriku sendiri bahwa semua laporan yang aku terima hari ini adalah rekayasa biasa. Mereka hanya iseng datang ke kantor polisi untuk membuat laporan palsu. Tapi itu menyelamatkanku dari kebosanan. Jika mereka tidak datang, sudah pasti aku bakal membusuk di kantor polisi.

Aku berhenti di sebuah kedai dekat stasiun. Memesan kopi. Duduk di bawah langit gelap, aku mengambil sebatang rokok dan menyulutnya. Ketika pelayan menaruh cangkir, aku teringat bahwa besok libur. Aku punya banyak waktu malam ini. Besok aku bisa berkunjung ke rumah adikku atau menghabiskan waktu di luar. Menaiki kereta, transit kemudian berhenti di stasiun selanjutnya. Setelah itu berjalan kaki di trotoar. Membeli roti dan duduk di teras toko. Aku tidak sabar menantikan besok.

Selesai menghabiskan kopi aku keluar kedai. Menyusuri jalan pulang. Malam sudah larut, angkutan umum tidak beroperasi jadi aku berjalan kaki di sepanjang jalan gelap. Di gang sekelompok pemuda membentuk lingkaran. Menyembah sebotol alkohol. Berkelakak.

Rumahku gelap, segelap malam ini. Aku membuka pintu dan menghidupkan satu persatu lampu. Melepaskan semua pakaian, memasukkannya ke dalam bak lantas merebahkan diri di atas ranjang. Aku langsung tertidur. Nyenyak sekali. Aku tidak pernah tidur senyenyak ini dalam hidupku. Aku bermimpi mendengar jeritan perempuan. Ia seperti meminta tolong. Dalam mimpiku, suara itu tiba-tiba lenyap dan berganti suara biola. Aku mendengarkannya dengan saksama. Di mimpiku yang gelap dan hanya gesekan biola yang terdengar, aku bangkit seperti vampir.

Tubuhku tergerak secara naluriah. Berjalan layaknya boneka. Mungkin ini mimpi tapi aku mendengar dengan jelas gesekan biola itu. Aku tidak tahu. Lagi pula membedakan dunia realitas dengan dunia lain merupakan hal yang sulit.

Aku berjalan keluar dari kegelapan. Perempuan dengan kulit kuning sawo tidur di atas bangku. Perempuan itu tidur sangat pulas. Aku tidak tega membangunkannya. Ia tidak terlihat seperti gelandangan yang tinggal di pinggir rel kereta atau gang kecil berbau tengik. Ia memakai gaun hijau dengan rambut hitam sepinggul. Sepatu bot hitam. Mungkin ia jelmaan Nyi Roro Kidul atau semacamnya. Dengan berat hati aku menggoyang-goyangkan tubuhnya. Ia menggeliat. Matanya terbuka perlahan. Ia berkata sesuatu tapi aku tidak menangkap maksudnya. Setelah ia sadar, aku pergi meninggalkannya. Mimpi yang aneh.

***

Matahari menyembul dari ventilasi kamar. Aroma tanah yang diguyur hujan meruak dari kisi-kisi jendela. Aku bangkit, pergi berjemur di luar rumah. Sebelum menikmati hari libur, aku membersihkan rumah. Pukul 10.21, aku membatalkan niatku karena tiba-tiba hujan mengguyur deras. Memikirkan liburan yang gagal, aku bingung mau melakukan apa. Selama satu jam lebih aku hanya duduk di teras, menyaksikan hujan turun.

Aku kembali ke kamar dan tidur. Hari sudah malam ketika aku bangun. Di luar masih hujan. Pintu rumah diketuk. Pelan. Aku diam. Siapa yang berkunjung di tengah hujan deras begini? Ketukan pintu terulang setelah jeda sejenak. Tetap pelan. Dengan malas aku bangkit dan membukakan pintu. Seorang perempuan, yang sepertinya aku kenal berdiri di depan rumah.

“Akhirnya aku menemukanmu,” lirihnya. Ia melepas jas hujan, menepuk-nepuk pakaiannya. “Aku sudah mencarimu sejak terakhir kita bertemu. Apa aku boleh masuk?”

Dengan ragu-ragu aku memintanya masuk. Ia melihat sekeliling rumah. “Rumah yang bersih,” Aku lupa kapan bertemu dengan perempuan ini. Mungkin sudah bertahun-tahun. Aku mencoba mengingat wajah teman SD, SMP, dan SMA, tapi yang muncul wajah orang hilang.

Perempuan itu duduk di kursi, menciptakan hening. Aku pergi dari keheningan, membuat teh. Usai menyajikan teh aku berdiri tidak jauh darinya. Seperti pengawal putri kerajaan, aku menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya. Hening kembali. Ia menyeruput teh.

“Mengapa kamu tahu rumahku… dan Siapa namamu?” sayangnya pertanyaan-pertanyaan itu tenggelam di tengah hujan lebat, dan namanya tidak aku ketahui. Ia berdiri lantas menarik tanganku keluar.

“Kita mau ke mana?” tanyaku di antara deru hujan.

 “Ke tempat teman-teman kita,” katanya dengan suara keras.

Kami berlari di bawah langit hitam. Tangan kami bergandengan seperti kekasih yang melarikan diri dari nasib. Jalanan gelap dan hujan mengguyur tanpa henti. Cahaya berpendar di depan kami. Cahaya yang hangat. Lamat-lamat hujan berhenti. Seorang lelaki berdiri di bawah tiang lampu, berbalut cahaya kuning dia memberi hormat.

“Selamat datang di Big House. Teman-teman sudah menunggu kalian di dalam.”

 “Ayo, masuk,” bisik perempuan itu. Kami masuk ke halaman rumah yang luas. Rumah besar berdiri dengan gagah. Bukan. Itu istana. Dua lelaki berpakaian serba hitam berdiri di depan pintu. Mereka membukakan pintu setelah memberi hormat. Aku diam. Yang ada di depanku sekarang bukan mimpi. Ini benar-benar nyata.

Laki-laki dan perempuan berdansa di bawah sinar lampu. Sementara perempuan bergaun merah duduk mantap di depan piano. Jari lentiknya menari di atas tuts, memainkan Ballade milik Chopin. Seorang perempuan bergaun hitam datang menghampiriku. Ia menarik tanganku ke tengah ruang dansa. Kami berdansa. Sepasang kekasih tersenyum ke arahku. Menjelang permainan pianis berakhir langkah kami melambat dan berhenti. Semua bertepuk tangan. Semua tersenyum bahagia. Perempuan yang membawaku bertanya.

“Apakah kamu menikmatinya?”

Aku mengangguk mantap. “Terima kasih telah mengajakku kemari. Terima kasih banyak,”

“Jika berkenan, tinggalah di sini bersama kami,”

 “Terima kasih, tapi aku ada kerjaan besok. Maaf.”

***

“Bangun Jun.” Seorang berteriak di telingaku. Aku mengenal suara ini. Dia Bagas, atasanku. “Kamu sudah makan siang?”

Aku melihat Bagas berdiri di sampingku. Foto orang hilang berserakan di atas meja kerjaku. Awalnya aku tidak tertarik, tetapi setelah diperhatikan aku pernah bertemu dengan mereka. Sebentar. Beri aku waktu untuk berpikir. Semalam aku tidur, seorang perempuan datang ke rumah lalu ia mengajakku pergi. Kami berlari di tengah hujan, seorang lelaki menyambut di bawah tiang lampu. Seorang perempuan lain mengajakku berdansa, dan setelah itu aku tidak ingat. Aku mengambil secarik foto, melihatnya dengan saksama. Mengambil yang lain. Memeriksanya kembali. Ini sungguh mengejutkan.

“Jun, kamu baik-baik saja? Jangan memaksakan diri, oke.”

Di luar masih hujan. Suara Bagas lenyap. Aku bangkit menepuk bahu Bagas sembari berkata, “aku menemukan mereka. Aku berhasil menemukan mereka, Pak. Mereka tidak jauh dari sini.”

Bagas membelalak serupa sapi. Dia balik menepuk bahuku dan berkata. “Sebaiknya kamu pulang lebih awal lalu istirahat. Aku akan meminta Andi mengurus kasus ini.”**

 Sewon, 18-10-2022


Fahrul Rozi, lahir pada 10 Agustus. Penulis lepas dan buruh tata letak buku. Saat ini tinggal di Jogja. Bisa dihubungi di Instagram @Ojiy__ atau melalui email: muhammadfahrulrozirohman@gmail.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *