Cerpen

Mereka yang Dijemput, lalu Bertemu Malaikat Maut

July 4, 2023

Cerpen Annisa Nur Utami

Bapak mati tanpa diadili. Kepalanya bolong diterjang peluru. Sepotong tali plastik melilit lehernya. Mayatnya dibuang di pinggir jalan tanpa busana, tanpa kain apa pun yang menutupinya. Tangannya diikat ke belakang. Jejak tebasan kelewang di bagian tubuhnya yang dirajah dengan tato naga dan kobra menganga, mengundang lalat untuk beranak. Bisikan orang-orang yang menonton mayatnya bisa kudengar dengan jelas, “Gali pantas mati.”

Usiaku 20 tahun saat Bapak mati. Aku paham dengan peristiwa jahanam yang menimpanya. Pemerintah durjana ingin negara aman dengan menghabisi bromocorah. Mereka memburu dan mencabut nyawa anggota gali, preman bertato yang mencari uang dengan memeras, menjambret, merampok atau mengutip uang keamanan dari toko, salah satunya Bapak.

Sebelum tubuh kakunya ditemukan, Bapak dijemput sekelompok orang bertubuh tegap dan berpakaian preman. Orang-orang itu memakai penutup kepala sehingga Ibu tidak mengenali mereka. Bapak diseret dan dipaksa naik ke jip Toyota Hardtop berwarna hitam. Ibu mendengar suara mengaduh ketika kepala Bapak dihantam gagang pistol. Tapi, Ibu hanya bergeming karena terlalu takut untuk melawan. Terlebih, Ibu diancam dengan todongan pistol saat hendak berteriak. Ibu menceritakan peristiwa itu kepadaku esoknya, tepat setelah aku bebas dari lapas gara-gara kasus perampasan. Pada hari yang sama, mayat Bapak ditemukan tergolek di kawasan terminal dan pertokoan tempat dia biasa meminta jatah keamanan.

“Asu!” Makian Panjul menyadarkanku dari lamunan. Dia melempar koran yang memuat foto dan berita kematian Bapak ke depanku. Lantas, dia menghempaskan punggungnya yang dirajah dengan tato bergambar kunci ke dinding dangau yang hanya setinggi bahu. Kemurkaan tergambar jelas di wajahnya.

Sahir hanya melirik sesaat. Tangannya sibuk melingkarkan perban di kaki. Untuk mengelabui petrus sekaligus agar tidak dianggap gali, dia nekat menghilangkan tato di kakinya dengan soda api. Akibat kebodohannya itu, lukanya infeksi dan bernanah. Bau busuk akan tercium sangat menyengat dan mengundang lalat jika lukanya tidak dibebat. Sementara aku memilih mengenakan celana dan kemeja panjang demi menutupi tato.

Aku tak berselera untuk menanggapi ucapan Panjul. Pikiranku dipenuhi cara agar bisa tetap hidup dan tidak berakhir seperti Bapak.

Pada petang di hari yang sama dengan penemuan mayat Bapak, Sahir memberi daftar gali di wilayah Kulonprogo. Namanya, namaku, dan Panjul ada dalam daftar gali di wilayah itu. Jika sudah masuk dalam daftar buronan Garnisun Kodim, hanya tinggal menghitung hari untuk bertatap muka dengan kematian.

“Bagaimana kalau kita menyerahkan diri saja?” Pertanyaan konyol dan bernada putus asa itu meluncur dengan mulus dari mulut Sahir. Dia sudah selesai membalut lukanya. “Tosari, kamu setuju dengan ideku?”

Aku hendak menjawab pertanyaan Sahir, tapi Panjul lebih dulu memotong.

“Goblok! Kita sembunyi agar tidak mati! Di mana otakmu?” Panjul meninju alas dangau. Ada kilatan amarah pada tatapannya. Mata pria berusia setengah abad itu seakan-akan hendak menerkam dan mengoyak daging Sahir. “Jika kamu mau mati, mati saja sendiri. Tidak usah mengajakku, Bocah Asu.”

Sahir mengabaikan kemarahan Panjul. Dia mengambil koran yang tadi dilempar Panjul, lalu melebarkan lipatannya dan menunjukkan berita tentang Brindil, laki-laki yang menyangkal tuduhan bahwa dirinya anggota gali. “Kita bisa mencoba cara ini agar bisa selamat dan dihapus dari daftar target Garnisun.”

“Bagaimana jika gagal? Laki-laki itu memang terbukti bukan gali. Lah, kita? Pergi ke kodim sama saja dengan menyerahkan nyawa.” Aku mengeluarkan kalimat pesimis, “Lagi pula, Garnisun pasti punya banyak mata-mata. Kita bisa mati, bahkan sebelum mencapai tempat itu. Kalaupun sampai dengan selamat, kita tidak akan diampuni begitu saja. Banyak sopir bis dan pemilik toko yang sudah menjadi korban kita. Bukan tidak mungkin, mereka akan melaporkan kita.”

Sahir mengangguk. “Kamu benar. Itu sama saja dengan bunuh diri.” Dia terdiam sesaat, seperti sedang memikirkan sesuatu. “Aku punya teman di daerah Banyumas. Bagaimana jika kita tinggal di sana untuk sementara waktu sampai keadaan di sini aman?” Sahir menawarkan ide sambil menatap aku dan Panjul bergantian. Tanpa menunggu reaksi kami, dia bersuara lagi, “Ambil bekal secukupnya. Kita berkumpul lagi di sini sebelum fajar.”

***

Jam 3 pagi, aku dan Panjul menunggu kedatangan Sahir di dangau. Tempat itu dikelilingi sawah dengan rumpun batang padi yang mengering. Sepi sekali. Bahkan, tak kudengar denging nyamuk. Kemarau panjang tak memberi tempat basah bagi nyamuk-nyamuk untuk bertelur.

“Jika sudah sampai Banyumas, kita kerja apa?” Panjul mengembuskan asap rokok ke udara. Matanya menerawang jauh. “Masa, mau jadi garong lagi?”

Aku ingin tertawa, tapi kematian Bapak masih membayangiku. Pertanyaan itu sungguh menggelitik. Pendidikanku hanya sampai sekolah dasar. Itu pun tidak sampai lulus. Keahlian khusus pun tidak ada yang kukuasai, selain menjabret dan memeras pedagang. Jadi, jawaban untuk pertanyaan itu hampir membuatku terpingkal. “Ndak tahu, Mas. Mungkin jadi tukang parkir aja.”

Kelengangan terusik. Aku menoleh dan bangkit ketika mendengar sesuatu patah akibat terinjak. Naluriku langsung berkata ada bahaya saat melihat ke sekeliling dangau. Di bawah sorot remang cahaya bulan, aku melihat beberapa orang bergerak dengan mengendap-endap ke arahku. Cara bergerak yang mencurigakan itu membuatku yakin bahwa salah satu dari mereka bukan Sahir.

Setelah memastikan orang-orang itu berjalan ke arah aku dan Panjul, kami segera mengambil langkah seribu. Sahir menyuruh kami untuk tidak membawa senjata apa pun agar tidak dicurigai. Sialnya, kami menurut. Jadi, aku dan Panjul memilih lari karena kami tak punya alat apa pun yang bisa digunakan untuk melawan mereka. Tas lusuh kami yang hanya berisi pakaian kami tinggalkan di dangau.

Sedetik kemudian, aku mendengar suara pistol meletus berkali-kali. Tak lama setelah itu, aku merasa hawa panas menerjang belikat dan lututku. Seketika aku tersungkur di tanah berpasir. Aku berusaha meraup udara dengan rakus, tapi sulit. Seperti ada beban berat yang menekan tubuhku kuat-kuat. Mataku berkunang-kunang dengan kepala yang terasa pening.

Dalam kesadaran yang masih tersisa, aku melihat seorang pria menghampiri Panjul yang juga tersungkur di tanah. Pria itu menendang Panjul, seperti memastikan Panjul sudah mati. Pria lain menghampiri Panjul. Dia menarik rambut Panjul dan  membidik kepala Panjul tepat di tengah dahi. Bunyi pistol kembali menyalak.

Penembak Panjul menatapku. Kengerian pada sorot matanya membuatku yakin bahwa ajalku telah tiba. Aku berusaha memohon ampun, tapi yang keluar dari mulutku hanya suara lemah serupa rintihan. Darah segar mengucur dari hidungku. Rasa asin memenuhi indera perasaku. Lama-lama semuanya terasa ringan dan melayang. Kemudian, aku merasa larut dan lenyap.

***

Guyuran air di muka memaksa kesadaranku untuk kembali. Sosok pertama yang kulihat adalah bayangan samar orang-orang yang tidak kukenal. Rasa sakit pada belikat dan tangan yang terikat ke belakang membuatku tak leluasa untuk bergerak. Terlebih, lututku sulit untuk diluruskan. Aku hanya bisa meringkuk di lantai.

“Di mana Karto Kancil?” Pria dengan postur tubuh tegap menarik paksa rambutku. Dia menyebut nama salah satu pengurus gali di daerah Kulonprogo.

“Tidak tahu,” jawabku jujur. Sebelum ditahan di lapas, aku memang anak buah Karto Kancil. Tapi, setelah bebas, aku tak pernah mendengar kabarnya lagi.

Tanpa melepas jambakan dari rambutku, pria itu menghantamkan bogem mentah ke wajahku, menghantarkan denyut rasa sakit yang menyengat. “Jawab!” Dia berteriak tepat di depan telingaku.

“Aku benar-benar tidak tahu!”

“Bapak dan anak sama saja!” Pria itu akhirnya melepaskan cengkeramnya setelah meludahi wajahku. Namun, sebelum menjauh, dia menendangku tepat di ulu hati. Aku kembali merintih. Pada detik itu, aku berharap untuk mati saja.

Dalam keremangan suara-suara yang tidak kukenal, aku menangkap bunyi yang tidak asing.

“Seandainya kamu mau kuajak untuk menyerahkan diri, nasibmu tidak akan seperti ini dan mungkin kita akan menjadi partner.”

Aku membuka mata. Seorang pria dengan langkah tertatih-tatih berjalan mendekat sembari menenteng sepucuk karabin. Wajah pria itu, yang semula samar, semakin jelas. Bau busuk menguar dari tubuhnya, seolah-olah mengaduk perutku untuk menyemburkan muntahan. “Sahir?”

Dia menyeringai serupa iblis.

Takdirku sudah digariskan. Aku mati tanpa diadili. Kepalaku bolong diterjang peluru. Sepotong tali plastik melilit leherku. Mayatku dibuang di pinggir jalan tanpa busana, tanpa kain apa pun yang menutupi tubuhku. Tanganku diikat ke belakang. Jejak tebasan kelewang di bagian tubuhku yang dirajah dengan tato naga dan kobra menganga, mengundang lalat untuk beranak. Bisikan orang-orang yang menonton mayatku bisa kudengar dengan jelas, “Gali pantas mati.”***

Samarinda, 10 Mei 2023


Kelengangan terusik. Aku menoleh dan bangkit ketika mendengar sesuatu patah akibat terinjak. Naluriku langsung berkata ada bahaya saat melihat ke sekeliling dangau. Di bawah sorot remang cahaya bulan, aku melihat beberapa orang bergerak dengan mengendap-endap ke arahku. Cara bergerak yang mencurigakan itu membuatku yakin bahwa salah satu dari mereka bukan Sahir.

Annisa Nur Utami, pengarang kelahiran Bandung ini sudah melahirkan novel berjudul Ibu untuk Airin. Beberapa tulisannya dimuat di media massa online dan media massa cetak.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *