Cerpen

Musim yang Rumit

July 26, 2023

Cerpen Ranang Aji SP

Memasuki musim hujan tahun ini, bagi Armando, adalah waktu di mana ia harus mempersiapkan dirinya lebih kuat untuk menghadapi kenangan yang tak ubahnya badai yang mengancam. Musim yang memberinya ingatan buruk atas hilangnya rasa ceria pada kehidupan yang seharusnya ia miliki. Bertahun-tahun lampau dan bertahun-tahun kemudian, kenangan itu datang bagaikan teror bersama turunnya air hujan sepanjang hari dan juga banjir yang menggenang kecokelatan di kotanya.

Setelah mengunci pintu rumahnya, Armando berjalan menuju toko, tempat di mana semua barang seperti mantel dan payung dijual. Ia menyapa pemilik toko, seorang pria bernama Lee. Bercakap-cakap sebentar, sebelum kemudian memilih-milih payung yang berwarna-warni dan  berjajar di atas tatakan besar. Ia ingin payung yang besar dan berwarna kuning dan ia mendapatkannya. Setelah membayarnya, ia berkata pada Lee bahwa waktu berlari seperti buroq. Waktu yang seolah tak memberinya kesempatan untuk beristirahat dari kenangan yang menikam.

“Ah, lupakanlah,” kata Lee pendek. Matanya yang kecil bersinar perihatin.

Armando menatap sejenak wajah Lee dan tersenyum lemah. Ia mengatakan akan ke tempat Clara.

***

Sepuluh tahun lalu, ia mengenal Lee di toko ini. Mereka selalu bercakap-cakap di antara waktu senggang Lee. Pemilik toko itu kemudian memperkenalkannya pada seorang perempuan bernama Clara, sepupu Lee. Armando juga kemudian berkenalan dengan seorang pria bernama Bruno dan Johan. Keduanya adalah teman Clara. Dalam beberapa waktu, mereka menjadi teman bicara di toko Lee. Ketika tak ada pelanggan Lee ikut bersama untuk mengobrol di teras toko bersama rokok dan bir. Mereka bicara apa saja tentang semua kejadian di kota mereka. Juga tentang cinta yang misterius.

Ketika Armando disangka jatuh cinta pada seorang gadis bernama Sofia, teman-temannya mulai membicarakannya. Mereka mempertanyakan siapa Sofia. Clara bahkan memintanya untuk memperkenalkan gadis itu pada mereka. Kata Clara, lebih baik mengajaknya berkumpul agar menjadi bagian dari mereka. Dengan demikian, Armando bisa tetap berkumpul bersama mereka di teras toko Lee. Semua setuju dengan pendapat itu. Armando pun setuju, dan begitulah akhirnya, Sofia berkenalan dan menjadi bagian kelompok itu.

Pada setiap minggu Sofia datang untuk ikut berkumpul, bahkan tak perlu lagi Armando menjemput. Sofia gadis yang supel dan mudah sekali akrab dengan teman-teman barunya. Terutama dengan Bruno. Setiap kali Bruno tak muncul, Sofia tampak terlihat resah dan murung. Sementara Armando melihat semua itu dan berpikir bahwa Sofia menyukai Bruno. Tapi ia hanya mengamati dan menunggu. Clara sendiri mengamati sikap Armando yang tenang seperti permukaan air yang dalam. Dan bagi Lee, semua itu tak terlihat sebagai apapun. Lee lebih menikmati perbincangan yang membuatnya melupakan waktu yang membosankan.

Suatu waktu, Clara bertanya pada Armando ketika berada di rumahnya –tentang desas-desusnya.

“Benarkah kau menyukai Sofia?”

Armando tak kaget dengan pertanyaan itu. Ia sudah tahu semua orang menyangkanya menyukai Sofia. Dengan suara pasti, Armando mengatakan tidak. Jawaban itu justru membuat Clara terkejut. Lebih kaget lagi ketika Armando mengatakan bahwa dirinya menyukai Clara. Clara tampak suka dengan jawaban itu, tapi ia hanya diam. Ruangan itu menjadi sunyi. Malam itu, tiba-tiba, Armando dengan keberanian seekor singa jantan mendekati Clara yang duduk terdiam di sofa. Merengkuh perempuan itu, dan tiba-tiba mereka bercinta begitu saja, sebagaimana waktu yang datang tanpa disadari. Armando mengira Clara dalam kekuasaan cintanya. Tetapi ia salah. Clara menggeleng setelah semua usai. Clara mengatakan melakukan itu hanya karena ia menginginkan, bukan karena perasaan.

“Jangan salah sangka,” kata Clara lirih.

Armando kecewa dengan jawaban itu. Tapi ia berusaha tak peduli. Matanya yang hitam menatap wajah Clara yang halus. Mencoba mencari apa yang tersembunyi di antara jasad dan hatinya. Tapi ia tak mampu menemukan apapun kecuali kecantikannya. Setelah peristiwa itu, Armando merasakan dirinya seperti tertahan dalam sebuah perasaan yang tak dimengerti oleh dirinya sendiri. Setiap waktu seolah-olah dirinya terpenjara dalam kurungan sempit yang menahannya. Hingga akhirnya Armando sadar, bahwa Clara telah begitu berkuasa atas dirinya.

Ketika Clara datang, seluruh hidupya luruh sepenuhnya pada keinginan perempuan itu. Ia merasakan betapa damai bersamanya. Jiwa Armando menjadi seperti belalang sembah jantan yang rela mati untuk pasangannya dengan membiarkan otaknya dimakan sang betina ketika bercinta. Seluruh hidupnya seolah akan dipersembahkan hanya untuk Clara. Namun, sepupu Lee itu tak mudah percaya. Dia mengatakan bahwa jika benar Armando mencintainya, maka semua harus dibuktikan dengan ketundukan tanpa menuntut apapun kepadanya. Armando menerimanya.

Sekian waktu, Armando mengikuti apa yang diinginkan Clara, meski hubungan mereka tak pernah seperti yang ia inginkan, yaitu menjadi pasangan yang berkomitmen dan diketahui semua orang. Hingga pada akhirnya, ia merasa tak kuat dan mencoba memohon pada Clara sekali lagi, agar hubungan mereka diresmikan hingga taraf pengakuan. Tapi Clara menolak dengan alasan tak siap dengan sebuah hubungan yang mengikat. Kecewa dengan penolakan itu, Armando mengerahkan dirinya untuk mencoba menerima kenyataan dan memilih merayu perempuan lain. Maka ia mencoba mendekati Sofia, tapi, hanya demi membuat Clara cemburu.

Ketika Armando mendekati Sofia, persoalan menjadi semakin rumit. Sofia tiba-tiba membencinya dan selalu bersikap kasar, seolah Armando adalah mimpi buruk baginya. Sikap itu membuat Armando bertanya-tanya pada dirinya sendiri, apa salahnya hingga Sofia begitu membencinya. Karena tak menemukan jawaban, Armando akhirnya bertanya pada Clara dengan harapan mendapatkan jawaban. Namun, ketika ia mencoba menanyakan itu, perempuan itu justru marah dan memakinya sebagai laki-laki tak punya rasa setia. Armando bingung. Otaknya tak mampu mencerna apa keinginan Clara sesungguhnya.

Suatu malam, ketika hujan mengguyur kota, Armando menuju toko Lee. Ia datang ketika Johan dan Bruno tengah berbincang, sementara Lee melayani pelanggannya. Ia tak melihat Clara dan Sofia di sana. Ia hanya menemukan mata Bruno yang berbinar saat Armando bergabung. Tangan Bruno menarik lengan Armando agar duduk di sebelahnya. Sebelum kemudian berbincang tentang hujan dan sebagian kota yang terancam banjir. Beberapa saat kemudian, Sofia datang bersama Clara. Namun, begitu melihat Armando duduk bersebelahan dengan Bruno, Sofia tiba-tiba berteriak histeris dan melempar sepatu ke wajah Armando.

“Kalian bajingan haram jadah!: Suara Sofia terdengar seperti geledek hingga membuat orang-orang di sekitar toko memperhatikan.

Armando yang tak mengira menjadi sasaran kemarahan kaget setengah mati. Ada apa ini? Tanyanya dengan suara gagap. Semetara Lee yang tengah melayani pelanggan, segera mendatangi dan mencegah Sofia yang telah menjadi gila menyerang Armando yang berdiri panik dan kebingungan. Melihat kejadian yang tak disangka itu, Clara dengan wajah setengah panik meminta Armando menjauh dan mengikutinya.

Akhinya, dengan diiringi suara caci maki Sofia, mereka berdua pergi. Setelah mengambil payung berwarna kuning, Clara mengajak Armando menuju parkiran dan meminta Armando menyetir mobil. Sementara itu dengan perasaan bingung atas yang menimpanya, Armando menuruti kemauan Clara. Sepanjang jalan yang basah oleh hujan itu, tak ada satu pun yang bicara. Armando masih merasa bingung dan tegang. Sementara Clara hanya termenung. Ketika mereka sampai di jalanan sunyi di antara pohon-pohon yang basah, tiba-tiba dengan suara getar, Clara mengatakan kata maafnya yang tak dipahami Armando untuk apa. Hingga kemudian perempuan mengakui bahwa semua itu terjadi karena salahnya. Sofia, lanjutnya, cemburu karena mendapatkan informasi darinya bahwa Bruno adalah pacar Armando.

“Maafkan aku,” katanya, “aku tak ingin kau dekat dengan Sofia.“

Pengakuan itu membuat Armando marah. Ia tak tahu apa maksud Clara berbuat seperti itu. Apa yang ia tahu, selama ini Clara menolaknya. Ia tak menyangka jika Clara melakukan itu. Emosinya menekan dadanya. Rasa sesak dan panas di dadanya membuat kakinya menginjak pedal gas tanpa kendali. Mobil melaju kencang. Clara panik. Ia meminta Armando berhenti. Permintaan itu ditanggapi Armando dengan menginjak pedal rem secara kuat. Mobil berhenti mendadak dengan suara berderit, hingga membuat tubuh mereka teranyun keras ke depan. Kepala Armando tiba-tiba terserang rasa sakit akibat benturan, dan matanya berkunang-kunang. Namun, ketika ia ingin menumpahkan rasa kesalnya pada Clara, Armando melihat perempuan yang selama ini ia puja tak bergerak dengan dahi berdarah.

“Lupakanlah,” ulang Lee. “Itu bukan salahmu.” Armando menatap mata cokelat Lee. Mata itu mengingatkannya pada Clara.****


Ranang Aji SP menulis fiksi dan nonfiksi. Karya-karyanya diterbitkan pelbagai media cetak dan digital. Dalang Publishing LLC USA menerjemahkan dua cerpennya ke dalam bahasa Inggris. Menjadi nominator dalam Sayembara Kritik Sastra 2020 oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud. Buku Kumcernya “Mitoni Terakhir” diterbitkan penerbit Nyala (2021).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *