Buku Resensi

Narasi Futuristik Kepala

August 6, 2019

Oleh Setyaningsih

Ada suatu anekdot ihwal kepala yang beredar di masa sekolah. Guru selalu mengatakan untuk melepaskan kepala di rumah atau tidak usah membawa kepala ke sekolah setiap kali murid terlihat lungkrah melenakan kepala di meja. Melepaskan kepala di sini benar-benar lebih dekat ke arti harfiah, bukan secara metaforis mewakili tindakan untuk tidak menggunakan isi kepala (otak) atau berpikir. Namun, begitu membaca novel eksperimental Cara Berbahagia Tanpa Kepala (2019) garapan Triskaidekaman, melepas kepala yang sungguh-sungguh memisahkan kepala dari badan memang menjadi peristiwa yang sangat realis.

Kepala adalah penanda eksistensial. Secara birokratis, kepala mengingatkan pada jabatan-jabatan penting, seperti kepala pusat, kepala negara, kepala sekolah, kepala desa, kepala keluarga, dan kepala-kepala lain yang berada di tempat tertinggi untuk membawahi setiap (anggota) badan. Kerja (berpikir) yang dilakukan kepala pun sering lebih dihargai daripada kerja (bertenaga) dari badan. Bisa dikatakan segala ritual komersial sampai spiritual, paling bisa dialami kepala. Triskaidekaman menulis, “Kepala adalah sumber segala mudarat dan ide keparat. Rumah segala kisah Ayah pengecut bertempat, segala uang di mata dan pukas Ibu, dan kitaran orang yang cuma berpura-pura sayang. Sedangkan badan cuma bisa menurut. Kepala paling rajin terpelihara—sebut saja sampo, calir muka, maskara, hingga celak, dan gincu merona. Badan belum tentu. Kepada beda di setiap orang—terima kasih Muka—hingga setiap baru berkenalan, selalu kepala yang dilihat duluan” (hal. 5).

Triskaidekaman tidak secara gamblang menyebutkan penahunan peristiwa meski cerita jelas terjadi di Jakarta sebagai kota percaturan sengit hidup para kepala. Dalam narasi futuristik ini, teknologi tidak lagi hadir untuk membantu, manusia sendiri sudah menjadi tubuh mekanis yang bekerja selayaknya komputer. Anggaplah pembayangan futuristik bukan hal mengagetkan, semacam layanan ketubuhan; pijat, perawatan wajah, sulam alis, atau perbaikan ukuran kelamin, tentu dengan upaya lebih canggih. Tokoh utama lelaki, Sempati, mengikuti program “Bebaskan Kepalamu” yang menjanjikan keringanan beban hidup khas urban. Sempati tidak perlu khawatir mati atau kehilangan kemampuan mengindra dan keraiban segala kenangan. Segala hal sudah dicadangkan sebuah kandar kilas alias flashdisk. Selain itu ada pencadangan fungsi otak di dengkul dan selangkangan, sepertinya inilah cara Triskaidekaman mendestruksi kehormatan kepala.

Tragisme Urban

Sejak awal, Sempati memang sudah merasakan ketidakkesinkronan kepala dan badan. Harapan hidup sejahtera juga pupus; kendaraan, karir, kemapanan finansial, kekasih, dan keutuhan keluarga yang paling mustahil dicapai. Sejak kepala dipisahkan, kepala lebih berotoritas menenggak kebebasan, “Kini, kepala itu bebas memuaskan segala keinginan yang tak pernah direstui badan sewaktu mereka bersama dulu. Kedai tenda. Makan seporsi sate dua belas tusuk. Minum teh manis yang cokelat pekat. Berkeliling taman kota. Menonton tingkah polah manusia. Mencerap pergerakan peradaban menjelang padamnya lampu jalan. Mampir dan mengintip ke dalam rumah binal, mencari sepotong adegan yang banal sampai yang seksual. Semakin menjadilah kebencian kepala Sempati kepada badannya. […] Setelah sekian lama, kini saatnya: kepala Sempati membentuk otonomi sendiri, merdeka dari badan yang memenjarakan” (hal. 55).

Tentu, Triskaidekaman membawa Sempati pada konflik paling gawat: kecurian kepala. Kepala Sempati benar-benar hilang dicuri, padahal kepala harus tetap dimiliki agar tidak mati. Sekali lagi, kepala tetaplah penanda eksistensial manusia, “Kaki dan tangan tak berwajah, takkan pernah menandingi kepala. Beberapa kaki dan beberapa tangan berajah-bertahilalat-bertanda lahir, tetapi begitu bercerai dari tuannya, yang diingat tetaplah wajah dan hanya wajah. Tuan adalah wajah dan wajah adalah tuan.” Dalam perjalanan badan dan kepala saling mencari, terungkap masa lalu traumatis Sempati sebagai anak. Dia harus menghadapi kenyataan dilahirkan dalam keluarga yang berantakan, dihantam masa lalu asmara ibunya yang rumit, pertengkaran orangtua, pengkhianatan, kecacatan dan balas dendam, keterabaian. Kepala yang terlepas justru mengungkap segala yang tidak membahagiakan khas urban.

Di sini hadir Semanggi, bapak tapi bukan bapak biologis yang karena tidak memiliki kedigdayaan ekonomi membesarkan anak, memilih menjadi jam tangan. “Saya akan menjadi sebuah jam tangan. Penunjuk waktu yang mengingatkannya untuk hidup teratur. Pengingat bahwa waktunya terbatas. Pengingat bahwa dia akan tumbuh besar, akan menyakitkan banyak hal” (hal. 194). Waktu adalah hal yang bernas sekaligus menakutkan bagi manusia. Terutama dalam persepsi modern, waktu menentukan capaian hidup sebagai manusia sukses, menantang tapi tidak tertaklukkan.

Narasi futuristik kepala Triskaidekaman tentu harus mengadopsi diksi-diksi teknologi perkomputeran. Sekalipun diksi perkomputeran lumrah hadir dalam bahasa Inggris, Triskaidekaman tetap mengupayakan menggunakan bahasa Indonesia yang baik untuk mengganti sebagian diksi-diksi teknologi ataupun narasi tutur novel. Pembaca akan sering menemukan diksi-diksi yang barangkali masing sangat asing, tapi sebenarnya telah terdaftar di kamus resmi bahasa Indonesia.

Pemilihan tema yang eksperimental-futuristik dengan pengemasan tragisme lewat strategi bahasa dan pilihan diksi memang menonjol sebagai cara bertutur Triskaidekaman. Cara ini sekaligus mengakali kisah tragisme manusia urban yang bisa kita rasa sangat lumrah berkisar di prosa mutakhir Indonesia. Strategi bertutur Cara Berbahagia Tanpa Kepala berkemungkinan mengemas yang lumrah, demi berhasil menegangkan dan menolak membosankan.


Setyaningsih, Esais. Pembaca Buku. Penulis cerita “Peri Buah-buahan Bekerja” (Kacamata Onde, 2018) Email : langit_abjad@yahoo.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *