Cerpen

Panmunjom

August 1, 2023

Cerpen Aprilia Nurmala Dewi

Lee Won Shik melipat suratnya yang ke-1059. Surat-surat penuh cinta yang tak pernah sampai ke tujuannya. Surat itu mustahil menemukan jalannya, lembaran-lembaran kertas itu hanya pelipur lara sang penulis. Lee menggoreskan harapan dan kerinduannya dengan hati-hati. Setiap hari selama ditahan di Utara. Tak apa jika surat untuk istrinya tak sampai, setidaknya surat-surat itu membantunya menghitung hari.

Hari itu seorang serdadu Utara menemukan Lee menulis surat beralaskan lantai semen dalam selnya.

“Hei, Bodoh. Berhentilah menulis catatan harian. Kau seperti perempuan cengeng.” Serdadu Utara itu mengintip di balik jeruji besi. Wajah brengseknya dinodai dua gigi yang tanggal di bagian atas. Mungkin seorang kawan merontokkannya karena mulutnya terlalu besar dan menyebalkan.

Lee memunggunginya. Dia menoleh sedikit tapi tak ingin meladeni. Tujuh teman lain dalam sel itu tertidur walau tak begitu nyenyak. Seseorang tampak menggaruk-garuk kakinya yang digigit kutu. Seorang lagi membuka baju karena panas. Seorang lagi mulai mengigau, mengumpat yang hanya berani dilakukan saat bermimpi. Sementara tiga lainnya mulai gelisah, berusaha memutar posisi tidur, tetapi selalu saling bertabrakan. Mereka kelelahan bekerja pagi hingga malam di pabrik kayu. Sel yang mereka tempati hanya 3×3 meter, memang harus ada pembagian giliran, siapa yang tidur dengan posisi normal, dan siapa yang akan tidur duduk.

“Tidak usah tidur terlalu larut, kalian harus bugar. Besok kalian akan mengucapkan selamat tinggal dan perjalanan akan sangat panjang,” ujar tentara itu sambil berlalu.

Mendengar hal itu, Lee menggosok-gosok surat yang belum selesai dia tulis. Tak bisa dihapus, dia putuskan menulis di bagian belakang kertas. Dia akan menuliskan kembali ucapan serdadu tadi. Selamat tinggal, katanya. Lee yakin bahwa di Panmunjom, Selatan dan Utara pasti telah duduk bersama menyetujui gencatan senjata. Dia kemudian melipat surat itu dan memasukkannya ke sebuah kantung kain yang dibuatnya dari sobekan celana. Surat ke-1059 itu kini bersama-sama surat lainnya. Mungkin surat yang terakhir. Akan diberikannya sekantung surat itu pada Kim Hye Jin, istrinya, saat tiba di Selatan. Kelak, Lee tak perlu mengulang cerita perih seribu hari itu kepada Hye Jin, cukuplah istrinya itu membaca surat-suratnya bagai sekumpulan cerita.

Malam itu Lee Won Shik pikir dia akan bebas. Tak ada lagi pekerjaan di pabrik, tidur dikerumuni lalat, dan makanan yang penuh kutu. Bersama para tawanan perang lainnya, dengan mata tertutup dan kedua tangan diikat, dia diseret naik ke sebuah truk. Mereka berjongkok dengan tubuh saling berimpitan, lutut-lutut kurus kering saling bertabrakan, berdesak-desakan tanpa saling melihat. Para tentara utara itu bahkan tak memberi Lee dan kawan-kawannya air untuk diminum selama perjalanan.

Tiga tahun yang lalu, Lee dan beberapa warga sipil Selatan direkrut untuk ikut berperang. Dengan kemampuan dan senjata seadanya, mereka akhirnya ditangkap pasukan Utara. Sore itu sebelum dimasukkan ke mobil truk, mereka diminta berkumpul di barak utama, sebuah tenda yang paling besar di antara seluruh tenda yang dibangun sementara. Lee, saat itu berpikir bahwa mereka akan dipulangkan. Dia ingat seseorang pernah mengatakan akan memulangkan sebagian dari para tawanan usai gencatan senjata. Tapi mereka tidak punya televisi, radio, atau surat kabar. Mereka tidak tahu kapan kedua wilayah akan melakukan gencatan senjata. Mereka hanya bertahan hidup dengan harapan janji itu akan datang tak lama lagi.

Perjalanan malam itu cukup panjang. Lee mulai kesulitan bernapas, kepalanya berat. Namun, semangat itu membuncah di dadanya. Dia mulai membayangkan truk itu berhenti di perbatasan. Terbayang samar-samar wajah istrinya yang telah lama menunggu. Istrinya bukan lagi gadis belasan tahun. Apakah dia sehat? Apakah dia makan dengan layak? Apakah dia masih setia? Pertanyaan-pertanyaan itu bermain di benak Lee Won Shik, melompat-lompat seperti bola-bola kecemasan dan kebahagiaan yang berkejar-kejaran.

Kenangan akan Selatan, istrinya, dan lagu-lagu Song Min Do, penyanyi wanita yang lagunya sering dia senandungkan, mendadak lenyap ditelan pemandangan yang menghancurkan perasaan. Dia didorong dan ditendang hingga terpental keluar dari truk yang cukup tinggi itu. Kain penutup mata para tawanan dibuka satu per satu. Sebagian tertegun, sebagian terisak. Lee Won Shik, menjadi bagian dari kelompok kedua.

Sebuah terowongan tak berujung tampak di hadapan mereka. Terowongan itu adalah proyek penambangan Utara yang dalam, gelap, dan panas. Para tawanan diminta berbaris memasuki terowongan itu.

“Kau, yang kurus!” teriak seorang tentara Utara berseragam sambil mengacungkan senjata ke arah Lee.

“Kau, iya kau Lee Won Shik, kemari ikut aku.” Seorang tentara lain kemudian menarik lengan Lee dengan paksa, menyeretnya hingga sampai ke salah satu lubang kecil di dinding terowongan. ”Kau masuk pertama”.

Lubang itu kecil sekali, bagaimana mungkin manusia bisa masuk ke sana? Lee mulai merasa khawatir.

“Hei, tak usah banyak berpikir, masuklah!” bentak tentara yang menariknya.

“Dorong saja dia jangan lama-lama,” teriak tentara yang tadi mengacungkan senjata.

Tentara kedua langsung memukul kepala Lee dengan senapannya. “Masukkan kepalamu dulu, merangkak masuk,” perintahnya untuk ke sekian kali.

Aroma gas menyerang masuk ke lubang hidung Lee. Dia merangkak semakin jauh, hampir tidak ada tenaga tersisa. Dia lalu mengintip sedikit ke balik bahunya yang ringkih, tersisa sedikit sinar dari luar. Sinar itu datang dari senter si tentara kedua yang perlahan-lahan redup. Dari kejauhan dia mendengar beberapa kawannya yang memberontak. Mereka melawan tidak ingin masuk ke lubang-lubang bergas itu. Kekacauan terjadi di luar. Rupanya mereka hanya berpindah lokasi pekerjaan. Pabrik kayu ditutup, tetapi mereka harus menjadi budak penambangan Utara.

Lee cemas. Bagaimana mungkin dia bisa tiba di Selatan? Dia bahkan tak lagi bisa melihat lubang kecil yang tadi dilewatinya. Semakin jauh, semakin dia merasa gas itu meracuni paru-parunya. Lubang kecil itu tak tampak lagi, sekelilingnya gelap dan lembap. Tak ada lagi suara, hanya teriakan tentara Utara yang menyuruhnya untuk terus merangkak bergantian dengan suara batuknya yang menyesakkan. Tubuhnya lemas, dia tak lagi bisa merasakan kakinya bergerak. Dia menahan diri untuk tidak makan sejak pagi. Daripada menyantap nasi lembek berkutu, Lee memilih menunggu tiba di rumah menikmati masakan istrinya. Kini dia benar-benar tak berdaya. Keracunan, lapar, dan mati rasa. Lee Won Shik menyerah pada lubang gelap itu, pada nasibnya. Aku, tulang-tulangku, mimpiku, harapanku, biarlah terkubur di sini. Mata Lee Won Shik kemudian perlahan terpejam.

*

Surat Ke-1059.

“Untuk istriku Hye Jin. Aku pernah mendengar seorang serdadu mengatakan hari gencatan senjata di Panmunjom akan segera tiba. Itu artinya kita akan kembali bersua. Aku pikir inilah harinya. Serdadu itu mengatakan esok kami akan mengucapkan selamat tinggal. Dia juga bilang perjalanan kami akan panjang. Tunggu aku di rumah. Bila sampai di perbatasan, aku akan berlari sekuat tenaga menemuimu. Jangan hidangkan tahu atau susu kedelai. Aku bukan penjahat yang dipenjarakan. Aku adalah pejuang. Namun, rasanya semua sudah cukup. Aku rindu padamu, perjuangan ini tak sepadan dengan dirimu. Aku akan kembali. Siapkan saja sup dan soju. Nyanyikan lagu ‘Malam Terang Bulan Silla’ untukku nanti. Aku akan pulang. Aku pikir inilah harinya.”***

 

 

Catatan:

  • Panmunjom adalah tempat terjadinya perjanjian gencatan senjata antara Korea Utara dan Korea Selatan yang terletak di tengah Zona Demiliterisasi (DMZ).
  • Di Korea Selatan, orang yang keluar dari penjara akan disuguhi tahu putih sebagai simbol pembersihan jiwa dan awal yang baru.

Aprilia Nurmala Dewi, penulis berdomisili di Sinjai Utara.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *