Cerpen

Pengakuan Dosa

January 17, 2023

Cerpen Aliurridha

Aku mengenalnya sebagai sosok pendiam yang menyimpan kelam dalam luka peristiwa. Tak banyak yang aku tahu tentangnya, meski sedari kecil aku tinggal bersamanya dalam sebuah rumah dingin yang tak pernah dihangatkan percakapan keluarga. Tiada satu pun yang kuketahui tentang masa lalunya, selain dia adalah seorang prajurit, seorang pria gagah berseragam yang membuat setiap mata yang memandangnya silau oleh pukau. Dia adalah alasanku memilih jalan hidup sebagai prajurit dan mengabdikan diriku untuk negara karena aku ingin menjadi seperti dirinya. Namun, begitu aku memutuskan masuk militer, dia adalah orang yang paling keras menentangnya.

“Untuk apa kamu masuk militer? Kita tidak sedang berperang. Carilah kerja lain seperti kakak-kakakmu,” kata ayah.

Aku tidak membantah. Tapi, tetap saja, aku tidak punya keinginan menjadi seperti kedua kakakku. Aku tidak ingin menjadi pengusaha seperti kakak laki-lakiku dan tidak ingin menjadi guru seperti kakak perempuanku. Keputusanku sudah bulat, aku ingin menjadi tentara. Sejak saat itu, hubunganku dengan ayah yang tak pernah akrab itu, menjadi semakin renggang, hingga akhirnya aku memutuskan meninggalkan rumah. Aku berani melakukannya setelah seorang sahabat ayah berjanji akan membantu mencarikanku jalan, membantuku agar bisa masuk militer.

Ayahku memang aneh, dia tidak seperti kebanyakan orang tua dengan latar belakang militer, yang selalu menginginkan anaknya mengikuti jejak mereka; ayahku tak pernah sedikit pun mengarahkan aku maupun kedua kakakku untuk mengikuti jejaknya. Ketiga anaknya dibebaskan memilih mau menjadi apa pun—asal tidak masuk militer. Aku bahkan merasa ada upaya darinya untuk membuat kami, anak-anaknya ini, menjauh dari dunia militer. Setiap temannya dari angkatan darat berkunjung ke rumah, ayah tak memperbolehkanku dan kakak-kakakku berada di dekatnya. Kadang, dia  sampai perlu menyuruh ibu membawa kami pergi ke rumah kakek ketika teman-temannya berkunjung ke rumah.

Ketika masih kecil, aku tak benar-benar menyadari bahwa apa yang dilakukannya adalah agar aku jauh dari teman-temannya, agar aku tidak mengikuti jejaknya. Namun, aku yang sejak kecil telah mendengarkan cerita-cerita kepahlawanan ayah ketika di Timor Leste dulu, selalu memendam cita-cita untuk bisa seperti dirinya. Kemudian ketika aku memberanikan diri untuk menceritakan cita-citaku kepadanya, ayah malah menunjukkan ketidaksukaannya atas ide itu. Dan yang lebih menyakitkan dari semua itu adalah, dia sama sekali tidak pernah mengungkapkan alasannya. Baru ketika nyawa telah berada di pangkal lidah, dia mengungkapkan alasannya kepadaku bersama sebuah pengakuan dosa atas apa yang dilakukannya di masa lalu…

Lima tahun telah berlalu sejak aku meninggalkan rumah. Ibu menghubungiku—mengabarkan bahwa ayah sakit keras dan ingin sekali bertemu denganku. Dia mulai sering mengigau, memanggil-manggil namaku. Aku sebenarnya tak ingin bertemu dengannya, rasa kesal di hatiku belum hilang sejak dia menentang keinginanku dulu. Namun, aku tak mampu menolak permintaan Ibu. Jika ada satu orang saja yang tidak ingin kusakiti di dunia, mungkin hanya ibu orangnya.

Setelah bertahun-tahun meninggalkan rumah, aku tidak melihat adanya perubahan berarti pada rumah itu. Rumah itu masih seperti dulu, dingin sedingin angin musim kemarau, dan orang yang bertanggung jawab membuatnya seperti itu, kini terbaring lemah tak berdaya dalam sebuah kasur dengan tubuh separuh lumpuh oleh stroke. Kini, dia hanya seonggok daging tak berdaya yang tenggelam dalam rutinitas menunggu ajal.

“Kaukah itu Anton?” suaranya serak seperti ada pecahan kaca tersangkut di pita suaranya. Ibu menyentuh punggungku ketika aku terpaku menatap kondisi ayah. Ibu memintaku mendekat, dia menjelaskan kedua mata ayah hampir buta oleh katarak dan nyaris tidak bisa melihat.

“Kenapa tidak dioperasi Bu? Memangnya kita semiskin itu?”

Ibu menjelaskan ayah tidak ingin dioperasi. “Buat apa memperbaiki sesuatu yang hampir mati,” kata ayah kepada ibu. Tidak bisa kupungkiri ada getir dalam hatiku melihat sosok yang dulu terlihat begitu tangguh, terbaring lemah tak berdaya dimakan usia.

Aku berjalan mendekat ke arah ranjang tempatnya berbaring. “Ini aku Ayah. Anton. Anakmu,” kataku pelan. Semburat senyum memancar dari wajahnya yang terlihat lemah tak berdaya. Tangannya yang renta berusaha menggapaiku, meraba-raba wajahku, berhenti pada kumis tipis di atas bibirku. “Kau benar-benar sudah dewasa,” katanya. Aku menggenggam tangannya yang tiada henti bergetar. Kuperhatikan kulitnya yang kaku itu dipenuhi urat-urat kecil menonjol.

“Ada yang perlu ayah ceritakan kepadamu,” katanya lirih. Begitu ayah mengatakan kalimat itu, ibu keluar kemudian menutup pintu. Tampaknya ayah benar-benar tidak ingin ada orang lain yang mendengarkan ceritanya; ia sepertinya telah merencanakan ini.

“Ayah mau menceritakan kepadamu mengapa selama ini ayah tak pernah setuju kamu masuk militer.” Kata-kata ayah terdengar sangat lancar. Dia tidak lagi seperti pria yang tadi kulihat terbaring lemah di kasur. Kemudian dia menceritakannya sesuatu yang telah berpuluh-puluh tahun menjadi beban hidupnya.

Ayah bercerita kepadaku pengalamannya lebih dua puluh tahun lalu ketika direkrut dalam suatu badan intelijen yang dibentuk untuk memadamkan gerakkan yang berupaya menggulingkan pemerintahan. Ketika itu adalah masa-masa paling kacau sejak rezim berkuasa. Sesuatu yang bergerak di akar rumput sedang membangun basis-basis kekuatannya. Ayahku ditugaskan untuk mencari tahu, memantau, dan menangkap mereka yang dianggap mengganggu ketenteraman negeri.

Satu per satu orang yang dianggap berbahaya berhasil ditangkap berkat kerja kerasnya. Beberapa di antara mereka tidak memberi informasi apa pun, terpaksa dihilangkan karena dianggap menyimpan ancaman, beberapa lainnya menemui ajal di ruang introgasi karena tak mampu menahan siksa, beberapa lainnya beruntung hanya menjadi tahanan politik untuk waktu yang tidak ditentukan.

Aku tentu saja pernah berkali-kali mendengar berbagai cerita ini sebagai cerita liar yang beredar untuk menyudutkan pihak militer. Tapi aku tak menyangka akan mendengar cerita ini langsung dari mulut pelaku—ayahku sendiri. Aku bergidik ngeri mendengar detail cerita ayah, bagaimana dia melakukan upaya paksa, mengorek informasi dari mereka yang tertangkap.

“Jika kamu berpikir penderitaan hanya dirasakan oleh pihak yang duduk di kursi menahan siksa dan tidak di pihak yang memberi siksa, mungkin kamu benar-benar telah kehilangan kemanusiaan. Awalnya aku ikut merasa sakit ketika pertama kali aku melakukannya pada mereka. Namun, semakin lama, semakin sering aku melakukannya, aku nyaris tidak merasakan apa-apa lagi. Hal itu membuatku ngeri pada diriku sendiri. Dan yang paling mengerikan dari semua itu, aku melihat begitu banyak rekan-rekanku yang mulai menikmati apa yang mereka lakukan kepada orang-orang malang itu.”

“Aku tidak mau kamu menjadi seperti mereka,” kata ayah menatapku dengan mata keruhnya. Seketika itu leherku terasa kaku dan tenggorokanku kering. Padahal aku hanya mendengarkannya bercerita, namun entah mengapa aku yang merasa lelah dan kehilangan kata-kata.

“Sekarang situasi tidak lagi seperti dulu, Ayah. Rezim telah berganti dan kita telah mengalami reformasi. Hal-hal seperti itu tak terjadi lagi.” Aku menyentuh bahunya ketika mengatakan itu.

“Tidak ada yang berubah, Nak. Rezim boleh berganti, penguasa di mana pun sama saja. Satu-satunya tujuan mereka adalah mempertahankan kekuasaan, dan mereka akan melakukannya, bagaimanapun caranya,” kata ayah tegas.

Setelah itu dia diam sejenak, mengambil napas panjang dan bertanya, “Kamu sekarang bekerja di intelijen bukan? Memangnya apa pekerjaanmu jika tidak menyerang mereka yang mencoba menggoyangkan kaki penguasa?”

“Tapi kami tidak melakukannya dengan menangkapi mereka.”

Ayah bangkit dari pembaringannya dengan susah payah dan aku membantunya duduk. “Lalu dengan apa? Berita palsu?” tanyanya sedikit membentak. “Aku mendengar berita enam orang terbunuh dalam sebuah upaya penangkapan, memangnya itu berbeda? Ya, mungkin berbeda karena sekarang mereka bahkan tidak perlu sembunyi-sembunyi menghilangkan nyawa manusia.”

“Itu berbeda. Mereka membahayakan negara, mereka melawan aparat, mereka tidak bisa dibiarkan begitu saja.”

“Semua selalu dimulai seperti itu, Nak. Segalanya bermula sebagai upaya mempertahankan dan menjaga stabilitas negara.” Suara Ayah melembut. “Tapi, cepat atau lambat kegentingan akan datang dan kamu akan dipaksa bertindak, kamu akan dipaksa melakukan sesuatu yang tidak kamu inginkan dan akan kamu sesali seumur hidup. Dan yang terburuk dari itu, kamu tidak diperbolehkan menceritakannya kepada siapa pun.”

Ketika aku pikir dia sudah selesai bicara, ayah menambahkan. “Kamu tahu, seandainya aku bisa meminta maaf kepada korban-korbanku, kepada keluarga-keluarga mereka, aku akan melakukannya. Tapi itu tidak mungkin.”

Sampai di sini apakah kamu mempercayai cerita ayahku? Mungkin kamu berpikir cerita seperti ini tidak akan terjadi di dunia nyata. Bahkan, kamu mungkin telah menyadari bahwa ada lubang pada cerita ini. Kamu mungkin akan berkata bahwa tentara tidak mungkin seperti itu, dan aku bukanlah tentara, dan cerita ini hanyalah karangan belaka. Kamu benar dan aku tidak akan menghindar. Aku mengakui bahwa aku bukanlah tentara, dan ayahku pun bukan seorang tentara, jadi dia tidak perlu melakukan pengakuan dosa. Aku hanyalah seorang anak yang kehilangan sosok ayah dua puluh tiga tahun silam, ketika tangan dingin razim dengan tak berperasaan membuang tubuh tak bernyawanya entah di mana. Jika kamu berpikir bahwa cerita ini hanyalah imajinasiku semata, kamu sekali lagi benar; tentu saja ini hanyalah imajinasiku semata.  Lagi pula, mana mungkin orang yang tidak merasa salah, melakukan pengakuan dosa, apalagi sampai meminta maaf.****

*Untuk Wiji Thukul dan para aktivis lainnya yang sampai saat ini belum diketahui kabarnya

Gang Metro, 5 Oktober 2022  


Aliurridha, penerjemah dan pengajar penerjemahan di suatu perguruan tinggi. Ia menulis esai, opini, puisi dan cerpen. Karyanya tersebar di berbagai media. Cerpennya berjudul Metamorfosa Rosa masuk dalam antologi Cerpen Pilihan Kompas 2021. Ia tinggal di Lombok dan bergiat di komunitas Akarpohon.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *