Cerpen Uncategorized

Pohon Hayat dan Pelacur Suci

January 24, 2023

Cerpen Panji Sukma

Malam ketika Pohon Hayat tumbang, sekujur desa diempas badai laut yang menyasak genting rumah-rumah, menerbangkan tumpukan kayu bakar, membikin gidik orang-orang di bawah selimut, dan semua itu baru berakhir saat semburat matahari merangkak di langit timur. Pagi terasa tak biasa sebab wajah bulan masih tampak tegas meski terang telah sempurna. Suhu stabil di bawah rata-rata dan menguarkan aroma lembap seperti wajarnya dasar lembah.

Warga berkumpul di tengah desa, beberapa di antaranya masih dengan sarung lusuh di bahu, juga anak-anak di gendongan. Dugaan saling mereka lempar satu sama lain, tapi tatapan serempak mengarah ke bukit di mana Pohon Hayat kemarin sore masih berdiri kokoh. Jelas ketakutan ada di setiap mata mereka, menerka-nerka petaka apa yang bakal terjadi usai tumbangnya pohon keramat itu. Mereka percaya Pohon Hayat adalah tempat singgah dewa saat turun ke bumi, sehingga mustahil ada petaka terjadi di tempat dewa berada. Dan terbukti, semenjak desa itu berdiri dan dihuni kakek buyut mereka, tak pernah sekali pun ada wabah, pagebluk, bahkan kekeringan walau musim kemarau di titik puncak.

Menurut salah seorang warga yang semalam sempat ke lereng bukit—sesaat sebelum badai datang—untuk memasang jebakan babi, Pohon Hayat tumbang karena badai. “Sumpah, badai di bukit jauh lebih ganas ketimbang di desa!” Dia menggambarkan dengan saksama dan meyakinkan. “Iya, begitu!” tutupnya.

Umar Lewu, sesepuh desa sekaligus orang yang dianggap paling bijak itu, meragukannya. Pohon Hayat terlalu kokoh untuk roboh jika hanya diempas badai. Sebab jika pun dapat roboh oleh badai, pastilah Pohon Hayat sudah roboh sejak lama karena pohon itu telah berumur ratusan tahun. Dan nyatanya, hingga tadi malam, Pohon Hayat baik-baik saja, bahkan akarnya semakin kekar dan terus menjulur—memayungi puncak bukit—pertanda pohon itu masih tumbuh dan ingin terus hidup.

“Pasti semua ini berhubungan dengan kematian Puan Labiri,” celetuk yang keluar dari kerumunan.

“Celaka, ini sungguh celaka,” ucap Umar Lewu. Mimiknya tak bisa menyembunyikan resah. Jenggot peraknya bergerak-gerak disapu angin jinak. Ia menoleh ke arah Lajang Prema.

“Tidak ada hubungannya dengan perempuan itu. Pohon Hayat roboh karena badai. Akarnya tidak lagi kuat. Tadi pagi aku sudah memeriksanya,” tukas Lajang Prema. Tidak ada yang berani membantah maupun menimpali perkataan kepala desa muda dan tampan itu, sebab selain ia bilang telah memeriksanya, warga desalah yang merajam dan mengubur hidup-hidup Puan Labiri di puncak bukit.

Tak satu pun orang yang tahu asal-usul Puan Labiri. “Aku turun dari langit,” jawabnya setiap ada orang bertanya. Ia memang seperti itu, misterius sekaligus tak bisa dipahami. Ia datang pada suatu purnama, menuruni bukit sambil menggembol emas dalam karung, lalu mendirikan gubuk di sisi tenggara desa, menerima tamu lelaki hidung belang dari desa-desa tetangga, dan selalu bilang masih perawan. Pernah suatu kali Lajang Prema yang risi dengan desas-desus di antara warga, mendatanginya. Namun, Puan Labiri tak mengakui bahwa dirinya pelacur.

“Seorang pelacur pasti tidak perawan. Sedangkan aku masih perawan.” Puan Labirin melempar senyum manja. Senyum ajakan yang pasti bisa dipahami semua lelaki normal. Ia juga sedikit menggigit bibir bawah tapi tak sampai mengoyak gincu merahnya.

“Aku tak mengerti maksudmu.”

Puan Labiri tertawa lirih sembari tangan kirinya memilin rambut yang menjuntai di depan telinga. Tawa yang tampak tak kalah manja dari senyumnya.

“Selalu ada cara untuk memuaskan lelaki tanpa harus melakukan apa yang kamu kira. Ya, mereka lemah, sangat lemah dan mudah ditangani. Bukankah begitu, Tampan?”

Lajang Prema tak benar-benar mengerti dengan maksud Puan Labiri, tapi jawaban yang ia terima itu terasa menyinggungnya. Ia berdiri, dan sebelum melenggang pergi berpesan agar Puan Labiri tak lagi menerima tamu hidung belang. Jika Puan Labiri abai, Lajang Prema tak bertanggungjawab kalau-kalau warga yang geram melakukan hal-hal nekat.

Sejak hari itu, Puan Labiri mengunci diri, membiarkan para hidung belang keleleran di depan gubuk tanpa kepastian. Beberapa di antaranya memuntahkan isi peler ke pintu gubuk saking jengkelnya, lalu pergi dengan umpatan tak keruan. Terus seperti itu adanya sampai beberapa pekan, hingga akhirnya tak ada lagi hidung belang yang datang. Seperti ada yang hilang dari diri mereka, semacam kehilangan setengah semangat hidup.

Tak ada lagi kasak-kusuk di desa. Semua kembali seperti sediakala—para suami menggarap sawah dan istri mengurus anak dengan tenang. Desa tak lagi jadi tempat wara-wiri orang asing. Sampai akhirnya pada suatu sore, saat Lajang Prema khusyuk memuntir beberapa butir kelapa muda di atas pohon, salah seorang warga datang dan sembari tergopoh mengatakan bahwa Puan Labiri mengamuk di desa. Gegas Lajang Prema turun, melorot dari batang kelapa seperti tak hirau kalau-kalau tangan dan kaki dapat lecet karenanya.

Puan Labiri yang tanpa sehelai pun kain, dikepung warga, tubuh mulusnya menjadi tontonan yang menjanjikan bagi para lelaki, tapi tak begitu bagi istri mereka. Dalam teriakan histeris dan tangis yang pecah, Puan Labiri mengatakan ada yang merampas kesuciannya dan itu dilakukan oleh salah seorang lelaki di desa ini. Namun belum sempat ia mengucapkan nama si pelaku, sebuah batu dari arah kerumunan menyasar kepalanya. Seperti yang sudah-sudah, ketika sesuatu dimulai maka selalu ada yang meneruskan. Batu-batu seperti latah beterbangan, menghantam sekujur tubuh Puan Labiri hingga membuatnya tersungkur. Para bini tampak bersemangat sebab dalam benak mereka, apabila yang dikatakan Puan Labiri bukan fitnah, berarti bisa saja laki mereka pelakunya, dan itu akan membikin aib. Maka salah satu dari mereka berteriak kencang, “Kubur hidup-hidup perempuan itu di bukit! Biar dewa menghukumnya!”

Saat Lajang Prema sampai di tengah desa, tak didapatinya satu pun orang. Ia mengedar pandang. Di sekian jarak, ia melihat arak-arakan warga menuju puncak bukit. Ia memicingkan mata, menghalau sinar matahari yang semakin datar untuk menajamkan pandang, memastikan dugaan. Seorang perempuan telanjang diikat pada pergelangan tangan dan kaki, ditandu dengan sebatang kayu. Tanpa pikir panjang, Lajang Prema berlari menyusul mereka sebab mengerti hal buruk bakal terjadi.

Terlambat. Lajang Prema harus melintasi pematang lima petak sawah dan menyeberangi tiga anak sungai, sehingga tak sempat ia menyusul. Sesampainya di puncak bukit, ia mendapati gundukan tanah yang masih basah, sekitar dua puluh depa dari Pohon Hayat. Ia tertunduk, mundur beberapa langkah hingga tersandar pada sebuah batu. Pikirannya terlempar pada kemarin malam, ketika pulang dari desa tetangga dan hujan turun lebat, hingga ia harus berteduh di depan gubuk Puan Labiri. Ia mendengar suara lenguhan lelaki. Pikirnya, pastilah Puan Labiri tengah melayani hidung belang dan itu berarti ia tak mengindahkan peringatan Lajang Prema. Maka dengan sedikit ragu, Lajang Prema mengintip dari celah dinding kayu. Suasana di dalam gubuk cukup remang karena hanya diterangi api teplok. Betapa terkejutnya ia saat melihat Umar Lewu yang setengah telanjang tengah merangkak di atas Puan Labiri, membikin suara decit ranjang. Tatapan dingin dari Puan Labiri kepada Umar Lewu amat sulit diartikan Lajang Prema.

“Jangan kamu lakukan itu. Aku harus terus perawan,” ucap Puan Labiri dengan intonasi datar sembari membuang muka ke samping.

“Kenapa begitu? Bagaimana jika aku meminta lebih?” timpal Umar Lewu.

“Akan terjadi petaka di desa ini.”

“Tidak. Tidak akan ada petaka terjadi di tempat ini selama masih ada Pohon Hayat.”

Umar Lewu menindih, menancap, seperti katak hijau yang menempel di batang pohon, menikmati setiap jengkal tubuh Puan Labiri. Lajang Prema mengikuti pemandangan yang berlangsung tak cukup lama itu. Detik terasa berjalan amat lama, dan dadanya berdesir hebat, hujan pun turun menderas.

Selesai dengan hajatnya, Umar Lewu segera melompat dari ranjang, lalu membuka pintu gubuk. Ia terkejut saat mendapati Lajang Prema berdiri dalam sikap sempurna. Keduanya tak saling berucap, diam, hanya saling tatap dan seolah dapat saling mengerti, seperti dua maling yang bertemu di rumah korban yang sama. Tak lama kemudian, Umar Lewu berlari menuju hujan, lantas perlahan hilang di antara pekatnya malam. Sedangkan dari pintu yang terbuka, Lajang Prema melihat Puan Labiri tengah terbaring di atas ranjang dengan mata tertutup, tapi jelas air mata terus mengalir di pipinya. Lajang Prema melangkah masuk, menutup pintu gubuk dengan sangat perlahan, lalu meniup api di teplok hingga padam.***


Panji Sukma, bergiat di Komunitas Kamar Kata Karanganyar. Menulis beberapa buku dan lagu. Buku terbarunya berjudul Kuda diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *