Gadis Sepatu Biru
Sepanjang hari gadis bersepatu jelly hak tinggi
ia merasa bisa menjangkau apa saja
lalu membuka kuku-kukunya dan menulis puisi
pintu kamarnya yang layu setengah terbuka
agar ibunya tahu ia tidak ke mana-mana
karena setiap malam datang
ia menyelinap melalui dinding-dinding pada bantal
ia terbang ke dalam status dan foto-foto dalam media sosialnya
Sedu
Di dinding kamar kau melukis jendela
setelah membuang nama-nama di jalanan
kepala dan debaran di dadamu sibuk
mengingat yang pernah menjelma menjadi tempat pulang
berulang-ulang
tapi lupa memberi kompas
Kau dalam Diriku
Aku telah lari, darimu
tapi seperti bekerja keras di atas treadmill
ketika jarak direntang jauh dan penuh
aku selalu menjangkaumu di mataku
melupakanmu sedemikan rupa
tapi kau ternyata berada dalam laptop bahkan dalam lemari pendinginku
kubelai-belai wajahmu di layar gawai
berharap menulis ulang matahari
hingga suatu malam seorang tua datang berbisik
untuk menggengam namamu dalam doa, maka kudekap
engkau benar-benar lepas
Di Telingamu
Aku ingin berkirim surat ke telingamu
kutulis dengan tinta berisi lagu favoritmu
aku akan menyusun puzzle di telingamu
kupakai sarung tangan dari madu
aku ingin berbisik di telingamu
dari tempat yang jauh
saksama kutunggu isyarat
angin selalu meniupkan sesuatu yang jujur namun bergegas pergi
dari ruang gelap, aroma jeruk dan juga tentang layang-layang
Api
Di matanya lilin menyala
mataku meraup matanya, haus
besoknya ia bilang, maafkanlah yang penuh angkara
ia bukanlah seorang yang kuat,
ia lemah membiarkan hutan terbakar-bakar di dalam dirinya
lilin di matanya menguar hangat
aku terbaring di sana
Surga dan Medan Perang
Dadamu pernah menjadi medan perang
kau hunus kalimat berakar raksasa
tapi engkau juga
yang napasmu menjelma subuh yang hening
dengan
telapak kaki yang surga
hasratmu meraup dunia
dalam toko furniture berdinding biru, yang akan kau masukkan dalam kotak kaca
tetapi dalam udara kita berbagi
rumah tak bisa dijejali dengan sepuluh meja makan
Metropolitan dan Payung Hitam
Berganti-ganti gawai mereguk daya dari kabel-kabel
sampai tuntas
tapi ternyata orang-orang tetap dahaga
berteriak-teriak di tengah kota metropolitan
berpuluh-puluh tahun
tapi suara raib tertelan gedung beratap kelabu
baju hitam tak lagi berwarna
karena mata-mata buta sebelum membuka
panas meranggas pada getir
payung hitam telah diterbangkan
Cinta
Mencintaimu dengan penuh
karena umur tak utuh
mencintaiku dengan bara, katamu
karena masa tak selamanya benderang
pada tubuhmu padang telaga muda yang ranum
kurengkuh bagai masuk dalam mesin waktu
pada jiwaku jalan panjang berasam garam, katamu
kau tempuh dengan tafakur
cinta tak pernah melukai
karena darinya pisau kita petik
untuk mengupas buahnya, yang lebih dulu
di
di pantai aku melukis rindu berjilid-jilid
di langit aku berbisik, menabur daun-daun
di keheningan kupetik senja setelah hujan yang keemasan
pada getar, aku termenung merapal doa-doa
pada riang, aku telah menari-nari
di kedai kopi aku menulis surat untukmu
dengan alamat yang telah kuketahui bertahun-tahun
di rumahmu kutersesat
setelah memandang matamu, labirin yang biru
di mana aku berujung?
padahal tanya tak pernah dimulai
di mana kita berpisah?
padahal pertemuan tak pernah
Kita tanpa catatan kaki
Jika langit terbentang, hati kita melapang
Jika hutan-hutan menghijau, jiwa kita merimbun
kita adalah kaki-kaki kecil, berjalan melewati semesta
menunggu matahari terbit, dengan menulis buku-buku yang tebal
pada permata kita tak silau
karena mata kita adalah kilau
namun, entah sejak kapan kita menjadi ahli berpatah hati
tapi pencari ulung dalam ruang kesyukuran
pagi ke petang bagai kelopak bunga-bunga
yang kita jahit dengan benang, satu-satu
kita usai, tapi penuh

Arida Erwianti, lahir di Segeri, Sulawesi Selatan. Ibu rumah tangga, dan sedang menempuh pendidikan di Pasca Sarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia. Pengajar di STKIP Kusuma Negara. Menulis buku“Mozaik Pemikiran Pendiri Bangsa” (Kumpulan tulisan). Cerpennya pernah dimuat di media. Dapat dijumpai di instagram @ridawianti.