Semangkuk Pattola Menjelang Senja
Sepulang kerja
ayah menyuguhkanku pattola
hasil jerih payah
menanam tulang di tanah basah
Aku heran, bukan aroma pandan
yang menyeruak dari kuah kental campur santan
tapi bau anyir darah yang menetes dari dahan
siwalan di pinggir jalan
Menjelang senja, pattola itu kukubur
bersama resah yang mendebur
kuingat petuah leluhur:
hidup dan mati takkan pernah akur
Totale, Agustus 2022
Lentera Pucuk Siwalan
Pohon siwalan tegak berdiri
menatap riuh luka yang perih
menjadi saksi sebelum rubuh
bersimpuh pasrah di pangkuan ibu
Bukan rembulan yang tampak sinarnya
di celah rimbun janur siwalan
tetapi lentera di pucuknya
memancarkan kemilau melebihi cahaya rembulan
Pohon siwalan yang tinggal sendiri
di jalan yang sering kita lewati
menelan pahit di antara deru mesin
menahan sakit saat janurnya mulai kering
Lentera itu serupa petaka
ada gulita yang tak mampu diraba
Ia bukan cuma cahaya
karena sinarnya tidak untuk siapa saja.
Totale, Agustus 2022
Bukan Sekadar Mimpi
Suatu hari, aku terjebak
dalam dunia asing yang sesak
tak ada jalan pulang, tersesat dalam pikiran
yang menuhankan keinginan
Dalam kegamangan, kusebut nama Tuhan
sayup-sayup kudengar sebuah bisikan
“Selama ini, siapa yang kau sembah siang malam?”
Aku tersentak, tidurku tak renyap
terjaga dari bayang-bayang suara yang lekap
Aku senantiasa menyembah mata
mendamba harta dan tahta
menghamba pada kata-kata
bersujud di haribaan rat yang sia-sia
Aku tersuruk dalam sesal yang nyata
mendebur keluh aurat semesta
aku ingin kembali ke rahim ibunda
ruang paling hampa, purna tanpa dosa
Totale, Agustus 2022
Petuah Seorang Pelaut
Laut memanggil
di sepertiga malam yang ganjil
raup mukamu dengan air
rapal doamu dalam dzikir
lalu melangkahlah tanpa getir
Satukan darahmu dengan laut
napasmu angin yang bergelayut
degup jantungmu, gejolak ombak
yang berkecamuk
Olle ollang…
pada laut nenek moyang
Olle ollang…
air laut bergelombang
Olle ollang…
jangan lupa untuk pulang
Totale, Agustus 2022
Karaeng Galesong
Selat Madura adalah saksi sejarah
di mana tonggak nyalimu terus menyala
api bagakmu tak henti membara
tanah air dijajah, darat laut digeledah
asap di udara tak jua reda
Saat Kerajaan Gowa patah
di kaki Sulawesi yang megah
tumpah di bawah meriam Belanda
kau pindah ke tanah Jawa
mencari tempat singgah
melanjutkan yang belum sudah
Dalam sukmamu, darah pitarah mengalir
restu Sultan Hasanuddin mencair
ayahandamu, ayam jantan yang mahir
Belanda pun merasa getir
Di bawah langit Madura yang temaram
bahtera juangmu tak pernah karam
kapanpun penjajah menyerang
lautmu mengekang, bidukmu melintang
Dengan Pangeran Trunojoyo kau berserikat
taklukkan Mataram dari jerat yang mengikat
kolonialis geram, tekadmu mengakar kuat
biarpun kau minggat demi selamat
girahmu masih perjaka dalam hikmat
Duh, Karaeng Galesong
Madura tak pernah kosong
menjunjung asmamu yang agung
dan tilasmu yang ulung
Totale, Agustus 2022

Bintu Assyatthie adalah perempuan pesisir yang belajar menulis dari hal-hal kecil. Aktif di media sosial: Instagram, facebook dan opinia dengan nama akun: Bintu Assyatthie.
Iih baguusss2 banget puisi Mbak Bintuu ???