Telur Rebus
Palung malam di ujung
demam, kau gedor lelapku
hanya untuk membuka pintu
selera akan sesuatu yang kau
tahu tidak kusuka. Atas petuah,
penghalau wabah.
Telur di piring dicolong kucing,
berikut kesabaranmu. Suhu sisa
subuh dan semburat matamu
nyaris sama, menyentuh sukma
yang belum kembali seutuhnya.
Pagi menyibak jendela. Amis
telur berserakan di mana-mana.
Di tengah kemurungan semesta,
masih saja ada penular kegilaan.
Inikah wabah yang bakal abadi?
Bogor, 2020.
Aubade
Aku suka embun, kecuali
yang bergelantung pada
bulu matamu.
Seperti aku menyukai puisi,
tapi bukan yang tumbuh
dari keangkuhan.
Aku suka cara jari-jarimu
bekerja. Hanya saja lidahku
belum mampu membayarnya.
Maafkan aku yang dalam hal
mencintai, masih kalah hati-
hati sama puisi sendiri.
Sumenep, 2020.
Kopi Januari
Kopi sudah ampas, Sayang.
Sudah tiba aku di dasar pencarian.
Cawan sedingin almanak usang
yang kau tinggal menuju lembaran
baru. Tanpa kenal lagi
angka-angka rindu.
Halaman demi halaman buku kita
buka. Kata demi kata pun lihai
membuka diri kita.
Angin membagi-bagi sedap
melati. Kita menerimanya sebagai
pengharum ruang dada. Dada
yang menahun berlumut sepi.
Kopi sudah ampas. Tapi tak perlu
menyeduh lagi untuk meraih hangat.
Sumenep, 2020.
Kopi Susu
Terberkatilah aku di hadapanmu.
Menjadi gelas panas yang kau angkat,
lalu bibir kita bersatu melumpuhkan
cuaca dan bahasa.
Dengan lembut kau seruput kopi susu
dari golak batinku. Sampai tandas,
sampai dingin-kaku sekujur tubuh.
Tak apa jika sesudah ini tiba-tiba aku
pecah berkeping-keping. Aku bahagia
telah mengalirimu kehangatan sebagai
amal bajik, sekaligus bisa membawa
bekas kecupmu sebagai bekal terbaik.
Bogor, 2020.
Soto Ayam
Akhirnya kita punya menu
baru, setelah yang berlalu cuma
menyisakan jemu. Kuah hijau masam
perasan jeruk nipis, bertebar irisan
daging ayam dan kubis. Tak ada
kecap dan sambal kacang, ketupat
atau lontong yang kita kenal.
Semua berubah. Ini bukan gigitan
rempah-rempah yang karib di lidah.
Kenikmatan terpenuhi. Tapi perasaan
tak mau mengerti. Ada aroma lain
yang ingin kita rebut. Ada asap lain
yang ingin kita tuntut.
Di tepi situasi yang berantakan,
hangat tungku ibu betapa kita
harap sebagai perlindungan.
Bogor, 2020.
Dapur Perantauan
Tanganmu semakin lentur
menyalakan dapur.
Tiada kuah kelor, sayur asem pun
jadi. Seikat jenis sayuran yang kau
beli dari gerobak subuh itu asing
bagi mata kita, kecuali sepotong
jagung dan pepaya. Tanpa resep,
kau taburkan saja bumbu instan
yang justru mendustai pengecapan.
Sementara tempe gorenganmu
menyuarakan rasa terbaru. Seolah
menutup semua celah dari aneka
lauk kota. Berbalut tepung kemasan,
merayu angkara dan candu. Kendati
ujungnya, kebosanan hinggap juga.
Saat influenza tiba menjerat badan,
giliran wedang jahe kau hidangkan
sebagai perlawanan. Bersama doa
pagi khusyuk kuteguk. Namun hanya
keraguan yang dapat melewati liang
tenggorokan. Jahe kehilangan bisa.
Kau kehilangan cara. Dapur tidak
benar-benar menyala.
Bogor, 2020.
Sepasang Pujangga
Kita tak lagi berkirim puisi.
Tak kan pernah lagi. Karena kita
sudah menjadi kata-kata terindah
sekaligus makna terpenting
bagi diri masing-masing.
Bermadah di atas suka-duka,
membina kenangan sebagaimana
pengabdian Wida dan Toni,
Dian dan Budhi, Benazir dan Fauzi,
Jamal dan Maftuhah, Indrian
dan Mutia, David dan Ibna.
Hidup penuh metafora, istriku.
Beruntunglah jika kita peka selalu.
Belajar pada alam, mengaji
pada keadaan ataupun ketiadaan.
Biarkan jemari waktu
menganggit jadi larik-larik puitis.
Di dalamnya kita berumah
hingga baterai jam kefanaan habis.
Bogor, 2020.
Derai Pertikaian
Selain karena cangkir akan
selalu beradu dengan tutupnya,
rabu yang melahirkan kita
sepertinya memang jadi landasan
kuat mengapa ruang sering kali
melarang kita berdamai.
Kita dipertemukan oleh keisengan
liar otak remaja. Selanjutnya tangan
dunia tak kalah liar iseng-iseng
mengeruk ketenteraman.
Aku sendiri tak paham, amarahku
serupa kumis tipis yang kerap
menyentuh pipimu geli. Hari ini
dicabut, dua hari lagi tumbuh.
Begitupun keegoisanmu. Batu
yang jarang gagal menjatuhkan
sepatnya buah sesal.
Alangkah sukar pemakluman.
Sebegini lemahkah toleransi
dalam dada yang berlumur cinta?
Bogor, 2020.
Supermoon
Semalam aku mendongak
ke atap jagat yang langka.
Menatap kesempurnaan wajah,
berpendar-pendar menyilaukan
penglihatanku padamu.
Ingin kupandang lebih lama,
walau tengkukku akan ngilu.
Hampir lupa kalau pusat cahaya
akan menyesatkan mata semata.
Bogor, 2020.

Daviatul Umam, lahir di Sumenep, 18 September 1996. Alumni Pondok Pesantren Annuqayah daerah Lubangsa. Buku puisinya, Kampung Kekasih (2019).