Tragika Bala Trunajaya
: Sendang Drajat, Canggu
— di petirtaan keputren itulah, Tuan, muasal Tuan
bersikejar dengan prajurit Majapahit yang berang
akan perangai Tuan, akan perangai
yang tak diajarkan oleh Kebenaran
kepada Tuan sekalian!
/bata putih/
bata-bata itu mungkin tak ingin mengimajinasikan dirinya
sebagai gumpalan-gumpalan salju, tatkala Tuan Irapati
hantamkan kepada prajurit Majapahit yang terus menyerbu
tapi Tuan hanya bermaksud mendinginkan murka prajurit,
“tak ada salju, bata pun jadi!” batin Tuan, barangkali
sedang di genggaman tangan Tuan, bongkahan bata
masihlah bersikeras mengeraskan dirinya;
ia tak mengerti mencairkan tubuh sendiri,
mencairkan hati prajurit apa lagi
tapi Tuan hanya bermaksud mencairkan murka prajurit,
“tak ada salju, bata pun jadi!” batin Tuan, berulangkali
hantam! hantam! hantam!
“toh, bata, kau juga berwarna putih, bukan?”
gumam Tuan tatkala kian digigilkan gamang
tatkala Tuan kian tersudut di ujung pengejaran
/kepung/
sungguh kami tak ‘kan pernah mampu
membayangkan, Tuan, tak ‘kan mampu,
gerangan apa kaki Tuan melaju ke situ:
ke tempat dialamatkannya mautmu itu!
sebab barang tentu, Tuan, barang tentu
tiada lagi haribaan paling lindung
setelah panas lelava cemas kadung menggunung
dalam dada Tuan yang kadung linglung
o Tuan yang linglung, Tuan Iramenggala yang teramat linglung
: adakah tulah paling pahit dari gerombol prajurit Majapahit
malainkan Tuan telah terkepung
melainkan Tuan telah terkepung?
/bloran/
maka barangkali tidak ada seekor vertebrata paling setia
melainkan hanya Belo Anak Jaran yang sudi memberikan
punggungnya; untuk kemudian Tuan Gantarpati kendara
“tapi aku yakin,” batin Tuan, “Anak Jaran yang pintar
ialah yang tak membawa Tuannya ke mana pun, kecuali
menyerahkan kepada prajurit yang tengah mengejar!”
Anak Jaran yang pintar rupanya lebih memikirkan peradaban;
ia mengenyahkan Tuannya demi menyediakan dirinya
untuk sebuah dukuh dengan menjelma sebuah nama
dengan begitu ia akan selalu hidup & akan tetap hidup
sepanjang zaman & sepanjang peradaban
selamanya hidup sebagai Belo Anak Jaran
selamanya hidup sebagai nama Dukuh Bloran
/surawana/
di rahim belantara hutan Surabawana, Tuan,
sintru yang wingit menolak satru yang sengit
(pamali Tuan Irabuwana & prajurit Majapahit)
“maka tiada lagi persatruan musti diabadikan!”
di rahim belantara hutan Surabawana, Tuan,
Tuan membangun kerajaan dari kesunyian,
o meski tak semegah dalam benak sejarah—
sebagai sebuah markah Tuan pernah singgah
sedang Trunajaya memilih untuk menghilang:
melesat entah ke telatah liyan
melesat entah ke telatah liyan
Pare, 01-03-2023
Memorabilia Candi Surawana
: kerinduan pada Raja Hayam Wuruk
1.
pada Saka Tiga Badan &
Bulan (1283) Waisaka:
Raja Hayam Wuruk—
yang padanya rakyat
patuh & tunduk—tengah
melawati & melewati
sepanjang jangkauan kelana,
lalu mengantukkan
ujung jangkahnya di
telatah Surabawana,
demi membaringkan
kantuk, bermalam di
Candi Wishnubhawanapura,
sebelum kemudian
sinar fajar mengantar
Ia kembali ke istana
2.
(tibalah kemudian Raja
Hayam Wuruk di istana)
maka setelah itu, tiada lagi
malam semanis rembulan
madu, selain malam bersama
Raja Hayam Wuruk kala itu,
lantaran, malam-malam
setelahnya—bagi candi batu itu
—hanyalah malam-malam
bersama angin tajam
yang cuma paham
memahatkan
dingin kerinduan
paling candu; pada
dinding tubuh batunya
yang kian mengerang
& mengeras itu
sementara
kesepian malam,
kesepian malam masihlah
satu-satunya selimut
paling rawan; akan
tajam angin malam
yang memahatkan
dingin kerinduan,
sepanjang zaman
sepanjang peradaban—
hingga kini zaman kita datang!
“o adakah kini Hayam Wuruk
juga berkenan kembali datang?”
3.
kini, setelah abad-abad
lelah merengkuh waktu:
rindu yang begitu candu
telah membatu pada
tubuh candi batu itu,
hingga seluruh
tubuh candi batu itu
adalah rindu,
adalah rindu!
Pare, 07-03-2023
Candi Tegawangi Mengharumi Ingatan Kami
: Bhre Matahun
& orang-orang menamai Tegawangi, dahulu,
dahulu sekali, setelah tiga orang anak lahir dari rahim waktu
menimang hidupnya di telatah itu, lalu mengubah
segala yang beraroma sunyi menjadi wangi—
menjadi bakal singgasana bersemayamnya sebuah candi
maka pada Sraddha 12 Warsa Pendharmaan
Sri Ratu Matahun di Kusumapura:
alkisah, Tuhan sendirilah yang
memetik setangkai bunga dari Surgaloka
lalu dijatuhkannya ke dalam jagat
atman para pendiri candi sewangi tiga,
sewangi bunga, sewangi dupa,
sewangi api kremasi yang memandikan
daksha Sri Ratu dari segala dosha
sebelum kemudian ia bertakhta
di dalam tenteram kesuwungan moksha
& kini, masih ada yang dapat kami rasakan
serupa sesuatu yang tak letih mengulurkan tangan
ke dalam liang-liang kepala kami; serupa kisah
masa silam -yang tulus menaburkan
kelopak bunga mewangi—
adalah taburan kisah sejarah Candi Tegawangi, yang masih
setia mengharumi ingatan kami
setia mengharumi ingatan kami
masih
Pare, 05-03-2023
Binatang-binatang yang Masih Terkenang
di Pertigaan Patung Kuda Macan
: Tawang
/piton kembang & kera/
dukuh kami punya pesulap kondang, ia berumah
tepat di sudut tenggara pertigaan
pada suatu Pagelaran Agustusan, pernah ia
menyetrika sendiri punggung anak gadisnya yang masih belia
di atas panggung di depan sekalian pemirsa, namun
ia menganggap hal itu bukanlah suatu siksa, lantaran tiadanya
torehan luka bahkan rasa
& ia dapat mengeluarkan dari kotak pandora kosong miliknya
beberapa uang kertas serta logam
& berbagai macam jajan pasar: apem, lemper, bikang, pisang,
pakaian dalam, pembalut wanita,
& kemudian ia lempar-lempar ia bagikan ke sekalian pemirsa
di kotak pandora yang lain, ia memiliki seekor piton kembang,
terkadang ia kandangkan di depan rumah, & seringkali
membikin orang terhenyak ketakutan saat melintasi pertigaan,
di samping kandang itu, ia memelihara pula seekor kera jantan
yang ia ikatkan di pohon rambutan: kemudian
ia jadikan mereka berdua sepasang saudara saling menyayangi
& pesulap itu sangat menyayangi mereka, menyayangi
/sapi/
dulu, tetangga kami berduka, setelah seekor sapi
miliknya lolos dari kandang & berlarian melintasi pertigaan
lalu melanggar pengendara sepeda motor sehabis
mengambil air mujarab dari suatu sumur
di dukuh nun jauh
orang itu mencari sembuh, ia malah terjatuh,
sementara si sapi rubuh & orang-orang menuntunnya
ke bawah pohon mangga yang teduh di
sekitar pertigaan lantaran kakinya yang pincang
tiba malam mengguyur sekujur dukuh
sapi itu hanya merebah tubuh, kakinya yang pincang
tiada lagi bisa digunakan untuk berdiri
bahkan berjalan bahkan berlarian
malam meradang & membakar pertigaan,
orang-orang dukuh kami ramai-ramai berjuang menggotong
tubuh gempal sapi itu ke atas bak pick-up,
pemilik sapi menjualnya kepada penjagal
dengan separuh harga semula
& ia masih berduka
/burung & kucing/
pohon mangga sekitar pertigaan telah ditebang,
pemilik tanah itu mendirikan bangunan, lalu menyewakan,
lalu jadilah sebuah toko burung & kucing beserta pakannya
dari cerita Luis Sepúlveda yang kita baca, kita dapat mengetahui bahwa:
kucing yang baik hati mengajari anak burung untuk dapat terbang sebab
induk burung tidak lagi dapat mengajarinya setelah terbang & jatuh akibat
tumpahan minyak kapal tanker di laut melengketkan bulu-bulu sayapnya
di situ, di toko itu, kucing-kucing begitu pemalu & tidak ada
pula burung terbang & jatuh akibat tumpahan minyak kapal
tanker di laut melengketkan bulu-bulu sayapnya
di situ, di toko itu, tidak ada burung-burung
yang boleh terbang bebas, tidak ada
semua pakan sudah tersedia
/kuda & macan/
beberapa tahun silam, di pertigaan itu,
seorang pematung menaruh sepasang
karyanya dalam wujud binatang:
sisi utara untuk kuda
sisi selatan untuk macan
tak lama si pematung pergi dari dukuh kami,
kami menduga, barangkali:
kedua patung itu adalah reinkarnasi dari
binatang-binatang pada gunungan wayang
di situ, di pertigaan itu, ia menaruhnya
sebagai penjaga dukuh kami yang purwa
Pare, 14-02-2023
Lampu-lampu Menggelantung & Bercahaya
di Sepanjang Jalan Dahlia
kita mulai dari selatan, memasuki mulut gang kecil yang
terbuka lebar, kita menyebut ini Jalan Dahlia ketika kita
membiarkan ini jalan terus menelan kita ke utara
sembari menyaksikan lampu-lampu yang
menggelantung & bercahaya
terkadang, aku suka membayangkan, lampu-lampu itu
seperti buah-buah yang menggelantung
di dada langit sana; bintang-bintang ranum yang mampu
menggelegakkan gairah para penujum kuna,
lalu penujum itu, penujum itu adalah kita,
adalah kita yang begitu mendamba nasib bahagia
senantiasa baka, o senantiasa baka
namun terkadang, aku juga suka membayangkan,
Jalan Dahlia tak ubahnya Taman Sorga
di tengah kota kecil kita, lalu lampu-lampu itu &
kabel-kabel itu: adalah sepasang Apel & Ular,
sedang tiang-tiangnya Pohon Kehidupan,
namun di sini, di sini tidak ada sepasang Hawa & Adam,
tidak ada, hanyalah ada berpasang-pasang mata
pedestrian juga pengayuh sepeda; mata yang
senantiasa memakan pijaran lampu-lampu bercahaya
o betapa lampu-lampu itu bercahaya kuning
begitu tulus mengecupkan cahayanya sampai ke kening
pada setiap pedestrian juga pengayuh sepeda,
sampai mereka tiada ingin berpaling
dari gang kecil di tengah kota Panglerenan kita—
dari gang kecil bernama Dahlia,
o bernama Dahlia
Pare, 10-02-2023

Dzikron Rachmadi, lahir dan berdomisili di Pare, Kabupaten Kediri. Pernah belajar di PAI FTIK Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kediri. IG: @_dzikroch.