Puisi

Puisi Dzikron Rachmadi

July 11, 2023

Tragika Bala Trunajaya

: Sendang Drajat, Canggu

— di petirtaan keputren itulah, Tuan, muasal Tuan

bersikejar dengan prajurit Majapahit yang berang

akan perangai Tuan, akan perangai

yang tak diajarkan oleh Kebenaran

kepada Tuan sekalian!

/bata putih/

bata-bata itu mungkin tak ingin mengimajinasikan dirinya

sebagai gumpalan-gumpalan salju, tatkala Tuan Irapati

hantamkan kepada prajurit Majapahit yang terus menyerbu

tapi Tuan hanya bermaksud mendinginkan murka prajurit,

“tak ada salju, bata pun jadi!” batin Tuan, barangkali

sedang di genggaman tangan Tuan, bongkahan bata

masihlah bersikeras mengeraskan dirinya;

ia tak mengerti mencairkan tubuh sendiri,

mencairkan hati prajurit apa lagi

tapi Tuan hanya bermaksud mencairkan murka prajurit,

“tak ada salju, bata pun jadi!” batin Tuan, berulangkali

hantam! hantam! hantam!

“toh, bata, kau juga berwarna putih, bukan?”

gumam Tuan tatkala kian digigilkan gamang

tatkala Tuan kian tersudut di ujung pengejaran

/kepung/

sungguh kami tak ‘kan pernah mampu

membayangkan, Tuan, tak ‘kan mampu,

gerangan apa kaki Tuan melaju ke situ:

ke tempat dialamatkannya mautmu itu!

sebab barang tentu, Tuan, barang tentu

tiada lagi haribaan paling lindung

setelah panas lelava cemas kadung menggunung

dalam dada Tuan yang kadung linglung

o Tuan yang linglung, Tuan Iramenggala yang teramat linglung

: adakah tulah paling pahit dari gerombol prajurit Majapahit

malainkan Tuan telah terkepung

melainkan Tuan telah terkepung?

/bloran/

maka barangkali tidak ada seekor vertebrata paling setia

melainkan hanya Belo Anak Jaran yang sudi memberikan

punggungnya; untuk kemudian Tuan Gantarpati kendara

“tapi aku yakin,” batin Tuan, “Anak Jaran yang pintar

ialah yang tak membawa Tuannya ke mana pun, kecuali

menyerahkan kepada prajurit yang tengah mengejar!”

Anak Jaran yang pintar rupanya lebih memikirkan peradaban;

ia mengenyahkan Tuannya demi menyediakan dirinya

untuk sebuah dukuh dengan menjelma sebuah nama

dengan begitu ia akan selalu hidup & akan tetap hidup

sepanjang zaman & sepanjang peradaban

selamanya hidup sebagai Belo Anak Jaran

selamanya hidup sebagai nama Dukuh Bloran

/surawana/

di rahim belantara hutan Surabawana, Tuan,

sintru yang wingit menolak satru yang sengit

(pamali Tuan Irabuwana & prajurit Majapahit)

“maka tiada lagi persatruan musti diabadikan!”

di rahim belantara hutan Surabawana, Tuan,

Tuan membangun kerajaan dari kesunyian,

o meski tak semegah dalam benak sejarah—

sebagai sebuah markah Tuan pernah singgah

sedang Trunajaya memilih untuk menghilang:

melesat entah ke telatah liyan

melesat entah ke telatah liyan

Pare, 01-03-2023


Memorabilia Candi Surawana

: kerinduan pada Raja Hayam Wuruk

1.

pada Saka Tiga Badan &

Bulan (1283) Waisaka:

Raja Hayam Wuruk—

yang padanya rakyat

patuh & tunduk—tengah

melawati & melewati

sepanjang jangkauan kelana,

lalu mengantukkan

ujung jangkahnya di

telatah Surabawana,

demi membaringkan

kantuk, bermalam di

Candi Wishnubhawanapura,

sebelum kemudian

sinar fajar mengantar

Ia kembali ke istana

2.

(tibalah kemudian Raja

Hayam Wuruk di istana)

maka setelah itu, tiada lagi

malam semanis rembulan

madu, selain malam bersama

Raja Hayam Wuruk kala itu,

lantaran, malam-malam

setelahnya—bagi candi batu itu

—hanyalah malam-malam

bersama angin tajam

yang cuma paham

memahatkan

dingin kerinduan

paling candu; pada

dinding tubuh batunya

yang kian mengerang

& mengeras itu

sementara

kesepian malam,

kesepian malam masihlah

satu-satunya selimut

paling rawan; akan

tajam angin malam

yang memahatkan

dingin kerinduan,

sepanjang zaman

sepanjang peradaban—

hingga kini zaman kita datang!

“o adakah kini Hayam Wuruk

juga berkenan kembali datang?”

3.

kini, setelah abad-abad

lelah merengkuh waktu:

rindu yang begitu candu

telah membatu pada

tubuh candi batu itu,

hingga seluruh

tubuh candi batu itu

adalah rindu,

adalah rindu!

Pare, 07-03-2023


Candi Tegawangi Mengharumi Ingatan Kami

: Bhre Matahun

& orang-orang menamai Tegawangi, dahulu,

dahulu sekali, setelah tiga orang anak lahir dari rahim waktu

menimang hidupnya di telatah itu, lalu mengubah

segala yang beraroma sunyi menjadi wangi—

menjadi bakal singgasana bersemayamnya sebuah candi

maka pada Sraddha 12 Warsa Pendharmaan

Sri Ratu Matahun di Kusumapura:

alkisah, Tuhan sendirilah yang

memetik setangkai bunga dari Surgaloka

lalu dijatuhkannya ke dalam jagat

atman para pendiri candi sewangi tiga,

sewangi bunga, sewangi dupa,

sewangi api kremasi yang memandikan

daksha Sri Ratu dari segala dosha

sebelum kemudian ia bertakhta

di dalam tenteram kesuwungan moksha

& kini, masih ada yang dapat kami rasakan

serupa sesuatu yang tak letih mengulurkan tangan

ke dalam liang-liang kepala kami; serupa kisah

masa silam -yang tulus menaburkan

kelopak bunga mewangi—

adalah taburan kisah sejarah Candi Tegawangi, yang masih

setia mengharumi ingatan kami

setia mengharumi ingatan kami

masih

Pare, 05-03-2023


Binatang-binatang yang Masih Terkenang

di Pertigaan Patung Kuda Macan

: Tawang

/piton kembang & kera/

dukuh kami punya pesulap kondang, ia berumah

tepat di sudut tenggara pertigaan

pada suatu Pagelaran Agustusan, pernah ia

menyetrika sendiri punggung anak gadisnya yang masih belia

di atas panggung di depan sekalian pemirsa, namun

ia menganggap hal itu bukanlah suatu siksa, lantaran tiadanya

torehan luka bahkan rasa

& ia dapat mengeluarkan dari kotak pandora kosong miliknya

beberapa uang kertas serta logam

& berbagai macam jajan pasar: apem, lemper, bikang, pisang,

pakaian dalam, pembalut wanita,

& kemudian ia lempar-lempar ia bagikan ke sekalian pemirsa

di kotak pandora yang lain, ia memiliki seekor piton kembang,

terkadang ia kandangkan di depan rumah, & seringkali

membikin orang terhenyak ketakutan saat melintasi pertigaan,

di samping kandang itu, ia memelihara pula seekor kera jantan

yang ia ikatkan di pohon rambutan: kemudian

ia jadikan mereka berdua sepasang saudara saling menyayangi

& pesulap itu sangat menyayangi mereka, menyayangi

/sapi/

dulu, tetangga kami berduka, setelah seekor sapi

miliknya lolos dari kandang & berlarian melintasi pertigaan

lalu melanggar pengendara sepeda motor sehabis

mengambil air mujarab dari suatu sumur

di dukuh nun jauh

orang itu mencari sembuh, ia malah terjatuh,

sementara si sapi rubuh & orang-orang menuntunnya

ke bawah pohon mangga yang teduh di

sekitar pertigaan lantaran kakinya yang pincang

tiba malam mengguyur sekujur dukuh

sapi itu hanya merebah tubuh, kakinya yang pincang

tiada lagi bisa digunakan untuk berdiri

bahkan berjalan bahkan berlarian

malam meradang & membakar pertigaan,

orang-orang dukuh kami ramai-ramai berjuang menggotong

tubuh gempal sapi itu ke atas bak pick-up,

pemilik sapi menjualnya kepada penjagal

dengan separuh harga semula

& ia masih berduka

/burung & kucing/

pohon mangga sekitar pertigaan telah ditebang,

pemilik tanah itu mendirikan bangunan, lalu menyewakan,

lalu jadilah sebuah toko burung & kucing beserta pakannya

dari cerita Luis Sepúlveda yang kita baca, kita dapat mengetahui bahwa:

kucing yang baik hati mengajari anak burung untuk dapat terbang sebab

induk burung tidak lagi dapat mengajarinya setelah terbang & jatuh akibat

tumpahan minyak kapal tanker di laut melengketkan bulu-bulu sayapnya

di situ, di toko itu, kucing-kucing begitu pemalu & tidak ada

pula burung terbang & jatuh akibat tumpahan minyak kapal

tanker di laut melengketkan bulu-bulu sayapnya

di situ, di toko itu, tidak ada burung-burung

yang boleh terbang bebas, tidak ada

semua pakan sudah tersedia

/kuda & macan/

beberapa tahun silam, di pertigaan itu,

seorang pematung menaruh sepasang

karyanya dalam wujud binatang:

sisi utara untuk kuda

sisi selatan untuk macan

tak lama si pematung pergi dari dukuh kami,

kami menduga, barangkali:

kedua patung itu adalah reinkarnasi dari

binatang-binatang pada gunungan wayang

di situ, di pertigaan itu, ia menaruhnya

sebagai penjaga dukuh kami yang purwa

Pare, 14-02-2023


Lampu-lampu Menggelantung & Bercahaya

di Sepanjang Jalan Dahlia

kita mulai dari selatan, memasuki mulut gang kecil yang

terbuka lebar, kita menyebut ini Jalan Dahlia ketika kita

membiarkan ini jalan terus menelan kita ke utara

sembari menyaksikan lampu-lampu yang

menggelantung & bercahaya

terkadang, aku suka membayangkan, lampu-lampu itu

seperti buah-buah yang menggelantung

di dada langit sana; bintang-bintang ranum yang mampu

menggelegakkan gairah para penujum kuna,

lalu penujum itu, penujum itu adalah kita,

adalah kita yang begitu mendamba nasib bahagia

senantiasa baka, o senantiasa baka

namun terkadang, aku juga suka membayangkan,

Jalan Dahlia tak ubahnya Taman Sorga

di tengah kota kecil kita, lalu lampu-lampu itu &

kabel-kabel itu: adalah sepasang Apel & Ular,

sedang tiang-tiangnya Pohon Kehidupan,

namun di sini, di sini tidak ada sepasang Hawa & Adam,

tidak ada, hanyalah ada berpasang-pasang mata

pedestrian juga pengayuh sepeda; mata yang

senantiasa memakan pijaran lampu-lampu bercahaya

o betapa lampu-lampu itu bercahaya kuning

begitu tulus mengecupkan cahayanya sampai ke kening

pada setiap pedestrian juga pengayuh sepeda,

sampai mereka tiada ingin berpaling

dari gang kecil di tengah kota Panglerenan kita—

dari gang kecil bernama Dahlia,

                                                            o bernama Dahlia

Pare, 10-02-2023


Dzikron Rachmadi, lahir dan berdomisili di Pare, Kabupaten Kediri. Pernah belajar di PAI FTIK Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kediri. IG: @_dzikroch.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *