Moynihan, 1912
Pemangkas daging itu bekerja di antara cemas nyawa yang terkupas, was-was. Ahli bedah menggunting ruang lain di Berlin dalam lekuk-lekuk bahasa di keningmu. Orang-orang di jalan menggambar jurang dalam dirinya masing-masing seperti kelamin-kelamin yang berceceran di dinding kota dan beranda media. Ketakutan menganyam ulang sarangnya di kepala dan diri yang resah. Ah… hati seekor singa harus menyaru dalam lelaku, tangan seorang wanita, yang kau pelihara dalam tiap-tiap diam: mekar dalam sepuluh sangkar yang mengurung rupa wajah kota. Potret murung suatu gedung: mall, bioskop, taman kota, stadiun bola terangkum dalam larik-larik kata di beranda harian seorang remaja. Sebuah keluarga mati dalam ruang isolasi, ruhnya menguap di antara pengap baju hazmat. Kau masih bekerja memangkas ulang daging-daging di kening ingatan yang tumbuh tak keruan, menutupi pandangan: hanya gambar-gambar buram kehilangan. Masa depan hanya dongengan yang tertinggal di buritan sebuah kapal yang telah karam.
Lamongan, 2021
Phenobarbital
Awalnya nyeri, yang kerap kau jumpai dalam hubungan gelap di setiap derap kaki-kaki yang basah akan gelisah. Ada suara tembakan yang coba diredam dalam pesan-pesan yang tenggelam di rahim zaman. Notif penting dan tak penting berlalu seperti kerlip traffic light. Di perempatan jalan mereka mengusung upacara perayaan masing-masing tubuh, budaya yang merangkak seperti kura-kura digital dalam jaring laba-laba. Lalu orang-orang menguap seperti mulut ikan koi yang melahap tai di empang-empang seberang mereka menanam kakus-kakus sederhana. Dan orang-orang mencicil nyeri tiap pagi. Tapi laki-laki itu masih berlari dalam angan-angannya sendiri, ketika pagi merobek lagi mimpi-mimpi mudanya menggantinya dengan kenyataan yang tak enak dipandang. Realitas menggunting-gunting ideologi di sepanjang kepala hingga lambung mahasiswa-mahasiswi jadi kolam-kolam ikan lele, kandang-kandang itik, sawah-sawah yang minta diolah. Menjadi rupiah dan barang-barang mewah. Tapi di matanya segalanya akan pecah belah seperti hidup Haji Dullah, rumahnya mewah, tanahnya, istrinya, hartanya, sapinya, melimpah, tapi akhirnya pecah belah. Lalu di tanggal merah segalanya jadi merah. Haji Dullah berlumuran darah dan segalanya berserakan di tanah. Tapi segala yang pecah belah tak ia bawa ke tanah. Dan segalanya hanya jadi kisah yang kerap diasah oleh lidah-lidah keluh kesah. Tapi hidupmu adalah rasa nyeri di hati yang gagal disiasati atau diobati. Dan kau juga tak mungkin bunuh diri di hadapan sunyi tangis bayi dan istri yang dilumat api.
Lamongan, 2021
Catgut 900 M
Pada seluruh luka kita akan mengeja, berapa pendek dan panjang kesakitan yang musti dihubungkan, dibungkam, disembuhkan. Sebelum siksa di tubuh manusia menganga, kita hanya pipa-pipa mukosa di perut domba, setiap hari kita pamah rerumput yang jatuh dari lubang hitam dinding-dinding kelam. Tak ada jerit sakit, pendek atau panjang hanya nyanyian gudang penampung sebelum kran terakhir mengintip muara akhir. Dunia luar tanpa mercusuar, atau kita yang terbiasa menyala dalam legam. Percakapan-percakapan bungkam. Bahasa terabaikan dalam gerak peristaltik, dinding-dinding merah muda, berlendir, mahir mengeja rasa dalam asam basa. Mengaduk keduanya di lapang nihil. Tak ada kebencian makhluk lain, hanya benih-benih rerumput yang kita ramut dan pilah sesuai desah. Bising usus terdengar halus di sela-sela kita yang rakus: dinding yang tak pernah aus atau haus. Dan kita tak juga terputus, bekerja dan bekerja, meski nyawa tuan hilang sementara, kita budak sepanjang masa, sebelum luka manusia membutuhkan kita.
Lamongan, 2021
Hikayat Oximetry
:jenazah-jenazah dari rumah
Garis putus-putus warna biru yang lugu
mengapit buku jarimu yang layu
keriput di wajahmu seperti memetakan
masa lalu bersama angka-angka yang
mencuat di layar kaca sebagai neraca
kadar nyawa di dalam tubuh yang
kian rapuh:
-99%: kau berlari dalam kilometer
-kilometer mimpi yang enggan
menepi [dunia ini abadi] dan
kau enggan menepi
pada pucuk-pucuk sepi, tak ada
aroma kenanga dalam raga.
-95%: kau saksikan jerit orang-orang
terhimpit, tercekik, dalam
ribuan derap kesusahan, yang
samar-samar serupa memar
tamparan perempuan yang
pernah kau tinggalkan sebab
perigi tak lagi suci
-90%: mulai ada yang terbakar dan
tenggelam di dada, angan-
angan berumah tangga, sambil
menanam bunga-bunga gugur
dalam grafik-grafik yang
jatuh menukik ke dalam ambang
kelam kecemasan yang terbit
dari wajah-wajah iba di depan
kepala: orang-orang tercinta
bisa apa? ruang-ruang isolasi
telah terkunci dan terisi.
-85%: kemudian hanya bayang-bayang
awan di pertigaan mengambang
di antara perjumpaan dan
perpisahan. lolongan panjang
menggantung nyaring di
orofaring seperti jerit anak kucing
yang menelan kail pemancing.
hidup ini kian nyaring kian kering
dering telepon dalam igauan
tenggelam dan terabaikan, tak ada
pertolongan pertama, kedua,
atau ketiga, hanya ada sesak
yang kian merusak di rusuk.
-70%: entah apa yang kian menipis,
seiring hari-hari yang terkupas di
ambang pelipis seperti ada puas
yang teriris. tentu saja bukan jeruk
nipis yang kau peras dalam gelas
untuk meredakan batuk atau kutuk
yang mengeras. tapi yang nihil
seperti meremas nyawamu
agar tandas dan lunas. segalanya
terkuras dalam deras cemas
apa-apa yang amblas.
-65%: lalu yang kau kenakan dan
banggakan menjelma bayang-bayang
samar di retina. pluit kereta atau
derap langkah ribuan kuda
menggenangi bangsal isolasi.
tapi kau tak mengerti paru-paru
yang tenggelam bersama jalan
pulang. suatu malam di pekuburan
dengan nyanyian berlumur tangisan.
lembab, hijau, sembab dan
berkeringat melekat hingga belikat.
-50%: kau berhadap-hadapan dengan
jalan lain penuh dirimu dan gigil
yang membiru di balik baju. sianosis
merangkak dari jari ke jari. dyspnea
mengambang dalam batang-batang
igauan yang mengental bersama
darah. …
-35%: aroma peziarah merekah
dalam desah …
-0% : dan gelisah
luruh jatuh
ke tanah …
Lamongan, 2021
Diathermy
Pada gelombang yang tembus pandang
Kau karang peta nyeri dalam tiap-tiap
Diri melewati lekuk lembah
Bukit daging dan segala
Daki yang menyelip di hati
Asam urat yang kerap buat hidup
Terhambat, membuat kakimu seperti
Terikat hutang negara
Dan terjerat pasal-pasal
Yang dibuat asal tanpa akal
Cahaya mengental tertimbun lemak
Di lipatan perut yang jarang
Diurut, minyak tawon atau
Balsem Lang dengan
Koin seribuan
Di antara orang-orang yang hilang
Kau selipkan igauan malam-malam
Dengan suara tembakan
Tapi kau mengerti
Mereka tak pernah mati
Hanya tidak bisa berdiri dalam gelombang
Tembus pandang tak ada
Yang musti dimaklumi
Dalam diri-diri ini kecuali
Nyeri yang tak terobati
Lamongan, 2021
Ether
Senyawa kimia yang kau
Racik di nganga luka
Membuat kita terjaga
Dalam jeda
Nyeri yang tak teraba
Tak terbaca meski dengan
Neraca surga yang
Pernah menaksir dosa-
Dosa umat manusia.
Luka ke mana-mana
Menjalar sepanjang arteri
dan vena, tapi tak ada
Kata siksa menari-
Nari serupa
Biduan orkes kampungan,
Yang disawer seribuan.
Tapi di sejengkal daging
yang belum kering, mereka
Mencari amsal jerit
Ketika malam melumat
Seluruh tubuh yang pernah
Berlabuh pada riuh
Kota yang sementara,
Selebihnya duka
Tapi tak terasa
Apa-apa.
Lamongan, 2021
Chloroform
Sebelum segalanya diangkat
harus ada yang rehat
dalam aus atau apkir
hidup yang kian
ke pinggir mencicip
lagi wangi orang-orang mati.
Kenanga, angsoka,
pandan, dan mawar
-mawar yang gugur
di gundukan.
Ambang luar dan dalam
pada retina, melayang ke
hitungan tanggal-tanggal
merah di balik kerah baju hanya
ada kau yang malu-malu
dalam tidur panjang kerap ada
yang hilang dalam dada mimpi
sesunyi hari sebelum
pagi mengetuk amsal sesal,
lubang-lubang yang
bercabang
memakan
igauan.
Lembar-lembar asing
di kening karyawan, tagihan
harian, cicilan bulanan, pajak
tahunan, negara menjahit
luka di punggung warganya
dengan bara yang menyala
seperti lampu jalan
di tengah malam.
Sebelum segalanya diangkat
harus ada yang rehat
dalam kelam yang
benderang di ujung jalan
hanya persimpangan dan
potongan-potongan
tangan yang pernah hilang
di ambang lengang.
Lamongan, 2021
Cranioplasty
Penjahit daging terasing dalam sketsa tubuh
Tanpa jendela, pintu dan langit-langit yang
Menghadap tilas di balik batu,
Aroma kaldu manusia, belulang-
Belulang dari penggalian ulang
Makam-makam yang mengambang
Sejajar igauan biduan kondang
Yang ditiduri ratusan mata
Meruah di hadapan lusa.
Tiap hari kepala-kepala plastik berisik penuh
Kerlip sisik tembakan-tembakan di perbatasan
Palang pintu yang dipasang
Melintang di ambang mimpi.
Orang-orang meludahi sepi,
Dalam diri sendiri, tapi apa
Yang musti dicari ketika
Hari-hari hanya dentuman
Innalilahi, Yang kian kemari?
Lamongan, 2021

Fatah Anshori, lahir di Lamongan, 19 Agustus 1994. Bukunya yang telah terbit Hujan yang Hendak Menyalakan Api (2018), Melalui Mimpi, Ia Mencari Cinta yang Niscaya (Frase Pinggir, 2021). Cerpen dan puisinya telah dimuat beberapa media online, Majalah Suluk (DK Jatim),danpernahterpilih sebagai Penulis Cerpen Unggulan Litera.co (2018). Bergiat di Guneman Sastra, Songgolangit Creative Space dan KOSTELA.Dapat disapa di Instagram: @fatahanshori dan Facebook: Fatah Anshori.