Epifani
kesunyian datang
meringkus keterasingan
menyergap kebisuan
seiring gelap malam.
tubuh ini ringkih
berjalan makin tertatih
menangkap sosok di retak cermin
sorot matanya kulihat letih.
kekosongan pada akhirnya
menemukan jalan pulangnya sendiri
sekalipun sebatas tafsir ulang
dari sejarah yang sengaja dibenam kedalam
sajak-sajak gagak hitam.
epifani! epifani!
aku ingatkan selalu padamu
untuk jangan mati terlalu dini!
sebab mimpi-mimpi kini lupa
merangkai dirinya sendiri.
(2022)
Sepenggal Ingatan di Hari Lain
Di hari lain terkadang aku
masih ingat akanmu
kadang-kadang tak utuh
kadang-kala cuma
selintas bayangan
yang mengabur dan
samar
seperti adegan ganjil
dalam sebuah film bisu
tak bersuara.
(2023)
Semesta Kepalamu
Setelah hujan barangkali
Segala hal yang keluar dari mulutku
Akan dipenuhi huruf-huruf
dengan sayap Icarus
Sebelum nantinya terbang rendah
Mengitari semesta kepalamu
Dan bermukim di dalam sana
Sepanjang musim berganti.
(2023)
Diam Segala Ucap
bukan pulangmu yang buatku sekarat
tapi sepimulah yang datang
begitu rambat
lalu dari dalam sunyi gelap
diam-diam menyelinap
segala ucap
entah jadi ratap
entah jadi senyap
entah jadi apa-apa yang mungkin
akan mengendap.
(2022)
Pada Sebuah Pantai
Kita sudah sampai
Dimana kita tak lagi duduk bercerita
Sambil rasakan ombak kecil menerpa
Pukuli kedua telapak kaki
Pada sebuah pantai
Kita sudah sampai
Dimana kita tak lagi bicara apa-apa
Sekalipun cuma bertukar sapa
Apalagi berbincang tentang suatu masa
Yang lewat dan yang akan tiba
Pada sebuah pantai
Kita sudah sampai
Dimana kita saling berjalan menjauh
Dan tak mungkin menoleh lagi.
(2022)
Pada Beku Wajahnya Aku Menemukan Tebing
Curam
Terjal
Menganga
Jalan menujunya
Nyaris
Sepi tak habis
Habis.
(2022)
Aku Katakan Kepadamu Seperti Apa Sepi yang Membunuh Itu
Mula-mulanya ia merangkulmu
Seperti kawan lama
Bertandang ke rumah
Bertamu tanpa memberimu
Kabar lebih dulu
Kemudian ia mendekapmu
Seperti seorang kekasih
Dimana dari wajahnya kau yakin
Dialah satunya-satunya orang
Yang akan kau lihat
Setiap pagi
Setiap kau bangun
Dari tempat tidurmu
Lalu entah oleh apa
Seperti bayangan
Ia menyelinap
Mengendap-endap
Pergi ke dalam
Mengambil pisau dan
Menikammu saat lengah
Setelah tersadar
Kau cium gelagat janggal
Dari sebuah kedatangan.
Solo, 2022
Pada Apa-Apa yang Mungkin
Kini kita hanya bisa bersandar pada apa-apa yang mungkin
Hanya bisa bersandar pada apa-apa yang terlihat mustahil
Maka untuk semua waktu yang pernah nyaris itu
Sesekali jenguklah ruangan yang membeku kini
Fragmen fragmen yang tak lagi membicarakan percakapan–percakapan kecil
Percakapan sederhana
Kalaupun harus dipecah, pecahlah
menjadi bagian-bagian kecil
Bahkan jika harus menyelam, selamilah
Sekalipun harus ke jurang paling dasar
Paling dalam
Paling sukar
Dan tak terbahasakan
Oleh kata-kata.
Solo, 2022
Lautan Ini Kembali Tenang
langit menghangat
sore menguning
cahaya keemasan tak lagi
merah membakar pucat
wajah seseorang
Lautan ini kembali tenang
meski deru-debur ombak itu
pernah menggulung tubuhnya
sampai tenggelam
di kegelapan paling dasar.
Lautan ini kembali tenang
Tiada lagi gemuruh badai itu
yang sempat hantam-karamkan
seluruh kehidupan
di kedua matanya yang redup.
(2022)

Gandang Kandirido, lelaki insomnia. Berdomisili di kota kelahiran, Surakarta, Jawa Tengah. Senang menuangkan kata-kata melalui medium puisi.