Wajah Mematung
kulihat seraut wajah mematung
dengan nasib terkatung-katung
pada bayangan lorong gelap
menyingkap tabir tak terungkap
“di sini tatapan sinis adalah lumrah,” ucapmu
“sebab kemurungan terlalu lama digelar
dan secuil senyuman kecut
telah menjadi kegilaan yang ramah.”
“lantas kenapa kau masih berdiri angkuh?” tanyaku, “sedang singgasana berduri tak kunjung kau rengkuh?”
“entahlah, aku sudah mencoba,” jawabmu
“dari mengibas tanganku sampai buntung
hingga melilitkan lidahku untuk dipasung
hanyalah kekosongan yang kudapat,
dan pada gelapnya lorong inilah
aku bisa merasakan kegetiran yang kudambakan
menikmati sepi yang meringkik dengan merayapinya
menikmati sunyi yang merangkak dengan merasukinya.”
(pelan-pelan ia melangkah pergi dan hilang ke dalam bayangan)
kini berbalik aku melihat wajahku sendiri
dalam wajah yang mematung itu.
Wajah
/1/
ribuan sembilu menyayat waktu
tangisan pilu bertalu-talu
lalu mengutuk
untuk memburu
wajah itu
/2/
pada sekeping cermin
yang disapu angin
kulihat wajah dingin
yang berwarna asin
wajahku, wajahmu atau wajah kita?
Hutan Beton
di kota ini bagiku
semua hal terasa asing
sedikit sekali yang tersisa
selain rimbun hutan beton
yang menjulang subur
di tengah kejomplangan
menghampar sepanjang pelupuk mata.
Hujan Kenangan
hujan ialah segala bait kenangan
yang tergeletak di tepian jalan
untuk dikunyah-kunyah
menjadi seperlima irisan jeruk
dalam sewadah es batu
yang dikupas di landasan kayu
lalu dituang ke mangkok kuah kari rasa keju
dengan beceknya bulir-bulir padi
dan diseruput tanpa puisi.
Ngopi Sederhana
aku ingin ngopi
dengan sederhana
tanpa gula
tanpa susu
tanpa kamu di sisiku.
Kecemasan
pada akhirnya semua memang kembali ke awal
ketika deru cemas di panas paling cadas
melahirkan percakapan yang menguap di udara
seperti sebuah pilihan yang kita pilih
meski tidak benar-benar kita pilih
bagaikan langkah maju dalam keanehan
yang mengaduk prasangka hari depan
seperti rumor bising dalam kegilaan
yang berembus dengan ketidakpastian
semua mengendap bersama pertanda buruk.
Histeria
seorang lelaki dengan raut sumringah tanpa keraguan
berjalan mantap menuju lapangan penjagalan
tempat dimana ia akan dipenggal bersama teman-teman seperjuangan
sesampai di sana ia bergumam lirih “betapa beruntungnya mereka yang tak ambil bagian.”
lalu tiba giliran, ia melangkah tegap naik ke panggung pemancungan seperti tanpa tekanan
saat algojo siap mengayunkan pedang, seluruh penonton pada kelabakan
melihat kejadian aneh di luar perkiraan, bukannya leher lelaki itu yang diserahkan
tetapi kelaminnya sendiri yang sudah tegang yang ia sodorkan
setegang penonton yang menyaksikan.
ia menyodorkan pada algojo yang siap menebas sembari berjabat tangan
penonton kelimpungan dan algojo sempat gelagapan
bahkan ada beberapa penonton yang jumpalitan
tetapi penonton dan algojo langsung sigap menguasai keadaan
apa yang sebenarnya ia bicarakan pada algojo ketika jabat tangan?
dan apa yang sedang mereka rencanakan?
sejurus kemudian terdengar desas-desus yang mengatakan;
ternyata mereka telah membuat perjanjian dengan suatu persyaratan
bahwa algojo akan menghentikan pembantaian
asalkan lelaki itu bersedia dan mampu menggantikan peran
dan tanpa babibu lagi ia setuju mengabulkan
lalu di luar dugaan penonton histeris ketakutan.
Matanya Meleleh
cahaya sore yang merambat
ke ruangan itu seakan enggan
menerpa parasnya yang memantulkan
ketenangan dan kerahasiaan
semesta
seiring matanya yang meleleh
bersama cemas
yang hinggap
dan mengendap
di sebutir peluh
ah… apapun itu
aku suka matamu.
Pada Sebuah Pagi
/1/
selamat bertandang ke rumah, hujan
makhluk di bumi sudah rindu
menyambutmu pulang.
/2/
senyummu dingin mengering
raib ditelan pagi menyingsing.
/3/
untuk apa susah payah menikam dadaku sendiri
bila mata itu telah lebih dulu membunuhku
mata itu adalah milikmu.
Hanyut
cakrawala terbakar hitam dalam
mendung itu
seakan mengiringi kepulanganku
yang kalah kuyup sepanjang jalan
di jalan aku menemui segala ketimpangan:
dari traffic light mati
lampu jalan yang redup
selokan mampet
lalu lintas macet
yang mengisyaratkan aku tuk berhenti
pada trotoar licin yang tergenang
berlumpur penuh lubang
sampai akhirnya kutemukan senyummu
yang mengambang
hanyut terbawa luapan
sungai hujan.

Gandhang Kandhiridho, lahir pada 4 April. Berdomisili di kota kelahiran, Surakarta, Jawa Tengah. Senang menuangkan kata-kata melalui medium puisi. Buku antologi puisi pertamanya berjudul “Rahim Waktu” (Teras Budaya Jakarta, 2021) dengan menggunakan nama pena “Dan Hermit”. Dalam waktu dekat (2022) sedang menyiapkan buku antologi puisi keduanya. Bisa dihubungi surel: gandhang99@gmail.com dan Instagram @gandha_ng