Memetik Gitar di Dadamu
Mencintaimu membuatku mengerti banyak hal
Seperti pagi ini yang membawa embun mataku
Pada bunga di halaman dengan meremas dada kiri
Dan berjalan satu kaki.
Aku membaca puisi sebelum membuka pintu
Lalu keluar dan terus membacanya.
Sebab aku percaya langit adalah jendela rumahmu
Meski cuaca belum bisa aku raba.
Jangan selalu bertanya
Mengapa hujan membuatku betah di luar rumah
Serta kemarau menjadikanku tabah pada gerah
Bisa aku jawab sekarang kekasih?
Tidak!
Di matamu aku masih saja rumput
Yang disiram dengan pestisida air matamu
Berperang dan berhijrah dari trauma.
Kau mengatakan hal sama, seperti:
Tulang kita semakin berwarna susu.
Sia-sia kekasih!
Sama halnya bunyi
Saat aku belajar memetik gitar di dadamu.
Lagu itu membuatku mengerti
Bahwa cinta tidaklah sederhana
Ia adalah luka mengasyikan yang
Membuatku menundukkan kepala.
Sekarang apa yang kurasakan
Tangan meremas keras dadaku
Merupakan amin pemetik dadamu.
Mata Pena, 2020.
Menikmati Musim
Langit berkata, aku bisa menangis
Namun matamu lebih awal memulai hujan.
Angin barat dan timur beradu
Awan menunda segala perpindahan
Menghitam. Di langit mataku.
Sedang, sisa sia-sia penyair menjadi cinta.
Dan Tuhan sedang bercanda
Bercanda bersama kita dan kata di kepala.
Kita hari yang berbeda, katamu.
Namun, aku langit
Merindukan sungging pelangi di bibirmu.
Aku membuka almanak yang
Menyimpan angka-angka kusam.
Sama sekali tidak ada kedip matahari.
Puisi menatap jemari yang gigil.
Mataku makin tertuju pada kaki
Yang tercatat di akhir bulan.
Ah! Sekarang musim cinta
Angin sedang membawa angka berwarna.
Mata Pena 2020.
Sebelum Hujan Meninggalkan Bekas
Hari yang basah, dengarlah ritmisku
Menyentuh tanah dan kuyup.
Di jendela, segala renta tersimpan.
Kesah kasih menarik ingin aku kisahkan
Padamu. Seperti, aku yang tak bisa rintik
Namun basah tanpa sengaja.
Aku ingin berlarian di kota
Yang bisa kuartikan mengeja gila.
Gila menjadikanku kekar tangkar
Dari segala yang tengkar, sebelum
Aku membaca rambu-rambu cinta.
Tapi, aku tak berhati-hati pada kata itu.
Aku mencoba keluar dan meratap
Kendaraan yang teramat cemas
Lalu lalang di kepala. Getar kakiku memaksa maju
Meninggalkan kursi, meja, kopi
Dan diriku sendiri di rumah. Di luar sangat bebas,
Aku berteriak mengacungkan bunga puisi.
Berlarian menolak semua bengkak.
Aku semakin riang, meski
Hujan dari tadi menghentikanku.
Membuat segala luka tinggal, mungkin.
Mungkin selamat dari sehat. Atau
Korban kelaparan, sebab
Mengganti mata ibu di saku dada
Dengan mata yang aku tak tahu milik siapa.
Tapi lepas dari semua itu
Tubuh tiba-tiba jatuh di jalan
Yang tak sampai kutempuh separuh. Sial,
Puisi dan aku menjadi medan tabrak lari.
Darah bersimbah menyembah kepulangan.
Aku berminat pulang. Namun,
Hujan lebih dulu menghapus jejak palung.
Meninggalkan pelangi yang tersenyum
Karena indah seorang diri. Sedang
Aku terus menahan pandang,
Memeluk lutut sendiri.
Semenjak itu, kaca adalah sahabat setia.
Aku menatapnya dan tak berhenti hati mengingat.
Pakaian yang kukenakan di waktu itu
Dibiarkan amis darah
Tanpa sesekali mencucinya.
Menunggu hari selanjutnya untuk kupakai.
Di hari ini.
Mata Pena, 2020.
Jejak Anak Palestina
Seorang anak berkepala polos terus meratap langit
Meremas luka di dadanya.
Bangunan kusam tak lagi membentuk sebuah kota
Tertata di sela sakitnya.
Mereka umpama duli di kaki persembunyian,
Masa layang-layang adalah keringat aborsi.
Tubuh sesaat bisa menjadi bidikan
Senapan zionis yang tak kenal bosan.
Derita tanah darah menyimpan anak-anak
Membasuh memar dengan air matanya
Tanpa batas tahun dan waktu.
Seorang anak berkepala polos terus meratap langit
Yang berupa mata ayahnya.
Tatapan terakhir menyusun debar
Aku tidak bisa memberimu masa kecil
Kata ayahnya.
Tubuh yang memutih dan menanggung puluhan lubang
Tergeletak di pangkuan anak itu.
Derita tanah darah menyimpan anak-anak
Mengganti panji pusaka ayahnya.
Kobar jihad tak ada hentinya.
Mata Pena, 2020.
Perjalanan menuju rumahmu
“Kau sedang di mana?”
Suaramu ringkih yang entah asalnya.
Aku sedang berlarian bersama lampu mobil
Mengendus garis putih menuju rumahmu.
Di dalam baja berjendela kaca ini
Aku mengamati kota dengan serius mungkin:
Gedung adalah tubuhmu yang nampak
Pada langit mataku, meski hanya memandang jarak.
Setiap tikungan kulalui dengan klakson
Dan degup dada. Seseorang sering meneriakiku
Agar memasang spion sebelum orang lain
Menyalip dan membekaskan air mata,
Dan itu terus berulang-ulang.
Sesampainya di rumahmu,
Aku memarkirkan diri di halaman
beranjak pelan menuju pintu dan mengetuknya.
Tak ada satu pun yang muncul.
“kau sedang di mana?” aku bertanya balik
“Aku sedang berada di pikiranmu”.
Mata Pena 2020.
Gema Malam Anak Rantau
Malam ini, seseorang menahan diri
Meraba jendela dengan kubangan air mata.
Di kota yang tak menjamin ia lahir
Terus tabah menghidu rindu
Melagukan ninabobo tanpa seorang ibu.
Pikirannya membabi buta
Merekam opera yang terjadi di siangnya:
Memungut uang dari seluruh peluh,
Kepergok orang asing yang tak punya pandang.
Ia menceritakan semua dengan tangis
Sembari mengusap foto keluarga.
Di malam ini, tiada teman selain sajadah
Ringkih tubuh ia putar pada biji tasbih:
Satu putaran berupa doa,
Selanjutnya adalah air mata.
Mata Pena,2020.
Bapak Seorang Petani
Terdapat ladang di keriput kening bapak
Tempat mencangkul dan membajak,
Menanam kewajiban dengan peluh
Tabah menyiram seluruh.
Ekspedisi hidup berkalang otot dan doa
Selapang hati ia memanennya
Tanpa mempersaksikan air mata.
Mata Pena,2020.
Panggil Aku Merdeka
Cerita dimulai saat aku membuka buku tua
Menyapa seseorang yang matanya masih mengalir darah
Menjelma mata air.
Panggil saja aku merdeka, ungkapnya.
Aku terkesan melihat orang itu
Setiap menulis sajak dengan bambu runcing
Dan membacanya penuh tekad
Tumbuh rimbun pohon di dadaku.
Sampai sekarang pun
Sajaknya menjadi lagu
Bagi tidur anak-anakku.
Mata Pena, 2020.
Di Laut Kutemukan Matamu Tenggelam
Laut mengingatkanku pada kegaduhan
Antara waktu dan tubuhku yang merebut ombak
Aku sering kalah, ringkih kakiku lemah di atas karang-karang
Karang hatimu. Namun aku suka laut.
Nun sebelum aku mengenal tepi
Tak satu pun kutemukan siapa nyala
Dalam pancarona langit
Yang menjadi dongeng paruh baya waktu
Seperti, aku ingin menjadi sampan di tengah ombakmu
Di tepi, karang mengajariku rela
Pada setiap yang pergi
Namun, matamu masih pasang
Seakan lautan kehilangan luas
Aku suka caramu menatap
Bahkan setelah mati
Aku ingin dimumi bersama karang-karang
Dan leluasa jeremba swastamita matamu.
Mata Pena, 2020.
Sebut Aku
Sebut aku wadah merdeka:
Darah pahlawan adalah segumpal daging
Yang berbiak menjadi aku.
Sebut aku panji suci:
Kibar merah putih serupa zirah
Kukuh di dada.
Sebut aku bambu runcing:
Tekad yang tajam melebihi mata pedang
Tertancap sorak kemakmuran.
Mata Pena, 2020.

Gusfahri atau Gusti Fahriansyah, berasal dari Desa Torbang Batuan Sumenep menggeluti sastra mulai dari Majelis Sastra Mata Pena, SMA Annuqayah, Persatuan Santri Lenteng (Persal), komunitas Tumpah Pena, serta Sanggar Gemilang. Juara1 LCPN SIDERIS INDONESIA. Karyanya pernah dimuat di beberapa media cetak juga online. Surel: gustifahriansyah501@gmail.com