Nangka
Masih kau sebut durikah beskap hijau tua tak bergigi itu—seraya terus bersembunyi dari mata licik orang iseng tengah malam—sedang harummu, amboi, laksana kawinnya setandan pisang matang dengan nenas madu, apel merah dan mangga harum manis; yang memanggil-manggil janin mungil di perut ibu muda yang mulai kepayahan berjalan. Terberkatilah kuning dagingmu yang mencolok itu, meski sumpah akibat putih getah darahmu acap pula membuat kami waswas semata. Tetapi benarkah moyangmu lahir dari hujan yang rajin menuruni hutan raya India? Atau sebenarnya kau hanya biji belaka yang tekun menjalar kemana suka? Lihat, betapa kaya kau pada segala guna; sampai keringat batang jisimmu, jubah pendeta Buddha tampak kian berwarna. Kini, pantaskah wajah kau muram percuma bila legit tubuhmu kami lahap gembira?
Akasia 11CT
Belenggu
Bagai ikan dalam lemari pendingin; serupa kapuk yang ditekan-tekan ke dalam kasur maupun bantal muda pengantin. Bersusun-susun kami; tak pantas sekadar menyepadan jenjang kaki barang sejenak. Pun telah kami minta sedikit luas padang gurun atau secuil lebat rimba raya. Akan tetapi lancip daun pendengar senyata tak kuasa menerima maklumat dukacita. Lihat, tinja siapa itu? Mana ada tinja di sini! Itu busuk kaki kami yang menempel di lantai. Amboi, betah nian kita mengejami; bukan main lalai mereka mendiami, arca itu mungkin adalah kami yang pemalu lagi buta-tuli. Sememangnya engkaukah yang terkurung atau kaulah semestinya Gitamara nan bengis lagi erat menggigit?
Akasia 11CT
Lepas
Jikalau kau patuh menyeluruh
Alamat luput berita buruk
Luruslah jalan ke semenanjung
Lapanglah tanjak ke gunung
Apabila madah kau jaga
Isyarat rantai sungkan memasung
Mestilah lengang kabar burung
Pastilah lancar niat meluncur
Ke selokan sukma muara Sang Raja.
Akasia 11CT
Puisi
Bilamana engkau enggan bertamu. Atau kedua kaki terlampau lejar tamasya ke rimbun anggur yang menggantung. Cukup ceritakan saja bagaimana budi pekerti mampu lolos dari sergapan tentara waham.
Sungguh, betapa benci kami pada kisah siluman serigala. Itu sebab datuk moyang kami senang belaka menuturkannya kali berulang. Dan kuping kami teramat tekun menakzimkannya; seraya terus bibir berdoa semoga jauh pergi marabahaya.
Mungkin bisa jadi kami risih. Dimasuki keruwetan yang sebetulnya bukan semata keinginan kami. Namun kenapa engkau rajin pula turut-menurut, sehingga putih daging dan hitam darah kami mudah percuma tersamarkan.
Barangkali kita musti tutup mulut sekejap: menunggu paus biru dilahirkan sekali lagi atau reinkarnasi si jalang hadir memilah-memilih; menyambung-memotong apa-apa yang patut dan elok tangan tuliskan serta lidah bunyikan.
Setakat ini, masihkah kau jantan menghakimi—suntingan ini benar puisi atau sekadar curahan hati?
Akasia 11CT
Belajar Ikhlas dari Buku Buku
Berjilid-jilid buku lolos mencatat cara adiluhung memasukinya; menyelaminya. Supaya yang rusak parah segera embus pergi tak perlu kembali. Akan tetapi alangkah benua tubuhnya, mungkin juga luas semesta; sehingga tak pernah genap kita menaklukinya. Maka muncul dan terus muncul kitab-kitab segar membahas-mengulitinya. Sampai kita luput mendedahkan ibu bapak kitab dari segala kitab yang sesungguhnya ialah obat bagi ragam penyebab.
Akasia 11CT
Ilham Wahyudi, lahir di Medan, Sumatera Utara. Ia seorang juru antar makanan di DapurIBU dan seorang Fuqara di Amirat Sumatera Timur. Puisi-puisinya ada yang ditolak redaksi ada yang dimuat redaksi. Buku kumpulan puisinya “Pertanyaan yang Menyelinap” akan segera terbit. Akun Facebook: Ilham Wahyudi dan Instagram: @ilhamwahyudi_ilham