Fibromyalgia
Seperti mati
aku tertidur
dalam ngilu
sekujur tubuh
lelah mencekik
tulang begitu sakit
bertahun-tahun
aku budak tangis
apa yang kuingat
pudar perlahan
kecemasan, ketakutan
kepalaku menahan
luka dalam obat
kesembuhan
bukan antidepresan
kepercayaan
bukan penenang
sementara
persis tidurku
yang berhari-hari
tak berdaya
meski terlihat sehat
katakan bahwa aku akan sembuh
aku akan sembuh
tanpa pertanyaan:
benarkah kausakit?
leherku, pundakku
punggung, dada
kaki, tangan
melingkar kesakitan
aku tak sanggup bangun
dari tempat tidur
terlelap dalam hidup
yang mematikanku
setiap saat aku bertanya
mengapa aku terlalu payah
mengapa aku selalu lelah
meski tak berbuat apa-apa
aku ingin membeli energi
untuk tulangku
yang melulu ngilu
menyembilu
Trauma
Kenangan masa kecil
gelap dipejam
terbingkai pada mata
hadiah Papa Mama
membentuk benda tajam
di dalam kamar.
Waktu
Di magrib yang dingin
Kita sepotong bibir ranting
Di subuh yang sejuk
Kita sepasang kaki berteluk
Jarak menggigit bayangmu
Gemeletuk nyaring di kupingku
Tiada yang mampu menjarah waktu
Kau telah meniggalkanku, dan berlalu
Kenangan kutelan
Sendirian
Rindu mengudus
Dalam kardus
Sampai jumpa di lain hari
Ketika kau belum menjadi orang lain
Panggung Tangis di Mata Ibu
Aku melihat matamu, Ibu
menggerakkan kesedihan
menjadi seni pertunjukan
Setiap menyentuh panggung
aku melihat tangismu
pada tirai, pada lampu yang berderet
dan akan menyinariku
mendapat tepukan dari tangan
yang bukan dirimu
Tata rias yang teroles di wajahku
menyatu dengan kulit
sebagai duka yang kaulempar
tanpa lebih dulu kautatap
dan kostum-kostum yang kukenakan
adalah pertanyaan atas kesedihanmu
yang tak pernah sanggup kaujawab:
betulkah mimpiku adalah lukamu?
Aku rindu bersandar di dadamu
mendengar sunyi yang berdarah
hening yang memeluk kehampaan
tanpa air susu yang keluar
sebagai tali antara kita
Adakah yang tidak kuketahui
dari masa lalumu, Ibu
selain payudaramu
tak sanggup mengeluarkan
apapun kecuali kesedihan
Adakah yang tidak kuketahui
dari masa laluku
sehingga yang kuingat hanya
Ibu mengurungku dalam diam
dan memukulku ketika aku lari
ke luar rumah
Di panggung berkilap-kilap
aku patung dalam matamu
wajah-wajah gembira di depan sana
adalah tangismu yang menolak
kepergianku
tetapi, Ibu, tidak ada jalan yang buruk
di atas panggung
meski panggung yang kita lewati
berbeda.
Pada Sebuah Televisi
Aku ingin meninggal di dalam FTV
menjadi air mata penonton setia
yang bersembunyi
pada nasib buruk sendiri.
Mereka melihatku sebagai perempuan
simpanan suami orang
merebut hak anak-anak tak berdosa
korban kegagalan rumah tangga.
Satu kali saja aku menjadi pemenang
meski menyakiti istri orang
anak orang, dan harga diri orang
yang rela melakukan apapun untukku
dan meninggalkan siapapun demi aku.
Kelak ketika aku kecelakaan
karena sibuk teriak-teriak
demi memperlambat durasi
kesedihan pada ujung takdir,
aku pasti bertobat dan meraung-raung
minta maaf pada Tuhan
sekalian tak menyangka, ya ampun
perempuan yang menyakitiku
adalah penolong hidupku.
Dan aku meninggal setelah memohon
agar mereka kembali bersatu
biar penonton tidak terlalu membenciku
lalu mendapat petuah hidup
dari kisah orang-orang baik.
Aku ingin meninggal di dalam FTV
menjadi teman bagi kesepian ibu-ibu
dan hiburan untuk orang
yang gemar tertawa
lewat judul-judul panjang
tak masuk akal.
Meminta Pertolongan
Mengenangmu.
Tolong
aku.
Sajak-sajak yang kita tulis
Berhamburan dalam tangis
Rindu terjatuh pada patuh
Menjalar sebagai luka lebar
Di matamu yang jauh dari mataku
Senduku yang sendu pada sendumu
Sepanjang tahun lalu
Tengah malam kita menjadi terang
di layar ponsel
Dan gelap di dada sendiri
Menutupi semua yang kita pahami
Dengan pertanyaan seputar duka sandiwara
Pagi hari kita menjadi kotoran
kambing
Yang menolak mengerak
Membantah disebut sampah
Siang hari kita menjelma harta
Yang tidak membuat kaya
Siapa-siapa
Sore yang merah
Bergantian di bibir kita
Dan kau basahi dengan hujan dari mulutmu
Sobek seluruh aku
Tolong.
Mengenangmu adalah darah
Yang tak henti keluar di kepala
Mengenangmu adalah sedih
Yang selalu ada dalam puisi
Tanpa bisa kupahami
Kepada Tubuh yang Runtuh
Kautahu, tidak ada yang ingin
menjadi gila
seperti kita yang tidak meminta lahir dari rahim siapa-siapa.
Napas membusuk
lebih busuk dari bangkai tikus
yang kaupandang sepanjang hari
menunggu pulang tiba
Di selatan Jakarta, orang-orang
bekerja
menatapmu sebagai manusia
tanpa otak, tanpa dada, tanpa wajah
berdatangan meminta telinga untuk cerita sedih mereka
Pertanyaan datang pergi
semacam kontes di televisi
yang kausimak tiap hari
sebagai hiburan selain sinetron perselingkuhan
Rasa iba kaututup
demi membungkam kesedihanmu sendiri
luka duka kaubiar turun
dalam dirimu menuju doa yang entah didengar kapan
Terik melingkar di tubuh kita
setiap malam di atas ranjang
basah menahan nyeri
yang takut diketahui
Siapa punya luka lebih besar
di antara kita
siapa punya darah lebih kotor
di antara kita
bagimu menjadi gila adalah kesalahan
dan ketololan dan keegoisan dan kesia-siaan dalam hidup
Tetapi, tidak ada yang ingin menjadi gila
tidak ada yang ingin tersesat dalam dirinya sendiri
dan kaulupa, kita sudah mengalaminya
bahkan berdoa, “Tuhan, pulangkan kami,
tanpa rantai besi di tubuh ini.”
Bilur
Kau terbungkus plastik
tubuh biru, lebam, kaku
di tanah basah
kunci menyembul
menjadi barang bukti
terkubur
Pernah kita bersatu
suka dalam luka
tanpa minta sudah
Akhirnya jasadmu
lepas juga
disambut angin
yang menggiring bau anyir
Masih terekam nyerimu
bunyi jerit di ruang itu
menjadi nyanyian di bibir kita
takut menuju takluk
pada malam deras keringat
Di mana kemanusiaan, kaubilang
Di mana letak otakmu, perempuan murahan, kata mereka
Cambuk menari
di punggung dan pahamu
Kini giliranku
menyusul kebebasanmu.
Tidur
musik-musik sendu
menyentuh
kasur yang lembut
dan kosong
bersih
dari tangis
menguar luka tanpa darah
jatuh sebagai batu
jatuh sebagai lagu
dengan lirik kehilangan
Ibu
Wajah yang Terbakar di Stasiun Manggarai
Aku lupa bertanya padamu
bagaimana cara terbaik
menyelamatkan cinta
dari sakit hati
Di peron dua aku menunggu
bertahun-tahun, berganti baju
wajah yang tetap suram
rambut yang tetap kelam
mengibas masa lalu dari tanganmu
dari napasmu
dari tangismu
dalam sunyiku
Entah apa yang membuat diriku
menyebutmu masa lalu
sementara kita tak pernah berpisah
sekaligus tak pernah bersama
darahmu
dalam
darahku
Aku melihat restoran berjejer
seperti kelaparanmu
yang belum mampu kausampaikan
kecuali dalam rengek dan ba-bi-bu
hujan pernah menyapu kita
tetapi menghangatkan dalam peluk
yang kita eratkan
kemarau pernah mendinginkan kita
bersama bising kereta dan bau keringat
para penumpang ketika kauhilang
dan aku menjerit mencarimu
meski aku tahu kau adalah aku
Anakku, suatu saat entah di mana
kita akan kembali bersama
naik kereta menuju rumah
aku menenteng banyak kardus
tetapi takkan pernah kubiarkan
tubuhmu terjatuh, tersenggol tubuh
orang lain ketika kereta rel listrik berhenti
dan penumpang seperti binatang buas
yang membakar wajahku dengan api
kebencian tanpa sanggup kutahan

Jihan Suweleh, lahir di Gorontalo, 14 Desember 1994.
Gillaakk… Kece euy pwisik kak Jihan. Panjang yang pendek. Awawaw…