Puisi

Puisi Joe Hasan

April 18, 2023

Puasa 3

orang-orang itu

datang mencari surga

di meja biru

menuju lobang paling hasrat

harum vodka di mejanya

abadi di mataku

dejavu datang tergesa-gesa

klik

aku buka jendela

mengeja suara mereka

pemuda kampung

badan ringkih

yang tidak mencari surga di perut ibu

lalu hening

sementara

saja

pagi aku diserang

bola-bola yang saling memukul

puasa ini

sungguh menguras kesabaran

aku masih sabar

menanti kedatangan perempuan tua

perawan

kita sama-sama mencari

surga yang tidak ke mana-mana

 (Baubau, 2023)


Puasa 6

apa yang mati

tak lagi mati

macet hanya menunaskan sabar

kini tumbuh

berdaun…

berbuah…

malam-malam

aku tidak lagi memetik kutuk

telah sembuh

bibir yang seharian

dengan kata yang super keramat

puasa hampir batal

ah, apa benar

jiwa yang bangun tengah malam

jiwa yang mudah marah

ialah yang dirindui Tuhan

untuk tak lupa Asmaul Husna?

(Baubau, 2023)


Perut Imam

subuh nanti

aku ingin berkelana

di perut imam

memetik doa-doa rapat

membaginya pada anak-anak jalanan

yang kehilangan peluk

dan di sana

kutemukan dusta paling purna

sisa-sisa ayat yang terapal tak berbekas

katanya telah berkali-kali khatam

apa mungkin aku yang tersesat di perutnya?

karena subuh belum sampai di rumah Tuhan

lalu aku berjanji pagi ini

tidak akan berkelana ke mana-mana

selain pada puisi

 (Baubau, 2023)


Puasa Kelima Belas

di rumah tuamu

hujan yang jatuh menjadi tua

tidak seperti biasa

kau meminta bunga sakura

untuk dibagi pada para musafir

tentu tidak gratis

semua letih ada bayaran lebih

tuturmu pada suatu petang

meski pahala dan amal tetap utama

bukankah pahala dan amal mudah terselesaikan

kala bayaran tercukupi sesuai keringat yang keluar

untuk hari kelima belas

permintaan itu tergolong terlambat

tapi kuingat petuah lama

yang masih hidup di segala dinding rumah tua ini

bahwa tak ada kebaikan yang terlambat

dan makin malam

hujan makin redup

redup…

redup…

tinggal ringkih tubuh terbungkus gigil

(Baubau, 2022)


Setiap Menit

setiap menit di pagi hari adalah menantikan

pesan-pesan yang mengudara

aku membunuh suara

lelah menjadi raja dalam rumah

pagi datang buru-buru

ketukan pintu tak ada perasaan lagi

mengejar uang dan begitulah setiap harinya

setiap menit adalah penantian

untuk kubalas lagi tanpa berlama-lama

berjanji bertemu di bawah pohon tomat

biar bekerjalah dulu

aku akan pamit pulang

meneguk izin sanak saudara

begitu pula kau

bukankah waktu tak pernah berlari

hanya kita yang begitu tergesa-gesa

setiap menit adalah menunggu pagi

dan setiap pagi adalah hadirmu

 (Baubau, 2020)


Tubuh Lain

mengaduh pada tubuh lain

seperti dejavu

permintaan 10 tahun lalu

datang menyerempet

tapi tubuh telah menegak

mimpi sudah bertemu tuan

sementara dia masih tidak mau pulang

dan kau kejar lewati puluhan pulau

berkali-kali

aku perlu menyelamatkan aku

yang terlalu lama diam

pada kegelisahan

biarkan kali ini puisi bersuara

meski tetap tak mampu

kepada tubuh lain

yang tidak menanam rindu

tiada lagi pengorbanan

pengalaman cukup memberi tahu segala

aku ingin pergi dengan tidak mengingat pulang

di sana letak segala gelisah

yang sulit mengaduh

saat ini

pada tubuh lain

aku mencatat sejarah sendiri

dengan tinta yang semakin hari

semakin purba

(Baubau, 2022)


Suara Subuh

hanya telinga yang terjaga

diam-diam menyebut asma Tuhan

suara subuh dari jauh

terbang mendekat

mendekap pada embun daun

mengintip lewat jendela telanjang

lalu memaksa masuk

seketika itu

debu-debu yang bertandang

ikut sujud

melunasi rindu

(Baubau, 2020)


Joe Hasan, lahir di Ambon pada 22 Februari. Tulisannya pernah dimuat di media cetak dan online.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *