Puasa 3
orang-orang itu
datang mencari surga
di meja biru
menuju lobang paling hasrat
harum vodka di mejanya
abadi di mataku
dejavu datang tergesa-gesa
klik
aku buka jendela
mengeja suara mereka
pemuda kampung
badan ringkih
yang tidak mencari surga di perut ibu
lalu hening
sementara
saja
pagi aku diserang
bola-bola yang saling memukul
puasa ini
sungguh menguras kesabaran
aku masih sabar
menanti kedatangan perempuan tua
perawan
kita sama-sama mencari
surga yang tidak ke mana-mana
(Baubau, 2023)
Puasa 6
apa yang mati
tak lagi mati
macet hanya menunaskan sabar
kini tumbuh
berdaun…
berbuah…
malam-malam
aku tidak lagi memetik kutuk
telah sembuh
bibir yang seharian
dengan kata yang super keramat
puasa hampir batal
ah, apa benar
jiwa yang bangun tengah malam
jiwa yang mudah marah
ialah yang dirindui Tuhan
untuk tak lupa Asmaul Husna?
(Baubau, 2023)
Perut Imam
subuh nanti
aku ingin berkelana
di perut imam
memetik doa-doa rapat
membaginya pada anak-anak jalanan
yang kehilangan peluk
dan di sana
kutemukan dusta paling purna
sisa-sisa ayat yang terapal tak berbekas
katanya telah berkali-kali khatam
apa mungkin aku yang tersesat di perutnya?
karena subuh belum sampai di rumah Tuhan
lalu aku berjanji pagi ini
tidak akan berkelana ke mana-mana
selain pada puisi
(Baubau, 2023)
Puasa Kelima Belas
di rumah tuamu
hujan yang jatuh menjadi tua
tidak seperti biasa
kau meminta bunga sakura
untuk dibagi pada para musafir
tentu tidak gratis
semua letih ada bayaran lebih
tuturmu pada suatu petang
meski pahala dan amal tetap utama
bukankah pahala dan amal mudah terselesaikan
kala bayaran tercukupi sesuai keringat yang keluar
untuk hari kelima belas
permintaan itu tergolong terlambat
tapi kuingat petuah lama
yang masih hidup di segala dinding rumah tua ini
bahwa tak ada kebaikan yang terlambat
dan makin malam
hujan makin redup
redup…
redup…
tinggal ringkih tubuh terbungkus gigil
(Baubau, 2022)
Setiap Menit
setiap menit di pagi hari adalah menantikan
pesan-pesan yang mengudara
aku membunuh suara
lelah menjadi raja dalam rumah
pagi datang buru-buru
ketukan pintu tak ada perasaan lagi
mengejar uang dan begitulah setiap harinya
setiap menit adalah penantian
untuk kubalas lagi tanpa berlama-lama
berjanji bertemu di bawah pohon tomat
biar bekerjalah dulu
aku akan pamit pulang
meneguk izin sanak saudara
begitu pula kau
bukankah waktu tak pernah berlari
hanya kita yang begitu tergesa-gesa
setiap menit adalah menunggu pagi
dan setiap pagi adalah hadirmu
(Baubau, 2020)
Tubuh Lain
mengaduh pada tubuh lain
seperti dejavu
permintaan 10 tahun lalu
datang menyerempet
tapi tubuh telah menegak
mimpi sudah bertemu tuan
sementara dia masih tidak mau pulang
dan kau kejar lewati puluhan pulau
berkali-kali
aku perlu menyelamatkan aku
yang terlalu lama diam
pada kegelisahan
biarkan kali ini puisi bersuara
meski tetap tak mampu
kepada tubuh lain
yang tidak menanam rindu
tiada lagi pengorbanan
pengalaman cukup memberi tahu segala
aku ingin pergi dengan tidak mengingat pulang
di sana letak segala gelisah
yang sulit mengaduh
saat ini
pada tubuh lain
aku mencatat sejarah sendiri
dengan tinta yang semakin hari
semakin purba
(Baubau, 2022)
Suara Subuh
hanya telinga yang terjaga
diam-diam menyebut asma Tuhan
suara subuh dari jauh
terbang mendekat
mendekap pada embun daun
mengintip lewat jendela telanjang
lalu memaksa masuk
seketika itu
debu-debu yang bertandang
ikut sujud
melunasi rindu
(Baubau, 2020)

Joe Hasan, lahir di Ambon pada 22 Februari. Tulisannya pernah dimuat di media cetak dan online.