Puisi

Puisi Muhammad Asqalani eNeSTe

May 3, 2022

Di Pagi Hari

di pagi hari, orang-orang sedang tidur tanpa mimpi.

tubuhku dingin tanpa baju, penyesalanku dingin dan sesap pada bisu.

kugenggam pasir mimpi. tidurku tergeletak pada jaga.

neraka bercerita pada dongengnya yang menyala, surga makin biru saja.

sekepak ingatan tiba-tiba sangkar. dipenjaranya alusi perempuan,

yang mengetuk meja lapuk dengan buku-buku jari yang penuh luka.

negerinya terbuat dari pembunuhan. yang ia takutkan bukan lagi Tuhan,

tapi tuan yang menghidupkan segala kebengisan akhir zaman.

aku duduk di tepi pagi, terjun ke dingin tanpa batas,

kekacauan di dadaku tangkup dan kebas.

oh embun-embun yang melarat dari butiran doa. haruskah aku sujud

bersama keladi yang angkuh, subuhku adalah kening busuk yang jatuh.

Kubang Raya, 20 November 2020


Bimbilimbica dan Buku Harian Zlata

  • Alusi Peperangan Bosnia 1992-1995

ingin kugandakan hati biar sepi mampu kubagi seperti roti dan kelaparan

pengungsi dini hari, di bawah sebungkus senyuman disinari samar bulan,

sembari membayangkan betapa belatung di kuburan sangat mencintai kesunyian

yang masih segar, bergumul tubuh pucat dan segenap anggapan rasa sakit,

di masa-masa penantian siksa bagi agama yang menyakininya.

ketika keputusasaan menghantui gelap hari-hariku, kubayangkan kau gigil

di negeri jauh, Bimbilimbica. Zlata Filipovic tak menyentuhmu, sebab airmata

terlalu memusingkan kepalanya: tentang rasa lapar yang menggejala,

tentang kesepian bagai kolera

bila serigala muncul sebagai pertanda kabul segala pestaporia kehilangan,

kawanan burung-burung bangkai menukik bagai puncak kasmaran, harus bagaimana

kau datang meniadakan lara, Bimbilimbica?

lidah Cecep Syamsul Hari yang khatam mengumpul puisi, tumpul dalam otakku,

Zlata Filipovic kembali menangis di tipis nuraniku, aku hendak berbincang,

mungkin mengaku memeluk Tuhan atau sekadar bertempur dengan setan yang sesat

di badan.

Bimbilimbica, katakan pada lampu merkuri lumutan dan setia berdiri nun jauh di sana, adakah cahaya bakal menyapa esok hari bagi kedukaan maha di jantungku; degup-degupku, harap-harapku.

alusi peperangan itu mengepungku, suara jerit menggedor-gedor kewarasanku, Asfaltina, Pidzameta, Zefika, Hikmeta, Sevala, segala hanya menggantungkan keragu-raguanku

tentang bahaya hidup yang tak mungkin kucungkup sejak sepanjang malam berharap

aku mati di puncak menara.

Bimbimbica, seluas apakah neraka itu? masih jauhkan ia dariku? Bimbilimbica

sanggupkah kau memeluk saat tubuhmu terbakar dan sebentar lagi abu?

Pekanbaru, 2015 – 2021


Kaleng; Yang Diam-Diam Membuat Rahasiamu Karatan

: Alda Muhsi

aku ibaratkan kau ada di hilir sungai,

hilir segala yang ditampung keluasan muara,

maka kuhanyutkan berkaleng-kaleng bekas susu,

sehari hanya satu.

di dalamnya kuselipkan kertas rahasia,

kertas yang hanya mampu kaubaca ketika kaubawa ke kertap cahaya,

sebab aku menulisnya dengan bantuan getah lemon.

mungkin hanya serbuk cinta karatan,

sebab serbuk cintaku tak lagi diminati kumbang,

atau decit perih harapan yang koros hati.

pernahkah kau memakai parfum termurah

ala anak sekolah dari ekonomi rendahan?

aku menyemprot parfum itu dengan beberapa percik,

saat kau membuka gulungannya akan terkuar siar wangi

sebab di dekat surat itu telah kudiangkan 5 putih segar melati.

aku tak mengharapkan apa-apa,

tak juga kebahagiaan yang meliputi jiwamu yang sukma,

hanya upaya mengirim sedikit cinta dan lebih banyak cita-cita,

yang barangkali lebih masif dari kegilaan Rimbaud-Varlaine.

jika sudah kauterima 5.000.000 kaleng susu bekas,

mohon balas kirimanku dengan cinta sungguhan,

kirimkan via pos kaleng yang paling kumal dari keseluruhan.

tapi itu takkan pernah terjadi, tak akan pernah.

sebab 5.000.000 hari bukanlah pilihan kita untuk tetap hidup.

untuk 5.000 kaleng susu bekas, atau untuk 5 kaleng susu bekas,

kirimkan saja semisal tipudaya cinta,

mungkin racun yang dapat membakar kaleng-kaleng berikutnya,

kaleng-kaleng yang tidak akan sampai kecuali kabar kematian pengirimnya

yang diam-diam membuat rahasiamu karatan.

Tiga Meong 2015 – 2022


Pantai Alam Indah

bangkai kenangan masih mengapung di laut otakku,

          saat kausasarkan selasar cumbu di pantai kelabu.

          saat itu gelap, menggeriap, tanganmu semakin mendekap,

                                                                     mulutmu membekap,

   kedinginan angin laut seperti mengerucut surut.

sekarang kau di mana? haruskan aku bertanya kepada seluruh karang

              dan biotanya? mengapa kau hamparkan gelombang lengang

                                                        sehampir ini?

tak adakah lagi kedalaman cinta? tak adakah lagi pasir-pasir di bibir?

      hingga aku harus berenang serupa ikan-ikan kesedihan

                                  yang mengapung nadir.

Kubang Raya, 2015 – 2022


600 Mil / 965 Km

: Shangguan Xi Mu

965 km,

inilah jarak kasih sayang terjauh

yang pernah tersentuh biak kembang airmataku,

cinta tak memusingkan rasa lelah karena asa belum akan leleh.

Xi Mu, keterasingan hanyalah kelaziman semu,

hatimu abadi mengendarai debu-debu

hingga mengepul ke jantung juntrung nenekmu.

ada 1.330 hari ambang plastik menuju pintu uang,

kau tepis usiamu yang sepuluh kikis oleh sedih.

mengembaralah riyawat piatu ketika ibu pergi

dan kau masih belum laik mengacukan sepatu,

pula lima kehilangan tanpa linangan ketika ayah meregang lengang.

setelahnya kau hanya rajin ke klenteng untuk sembahyang.

orang-orang membangun kemanusiaan, bermula dari keruntuhan batu

dan buta oleh kenyataan. saat seribu tangan memanjang,

menyambung tangan perawat di ruang operasi,

kelumpuhan nenekmu ternyata menyimpan komplikasi dekat hati.

berjalanlah, Tuhan akan memungut jejakmu dengan semangat

dan rasa iba yang ibu

Pekanbaru, 2015 – 2022


Filitinisme
: Oscar Wilde

(Hendry)
sebab dirimu adalah pertempuran batin yang tak dapat tumpas

oleh kanvas, seseorang memanggil da vinci tapi da vinci melukis

melankoli caci maki, seorang yang lain memanggil picasso tapi

picasso melukis abstrak kehancuran mimbar pidato, lalu apa pun

yang mampu dibayangkan pikiran, biarkan sesuatu yang tak

terjangkau menyeberang, mungkin ke tanjung arang

(Dorian)
lingkaran masa depan mencipta seorang di masa depan,

seorang itu  dikabarkan sendirian, berdua dengan kutukan,

bertiga dengan kuburan, kuburan itu adalah lambang rumah

ruhnya yang tak

bertaman dan berteman
————-

kupu kupu murahan, mengibas ekornya yang beracun,

mengenai ujung kelamin lelaki di masa depan: ah,

ternyata di masa depan baju bukan bagian kemaluan

Miral Dj 2014 – 2022


Kindergarten

Black

ia mencintai bulan, mengecup matahari, mengejar bintang,

ia terjatuh di malam hujan, terperangkap mata anak kecil tanpa teman.

Blue

warna bantal ibu, mimpi para perilaku-perilaku lugu,

menggambar tidur, mencoret mimpi,

cita-cita ibu di langit-langit lidah si anak bisu

White

dongeng menjadi surga kapas, lomba terbang ke langit-langit,

beberapa tersangkut kipas angin, gelantungan di sarang laba-laba,

keluar jendela dapur. tapi rengek anak-anak berwajah pupur,

siang malam tak bisa tidur, bikin amarah ibu jadi bubur

Yellow

sepasang mata sapi di atas piring, buku gambar di samping piring,

anak-anak yang menjadikan sepasang pensil jadi sumpit licin,

ayah yang menyuap hening, ibu berbedak kuning,

kakak yang belajar kencing, suara mooo dari dalam toilet

Red

apa golongan darah amuba, anak-anak yang mewarnai pantat kuda,

zebra bermata merah saga, plankton sewarna hemoglobin,

ular pucat berekor merah, kebun binatang dari mulut ibu,

kandang sapi di sepi ayah, tetangga yang pergi mendonor darah

aku pernah anak-anak, tanpa taman kanak-kanak,

tanpa pensil warna-warni, tanpa lolipop, berteman peri-peri,

dari kepala takdir yang migrain.

Kubang Raya, 13 Desember 2021


Tokoh Tokoh dalam Apselog

semula Phusta mendua, rambutnya dibagi tiga,

wajahnya dirias empat, senyumnya lipat lima,

tengah malam di jantung srigala,

ia mulai membenamkan rencana

Myhta berlari ke dalam kelam kurcaci,

dengan membuka langkah terkunci,

disematkannya mata kaki ke mati hati,

di luar masakan dapur.

Korkhena tetap buta dengan wajah merah bata,

lidahnya lima pilin suara

yang lincah bagai teluh, ular dari rahim bunga

yang memasang sayap kupu-kupu

Abusia, seseorang memanggang sembab celana

di celan senggang senggama, kepala berdarah

bercak kasta, seperti jarak cinta dan aritmatika.

Pekanbaru, 2015 – 2022


Muhammad Asqalani eNeSTe, kelahiran Paringgonan, 25 Mei. Adalah Pemenang II Duta Baca Riau 2018. Menulis dan membaca puisi sejak 2006. Puisi-puisinya dimuat di pelbagai media cetak dan online. Bukunya yang berjudul doksologi memenangkan lomba buku fiksi tahun 2019. Ia tengah menyusun buku kumpulan puisinya yang kesebelas dan keduabelas He Jia Ping An dan Ikan-ikan Pikiran Mati. Mengajar kelas puisi online di KPO WR Academy dan Asqa Imagination School (AIS). Aktif di Community Pena Terbang (COMPETER). Instagram:  @muhammadasqalanie. Youtube: Dunia Asqa.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *