Bunga-Bunga Kepalsuan
1/
Senyum. Senyum menggoda
Seribu like – love; komentar
Sunyi. Hambar – ambyar,
dari balik layar
2/
Silikon – dada ranum
Parfum parisien – harum
Tag harga di panggal paha
Surga plastik; gimik
3/
Ketika layar dimatikan,
realita menjadi bayangan
Fantasi lebih sejuk dari udara
– fatamorgana
Brussel, 2020
Raksasa
Untuk sarapan, aku makan
Satu macan Sumatra
Dua orang hutan
Siang, hidangan pokok
Sup penyu tiga mangkok
Empat paha komodo
Lima burung maleo
Untuk cemilan,
Enam keripik cendrawasih
Tujuh ekor corak merak
Untuk makan malam,
Delapan badak bercula
Sembilan anoa
Sepuluh primata
Aku raksasa
Perutku besar, selalu lapar
Bila semua tiada, nanti
Akan ku makan temanku sendiri
Brussel, 2020
Pembaca Buku
Pembaca buku budiman
Mengeja diksi seperti firman
Manggut-manggut mengamini
Menghela napas, sesekali
Pembaca serampangan
Memakan mentah kata serapan
Terdecak pada yang wah-wah
Tak mengerti makna – arah
Pembaca buku rakus
Menguliti bacaan haram
Mencari surga di lubang tikus
Remah ilmu, gula dan garam
Bukan pembaca apa-apa
Makan, tidur, kerja, berdoa
Hidup, bergelut, tua, dan mati
Terkubur dalam kenaifan hakiki
Brussel, 2020
Generasi
Kakek buyutku seorang pejuang
Merebut kemerdekaan dengan berperang
Badannya kecil jiwanya garang
Melawan Belanda mengusir Jepang
Kakekku, tentara nusantara
Menyatukan Aceh hingga Papua
Badannya sedang jiwanya berceruk
Agung dalam remang masa kemaruk
Ayahku, punggawa negeri
Penegak reformasi dan demokrasi
Badannya lebar jiwanya rentan
Jatuh bangun memilah teman dan setan
Aku seorang pemimpi – tech savvy
Atau, pecundang di era desrupsi
Badan datar jiwa hambar, pemakan kuota
Entah kemana kubawa Indonesia?
Brussel, 2020
Pemberontakan Samudera
Poseidon mulai murka
Kau racuni anak-anaknya:
Sungai, Danau, Rawa, Parit,
megap-megap meregang sakit
Parit makan sampah
Rawa minum limbah
Danau tercemar merkuri
Sungai teracuni
Banjir, tsunami, gempa bumi
Kisah klasik anak-anak negeri
Brussel, 2020
Negeri Pelaut
Ini cerita negeri pelaut
Nenek moyangnya bukan penakut
Cucu cicitnya sejati pandir
Merusak alam, tak takut banjir
Analisa demi analisa,
Omong kosong penguasa
Mimpi generasi melambung tinggi
Rumah – pundak basah, tergenangi
Ini cerita negeri pelaut
Negeri besar bukan negeri pengecut
Pandai mengadu benar, adu umpat
Piawai memelintir, lihai melaknat
“Ini keputusan Tuhan!”
– penduduk berhati batu menjelaskan.
Para bijak bungkam dan kecut
Menumpang hidup di negeri pelaut
Brussel, 2020
Patahan Hati
1/
Kenangan tersapu
– voilà. Serpihan pilu
2/
Datang pertanda seperti mata-mata
Berkabar tentang cerita baru
– siksaan subtil; cemburu
Harapan mati. Dimana karma?
3/
Adili cintaku –
jangan adili Tuhanku
4/
Parit di bawah lidahnya
Pernah membawa kapalku pecah
– karam dalam percumbuan
Tinggal kenangan
Brussel, 2020
Menuju Negeria
Para kanibal gentayangan
Menebar seribu satu ketakutan
Bangga! Tertawa menjadi jahanam
Bapak-bapak terkencing
Ibu-ibu dipaksa – bersenggama
dengan mesin pencuci otak
Berakhir bunting; beranak martir
Anyir darah, tubuh berserak
: pemandangan alam
Burung hering berpesta, di atas
Nyawa-nyawa terkoyak
– di Nigeria
Selepas Kepergianmu
Gelisah ini susah payah kubiar
Membiasa bak laku kita
Hening ini kuselami dalamnya
Terhirup indah, nantinya
Segera kusiapkan topeng topeng tawa
Kupamerkan kapanpun kubutuhkan
Bukankah khayalan lebih sempurna
Dari kebenaran dan kenyataan
Pada dingin pembungkus kelam
Selaksa pesan akhir suratan
Perjuangan terlalu rumit untuk diurai
Kita pulang pada keseharian
Meski ada yang tersayat seketika
Pedih, bagai luka diberi cuka
Lalu, sembunyi aku bagai pengecut
Tak sanggup bertemu
Sekedar menatap wajahmu
Takut aku,
Mengulang kebodohanku
Kembali jatuh hati padamu.
Brussel, 2020
Mea Culpa
Sejak samar jejakmu di telan ombak
Hanya punggung samudera yang tampak
Berisik dedaun kelapa melambai getir
Berdansa melankoli di peluk angin pesisir
Merpati telah pergi, meninggal janji
Tak paripurna; langit tak lagi berpelangi
Perjalanan sentimentil membekas di pasir
Hitam legam terbakar mentari takdir
Meski pada titik awal, merujuk padaku
Penyebab tunggal sayatan pilu
Tragedi patahan sayap merpati
Penitik prahara menderai dua hati
Aku, mimpi buruk
– bergaun bunga-bunga
berenda pelangi merona
ribuan lamunan mata terbuka
pemintal desir candu berbenang luka
Mea culpa, mea culpa maxima
Brussel, 2020

Naning Scheid, lahir di Semarang, 5 Juni 1980. Penulis dan Pemain Teater. Penyuka kerupuk gendar dan wisata budaya. Pengajar di Fakultas Bahasa Inggris UPGRIS sebelum meninggalkan Indonesia. Aktif dalam kegiatan sosial kemanusiaan di Belgia. Sarjana Pendidikan Universitas PGRI Semarang dan Sarjana Manajemen Sumber Daya Manusia CEFORA Belgia. Berkebangsaan Indonesia. Tinggal di Brussel sejak 2006. Menulis opini, puisi, dan cerpen diScheid.be, Medium.com, Wattpad.com, Kliksolo.com, Basabasi.co, Pos Bali, Buletin Pusat Kependudukan Perempuan dan Perlindungan Anak – Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas PGRI Semarang.
suka pusinya