Aku Tak Ingin Kelak Istriku Diberi Makan Puisi
Tampaknya aku harus bangkit dari kemurungan kata
sebab hidup tak bisa hanya berdiri di atas pundak puisi
aku harus berjalan–mencari hidup yang lebih hakiki
dari hakikat bahasa.
Karena aku adalah lelaki yang kelak tak akan sendiri
dan kodrat hidup memang tidak untuk bersepi-sepi
esok pasti akan berpasang-pasang hati.
Maka kuselingkuhi puisi sebagai istri simpanan hati
sementara kini aku tiba saatnya mencari
puisi yang lebih nyata dari buah imajinasi.
Biarkan penyair mencaci –aku bukan pemuisi sejati:
hidup-mati mengeloni puisi–ke barat ke timur hanya
berduka-luka memakani hidup dengan sepiring kata hati.
Tidak, aku tidak ingin kelak istriku diberi makan puisi
di saat hidup tiap hari menghadirkan kekurang-kekurang
yang tak dapat dicukupkan hanya dengan selembar puisi.
Karena puisi bukan uang yang merenggut segala
kamewahan dunia. Karena puisi bukan ladang
perkerjaan yang menghasilkan emas dan permata
karena puisi bukan kebun uang yang menghasilkan
kekayaan.
Namun puisi hanyalah gedung-gedung kenangan:
museum bagi tubuh-tubuh kesedihan bercerita
kelak tentang penyair yang belajar mengekalkan
hidupnya dalam kata.
2019
Berkali-kali Aku Dipermalukan
Berkali-kali aku dipermalukan
oleh perasaan. Aku ingin tahu kini
seperti apakah wujud perasaan?
Apakah ia seperti durian: kulitnya
bertaburan jarum kejahatan–namun
hatinya banyak mulut merindukan.
Namun kukira perasaan bukan buah
untuk dimakan, mungkin ia semacam
makhluk halus: gentayangan datang
dan pergi meletakkan rasa cemas dan
takut dalam hati.
Berkali-kali aku dipermalukan
oleh perasaan. Jujurlah Tuhan
apakah engkau perasaan itu?
Sehingga berjuta-juta manusia
memberhalakan perasaan dalam
kuil-kuil hatinya. Sementara aku
menjadi korban kejahatannya.
Berkali-kali aku dipermalukan
oleh perasaan. Saat ini aku ingin
tahu seperti apakah sifat perasaan?
Ataukah seperti ludah lidah para
politisi: bermanis-manis perasaan
di depan kerumunan orang, demi
melancarkan mandat mimpi-mimpinya
menguasai dunia.
Tidak, perasaan tak sejahat itu, mungkin
ia sebaik rindang pohon kasih-sayang ibu
menaungiku dari hujan godaan kehidupan.
Berkali-kali aku dipermalukan
oleh perasaan. Berapakah harga
perasaan penyair di tangan seorang
perempuan?
2019
Aku Ingin Tidur dari Bayang-Bayang Kenyataan
Aku ingin tidur dari bayang-bayang kenyataan
bila selalu kesepian merawat usia–kesedihan
memakan hari-hari tak tersisa.
Namun apakah hidup ini?
apakah dengan mengumpulkan harta
hidup mewah berbaju emas dan permata
sudahkah dikatakan hidup.
Bukankah kitab penciptaan sudah bersabda:
hidup datang dari kekosongan dan pulang pula
pada celah kekosongan.
Kecuali, hanya hati akan
berisi keranjang buah pahala, jikapun aku punya
pohon kebaikan di sini.
Sungguh aku ingin tahu rahasia kenyataan?
atau mungkin aku sekadar bayang-bayang
yang ingin hidup menjadi makna kenyataan.
Namun apakah kenyataan itu sendiri?
jika makna kenyataan adalah kehidupan
barangkali kenyataan itu: makan enak,
hidup mewah dan mati istimewa.
Lalu untuk apa kenyataan diciptakan?
jika tidak digunakan sebaik-baiknya
untuk memperbaiki tingkah-laku duka
kehidupan.
2019
Lima Adegan Mawar layuku
/1/
Mawar yang kutanam dalam hatiku
ternyata telah kehilangan harumnya
dan keagungan tubuhnya telah memudar
tercuri oleh kenakalan masa lalunya sendiri
sungguh kini aku seperti menanam biji busuk
di ladang asmara.
Ke mana lagi harus kucari bunga mawar yang lain
dengan keharumnya yang masih perawan. Namun
bunga yang kumiliki ini telah bersumpah mati
siap menjadi pewangi rumah-rumah hariku–
kamar-kamar hatiku.
Namun setelah kubaca-baca lagi buku kesadaranku
sangatlah bimbang menjadi lelaki sepertiku
hanya menjadi pemakan roti dari sisa-sisa kunyahan orang lain
namun jika perasaan sudah berkata dan cinta
makin sakit jiwa, tahimu pun akan menjadi
mawar di tanganku atau tubuhmu kekal perawan
dalam puisi-puisiku.
Bahkan ludahmu akan menjadi gula di pangkal lidahku,
sebelum kutelan dan menjadi racun resah yang menyebarkan
virus-virus penyesalan sejauh usia berjalan ke batas paling nyeri.
/2/
Siang ini di tengah ladang-ladang waktu yang gerah
kau taburkan manis biji-biji janji: berharap tumbuh pohon kenyataan
esok hari. Aku pun hanya mengangguk dan kurang mengerti
sebab setelah kuperiksa jantung masa lalu dan kata-katamu
terlalu banyak ular yang melingkar dan mematuk janji-janjimu sendiri
menjadi sekadar ilusi.
Namun aku tak perlu tahu seberapa tinggi tiang hatimu
menjunjung pengharapanku menembus kabut kenyataan
dan mengibarkan bendera kasihmu padaku di mana-mana.
Karena kamu hanyalah bunga mawar yang kehilangan
kesegarannya di tiap-tiap pagi seorang lelaki.
/3/
Malam ini kau berlagak gila dan membuatku sakit jiwa
kita bercakap-cakap tentang rahasia keagungan yang
dimilik tubuh manusia. Sambil kau bertanya-tanya mengenai
kebutuhan mendasar dari seonggok daging yang mulai
menegang dalam sarung kesepianku–sampai-sampai kita
melupakan kecantikan malam dan mengabaikan buah-buah
detik yang jatuh dari dahan menit di pohon waktu yang
hampir tumbang ke sisi jalan Subuh ini.
Pada akhirnya bunga mawar yang kehilangan keindahannya
sebelum menciptakan malam pertama di masa depan cinta bersama
berkata: “sayang, aku sudah tak tahan ingin meninabobokkan
anak-anak libidoku yang mulai sekarat menerjang meradang ini
sebelum aku gila dan jatuh pada kenikmatan yang salah kaprah.”
/4/
Pagi ini kau buka mata pagiku dengan api pertengkaran
yang tak kungjum padam ini. Kau nyalakan lagi api-api
masa lalu dalam kata, janji-janji yang berdebu dan kenangan-kenangan
yang kan menjauh. Seiring kita saling membunuh diri sendiri
demi sebuah kebenaran dan kerendahhatian perasaan.
/5/
Mungkin inilah puisi penghabisanku untuk mengekalkakan
separuh hikayat masa lalu dan masa depanmu.
2019
Malam-Malam Jahanam
Kutepikan diriku pada kata
Menyemai kembali luka sunyi
Di ladang-ladang cerita
Sebagai pesta pora hatiku
Yang dikucar-kacirkan
Perasaan nestapa.
Selalu di tepian malam gelisah
Kuseberangi waktu-waktu lara
Sampai kutemukan diksi sepi
Menari-nari dalam puisi.
Sudah lebih puluhan kali kukayuh
Jiwaku dengan wajah murung
Di tengah-tengah kampung
Yang sering di kutuk rasa sepi ini.
“Ke manakah orang-orang?”
Kesepianku berucap sesering
Mungkin ketika malam melampaui
Batas keramaian. Sungguh sunyi
Adalah bayi yang terluka, perih
Merintih dipangkuan ibu waktu.
Apakah karena orang-orang pagi
Menamakanku sebagai mata malam
Sehingga aku asing dan tenggelam
Di kebutaan mata orang-orang siang.
Maka dengan tekat sebulat biji mata
Kucari-cari kesenanganku dalam kata
Karena hanya dengan kata utangku
pada resah, sepi dan kegelapan terlunaskan.
2019
Kurayakan Kepergianmu dalam Puisi
Dan kau cukup tahu; bahwa usiaku terpotong-potong kehampaan
Menjadi bagian-bagian kenangan busuk dalam sakit mengenangmu
Sementara jiwaku makin runyam menerjemah tangis hatiku
Karena tak jelas mengapa padamu air mataku terus melaju.
Di kampung aku sudah kehilangan keteduhan angin dan pohon-pohon
Padahal kampung adalah sawah untuk menanam pikiran yang ruwet
Atau hatiku yang sulit menahan sakit kepergianmu
Walau sudah tak jelas bening wajahmu dalam cermin ingatanku.
Namun kau tak perlu tahu kondisi perih tahun-tahunku yang malang
Dan menjalang selama ini. Karena kau bukan lagi bagian dari tulang rusukku
Kau cuma sekadar objek dari air mataku yang terus melaju
Dari hati ke puisi dari puisi ke abadi.
2019
Berseberangan Keinginan
Jangan tanyakan padaku, lebih luas mana rinduku
Padamu atau harapmu padaku kembali ke kota kata
Sesungguhnya kerinduan kita sama-sama luas, kawan
Namun masih ada batas-batas keinginan yang mesti
Kita seberangi dalam jarak berjauhan ini.
Mungkin kau mencintai kebisingan kota
Yang dicipta oleh bibir-bibir manis para penyair
Namun aku lebih mencintai kesunyian kampung
Untuk meruang-raungkan kesedihan dalam puisi.
Perbedaan itulah yang membuat kita saling berseberangan ruang
Namun jangan cemas dan ragu, kerinduan kita harus takzim
Pada serajut keinginan lain yang tumbuh dari rasa nyaman.
Karena perpisahan itu fana –yang abadi hanya perjamuan jiwa.
2019
Ceracaun Ketidakwarasan 1
Saat ini aku duduk tapi melayang
ingin berdiri tubuh bergelombang.
Aku mungkin kemalingan kesadaran
aku kehilangan rasa hatiku
aku kehilangan anak akalku.
Siapa aku kekasih
aku anak siapa.
Bila masih aku hidup
tapi mengapa aku merasa mati
wajah semesta mengabur dalam tatapanku
mata-mataku kelabu menatap mata-matamu
mungkin aku kini adalah bayangan kegelisahan
yang tengah berjalan mencarimu
dalam hutan-hutan kerinduan
dalam semak-semak kehilangan
dalam goa-goa kegilaan.
Aku mungkin terlalu banyak menegak air mata
sehingga aku mabuk melangkah: dari sepi
ke nyeri lalu berhenti pada batas paling puisi.
Bahkan dalam resah jagaku saat ini:
aku berjalan namun jiwaku berdiam
aku bergerak namun ruhku mematung
aku tertawa sendiri namun ada yang
menangis dalam mataku.
Siapakah yang menangis dalam hatiku
siapakah yang merasa hina dalam jiwaku
tidak lain adalah engkau kekasih,
engkau kasihku.
2019
Ceracauan Ketidakwarasan 2
Kekasih, kini aku akan berjalan sendiri
berjalan mencari kesenyapan inti sari hidup ini
setalah itu aku ingin berbicara pada maut
perihal hidup dan mati kapan menjemput.
Jika rindu padaku kekasih, carilah aku
di sepanjang jalan Malioboro. Lalu carilah
wajahku di antara wajah seniman, penyair
gembel, pengemis dan orang gila. Di
tengah-tengah penderitaan merekalah
aku bahagia mengawani kesedihanku.
Maka temuilah aku orang-orang yang mungkin
masih merindukan tawaku, kemurunganku dan kematianku.
mungkin ingin kirim salam rindu pada tuhan,
atau pada kerabat kalian yang lebih dulu menjadi nama
kenangan di batu nisannya.
2019
Ceracau Ketidakwarasan 3
Sungguh aku lupa waktu
lupa diriku
siapa aku
sekarang dimanakah aku.
Masihkah aku hidup
atau perlukah masih
hidup butuh padaku.
Sepuluh jam hatiku
kesetanan rasa sedih kekasih.
Namun kau hanya sesegukan
dalam mimpi-mimpi tiap malam
di saat lari dari hujan ceracaun
ketidakwarasanku.
Sungguh kau tahu, kekasih
berjam-jam aku menjadi telepon genggam
demi suara serakku dapat menghubungi
hidupmu –namun kau malah tolak mentah-mentah
sebelum suaraku sampai dan menumpahkan seribu
air kemaafan di telingamu.
Sungguh betapa cemasku
sia-sia –cintaku
mati rasa –rinduku
sakit jiwa.
Barangki kini aku telah kehampaan mengingat
asal-usul hidupku:
dari bahan apakah hidup tercipta?
Bila dari api
mengapa aku tak mampu membakar
daun-daun kecemburuanku padamu.
Bila dari air
mengapa aku tak mampu menyucikan
kain hatimu dari debu-debu curiga padaku.
Bila dari udara
mengapa aku tak mampu melumat asap-asap
pikiranku tentang dustamu yang manis lalu.
Bila dari tanah
mengapa hatiku tak subur menumbuhkan
pohon-pohon kesabaran–rumput-rumput
keikhlasan mencintaimu tanpa musim pertekaian.
Bila rumah-rumah pikiranku
terus-terusan kedatangan tamu-tamu rindu
dari seribu kota kenangan tentang cintamu yang sekeras batu.
2019

Norrahman Alif, lahir di Jurang Ara, Sumenep. Menulis puisi dan cerpen di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta ( LSKY ). Beberapa karya saya bisa dinikmati di: Media Indonesia, Tempo, Republika, Kedaulatan Rakyat, Pikiran Rakyat, Suara Merdeka, Solopos, Minggu Pagi, Radar Surabaya, Merapi, Magelang Ekspres, Bangka Pos, Radar Cirbon, Koran Madura, Majalah Simalaba, Analisa, Rakyat Sultra, Banjarmasin Post, Padang Ekspres, Lampung Post, Fajar Makkasar dll.