Bayi-bayi Pabrik
Jam makan siang milik perempuan
dihimpit ruang pabrik yang sesak menekan ubun-ubun
dan bau peluh dari ketiak-ketiak buruh
di gedung sebelah karib-karibnya menjerit
sambil melucuti celana yang penuh air ketuban
pecah, sungsang, buka empat pendarahan pula
tak ada tanda atau bunyi, tak ada ambulance
di jam makan siang yang terik menyengat tubuh
bayi-bayi pabrik menangis kencang meratapi nasib ibu
bayi-bayi menahan lapar di masa harga susu naik tajam
dan buruh perempuan tak dapat cuti bulanan
tak boleh menuntut atau minta jatah tunjangan
di jam makan siang milik perempuan
hanya bungkaman.
21 November 2020
Tasminah
Subuhmu lepas pesat
ditawan keranjang-keranjang tahu mentah yang getir
seperti laku sepuhmu
kau tinggal sembab di depan pawon
menakar terigu dan kacang tanah yang kehilangan kulit
dan kau kehilangan pegangan
masamu lewat diganti keriput tak menawan
di antara dua tungku
kayu bakar yang asapnya membawa sisa mimpimu terbang ke langit-langit dapur
kau koyak dan retak
mirip telur-telur ayam kampung di kandang
hitam pekat dan abu-abu laik masa muda yang sia-sia itu.
22 November 2020
Bocahmu
Dari balik pintu itu
bocahmu mengintip ketakutan
matanya nanar
hanya tangan kirinya bergerak
sambil menutupkan buntalan kaki boneka
pada mulut mungilnya
bocahmu ingin menjerit
melihatmu menggorok bapaknya yang bengis
tapi kau sumpal dengan tangan berdarah-darah
lalu dikisahkan seorang nenek membopong cucunya
menuruni bukit berlari menembus kabut pagi
mencari keadilan di jalan-jalan.
23 November 2020
Kota Muda-mudi
Di kota muda-mudi sengketa cinta bukan tragedi
politik dan hukum kepemilikan bermain fasih
dan semua mafhum, cinta membuat segala jadi buta
lain waktu di kota muda-mudi setia dijual murah
kepercayaan jadi lagu lama yang tak begitu populer dinyanyikan
sebab cinta tak bisa memihak setia dan percaya
lalu di kota muda-mudi yang riuh ramai
semua manusia merasai sepi
kehilangan nurani.
24 November 2020
Jika Tak Ada Orang
Aku adalah aku jika tak ada orang di satu ruang
memakai kemeja, berias dan menari
mengelilingi sudut-sudut peribadatan yang sunyi
seperti bermain di opera
atau menjelma komposer
jika tak ada orang aku menjadi aku
melepas alas kaki dan mengerang semauku
memeluk otoritasku
seperti jasadku
menjelma ruh dan mencintai aku.
25 November 2020
Sepatu Merah
Sepatu merah setengah abad ditikam kusam
keluar dari kardus pitanya
meraih tubuhku
seperti tukang pos meminta bayar beberapa ribu
ongkos kirim dari sepersekian
dimensi waktu
Rasa-rasanya kau reinkarnasi
mewujud Laksmi reformasi ikut meledak
ndakik-ndakik di kejauhan pantang padam selintas jalan
Sepatu merahmu menggoda mata-mata jalang manusia
yang dipikat kehilangan tubuh pongah melulu
menutub aib-aib, mengumpat
Apa kaki bersih mendadak complong?
sebab sadar rupa kaki tangan berakal kosong
berkah kaca, cermin-cermin mengganti posisi.
Desember 2020.
480
Delapan hari
480 mayat siap angkut ke liang
aku bersama seluruh jenazah
tanpa tangis pecah sanak kadang
di samping pembaringan
kulihat liang-liang lain beku
menyerupai wajah peti-peti yang segera ditimbun
ditutup gundukan tanah merah aroma fanbo
aku rebah di hadapan giliran sekian
waktu gerimis membengkokkan hasrat
pendoa yang panik
kami disilakan bergegas turun
membenamkan jasad, menyelamatkan ego.
21 Januari 2021
Pokping
Satu tandan pokping
disisir per biji menunggu tengkulak
pohon terakhir menunggu ajal sepertiga siang yang mamang
Hujan tak jadi hujan
tapi mendung membawa resah
petani-petani menjemur calon nasi menimbun jatah jagung basah
Hujan tak hujan nasib pokping setandan mesti lunas
ditukar pindang atau teri kawat, “harga jatuh, tak mungkin daging.”
tak butuh daging buat mengupaya hidup
Satu tandan menguning
di teras menanti jodoh setengah hati
pada pembeli yang meriang, minta selirang
21 Januari 2021
Ada Jasadku di Sampingmu
Sangkar-sangkar diisi penuh jaring laba-laba, sisa belulang serangga
kursi rotan di teras belakang keropos
burung-burung menyisakan bulu di rumah kosong
tapi nyala lilinmu abadi
bertahun-tahun kau melewatinya
melayat pada pinggiran kota yang lusuh
mengubur anak-anak yang tergilas truk-truk
mengabadikan potret tikus-tikus
menyemburkan isi perut dibakar aspal dikubur debu jalan
sampai sirine meraung menemukan aku
di sebelah jasad dan ruhku yang pengelana mengendus maut.
24 Januari 2021
Gimah
Di masa ketiak Gimah mengeluh
pagi-pagi mendadak gerah dan lengket
empat puluh lima kilo bukan soal jarak dan waktu tunggu
tak banyak desing angkot memburu tubuh
orang-orang yang jenak di pinggiran
sebab kaki-kaki bapak tempat bertumpu bermain
kendang kentrung sepanjang terik menyongsong kuasa recopentung
momenmu usah diulang-ulang
pelagu babad tanah jawa, walisongo, nabi-nabi
seorang belia ngentrung bareng bapaknya di lintas kota
tak banyak desing angin menjamah tubuh
orang-orang yang lupa musim dan tanah ibu
dan kaki bapak tak kokoh lagi menyokong cerita-ceritamu
kau, berjalan sorangan
tapi kelak namamu dihiraukan, mbok Gimah
si tukang kentrung pemikul laju mula amanah
pengantar tuntunan yang terseok-seok tontonan.
29 Januari 2021

Rizka Hidayatul Umami, lahir di Tulungagung. Sedang menyukai sastra dan isu-isu perempuan. uku pertamanya berjudul Dongeng Rukmini (2017). Bisa disapa lewat instagram dan twitter @morfo_biru, juga facebook: Tacin.