Lelaki yang Memilih Jadi Musafir
lelaki itu seperti burung membumbung tanpa restu
meninggalkan jejak-jejak tanah, meninggalkan peluh
tak terhitung jumlahnya. tak terjumlah hitungannya
:guru, lihat langkahku, minggat meninggalkan cahaya
agar bisa kutahu bedanya malam dan siang!
kalau aku hanya merenung dan membakar dupa di bawah hayat itu
tak akan pernah kutahu segala tipu daya,
tak akan pernah mataku awas menafsir suka dan luka!”
lumut-lumut selalu tumbuh di tempat paling keras dan basah
justru membuat segala kaku yang tegang jadi lembut
justru di rahasia segala fana bisa ditakwil segala pengetahuan
“guru, kau boleh melaknatku sebagai murid paling durhaka
tapi bukankah kau pernah mendongeng: tak boleh kau pasrah
pada rajah tapak tanganmu sendiri.maka, restui aku memilih musafir
berjalan menempuh apa saja, barat utara-timur tenggara
memilah rahasia kutuk dan pahala!”
2019-2020
Pagebluk (5)
jalanan lengang. amat lengang
hanya sinyal-sinyal kematian terus mendenging
dan mendengung hingga batas paling utara
jalan-jalan lengang. terlampau lengang
lamat-lamat arak-arakan prosesi
mengantar jenazah ke liang lahat
hanya berbelas orang berjalan
merunduk bisu menatap debu dengan cemas
:”jangan-jangan jejaknya memburu ke arahku!”
di tepi paling utara
segala hasrat membumbung ke langit
seperti sekawanan burung menggelepar
sebelum rontok jadi bangkai
hasrat pun tinggal dengus napas
hanya berbilang sampai hitungan kesembilan
di batas paling utara. melintasi jalanan lengang
prosesi arakan jenazah tunduk merunduk murung
menghitung sunyi yang menyisih
: aku, kau, kami, kalian
tak sanggup bicara apalagi bercerita:
lintang kemukus merayap pelan dan khidmat
menuju hari sampai pada badai gelapnya.
2020
Riwayat Kota Mati (2)
kami berjalan menunduk tersuruk-suruk tanpa sandal
diburu malam yang jadi waktu paling abadi
melacak penanda alamat rumah-rumah kami
: “ah, ini kota atau belukar!
atau cuma tanah lapang tanpa pohon, apalagi papan!”
kami berjalan lagi. menunduk tersuruk-suruk tanpa sandal
menuju entah. mungkin menghilir ke arah bilangan nol
dan dengus angin lantang menuding: “sembunyi. sembunyilah. di kolong ranjangmu!”
kami berdiri capek dan lunglai. kami tak bisa ke mana-mana
pasrah pada malam menyergap dan menyeret ke arus gelap.
2020
Wangsit Langit
apa yang kau tebak dari warna langit yang menderu itu?
seperti teka-teki tempat tanpa peta yang khianat kepada pagi dan secangkir kopimu
bisakah warna itu membuatmu menggeremangkan larik-larik puisi octavio paz
serupa kau tembangkan suluk-suluk keramat yang disingitkan waktu?
mungkin dalam heningmu, warna-warna berubah hanya jadi kelabu
seperti bayang-bayang remang masa lampau yang melambai pada sejarah
langit tetap menderu dengan isyarat-isyarat warna
engkau pun bersila serupa samadi
namun hanya gumam-gumam nglindur yang nyinyir
dari mulut para perempuan yang hanya sibuk berpupur.
2020
Suluk Hitam Musafir Majnun
I
Demi musim. segala musim. segala kemarau. segala rendeng
biarkan aku berjalan, walau gontai menakik tanda melacak sangkan paran
keleluasan jiwa seperti saat cinta nglangut di teduh sore
lantas menyuruk di kepongahan pekat malam.
Pucuk-pucuk ranting tanpa daun menjulang menyodok langit
: Duhai, segala rahim adakah engkau tempat segala misteri raib
lanskap jalang semua kutuk dan nujum berkejar-kejaran.
Di situlah semua jadi serupa berdesak dan berduyun-duyun
menuju takdirnya yang terlepas dari kitab rahasia lantas dipahatkan
di urat-urat telapak tangan kiri
II
Inikah suara yang masih pantas dihikmati
ketika sabda-sabda mawar direngut kemarau
dan ulat-ulat bulu menggerogoti taman lembut di hati
suara dan musim susut pelan seperti usia kisut
: oo, keluasan jiwa masihkah bilikmu menyimpan teduh puisi?
Segala batang kehilangan ranting, julangnya menyodok langit
namun rahasia itu tak pernah berkabar
suara-suara tak lagi bangkit, mefosil seperti sedimen bahasa
pun segala lambang beku serupa mayat.
: ooh, rahim-rahim tak lagi mengenal kata
hanya dijejali jasad lapuk yang tegak dan jalang!
III
nun, di pagina-pagina sebuah kitab yang konon keramat
tersebut sebuah nujum yang sakral tentang kristal-kristal bercahaya
bintang-bintang berkejaran memburu masa depan yang dicerai masa silam
tanpa bunyi yang telah mengkhianati suara
di sanalah ufuk maut menelikung dalam malam
: ooo, lihatlah takdir itu berduyun-duyun menyergap.
Siapa bakal ikhlas melepaskan fana?
Siapa akan melepaskan doa-doa ke langit?
Tubuh-tubuh kehilangan lembutnya
mulut-mulut mengulum tenung
bintang-bintang gemetar ketakutan
takluk pada tiang aurat yang tegak menjulang
semua pesona ambruk perlahan surut dalam liang lahat.
IV
Tubuh seperti sebatang rokok
lambat laun pelan kehilangan ujungnya
dihisap abu. lantas bertaburan ke segenap arah
seperti jejak kaki seorang nabi melacak kekasihnya
di pesisir-pesisir dengan gontai kepiting
berjalan miring menyuruk pasir
: hai, musafir bukankah kau tak perlu untuk kembali pulang?
Segala arah memburumu, namun tak ada musim panas
di punggung gerimis maut bersijingkat mendekat
: adakah sesuatu yang masih punya makna?
Musafir ini, merasa tubuhnya dibangkitkan kembali
konon seperti asal mula lempung yang dibentuk
sehingga mengembang muler mungkret
Lempung ini sekarang dibebaskan dari segala kutuk
dan siksa kubur menjadi duta yang mi’raj dari kedalaman hati
menuju ke arah kelam yang tak terbaca
: selamat jalan, duh ruh yang dilepas raga!
V
Tak kemana-mana. ini bukan jalan itu
hanya ceruk rongga waktu menyedot malam ke dalam kelam
maut.nafsu.berkejaran.berkilat-kilat mendekat dekap
tubuhku menggigil, fanaku pelan merintih
: di mana puisi?
aku ingin membacanya lantang-lantang!
Tak ada yang tahu. tak ada jawab
cuma pilu mengundang kenang
dunia mendadak meruah pesta
dan kureguk saja melupa jeda
VI
Telah semua kureguk segala.tuntas
segala duka. segala luka. segenap lalai
: ooo, mana lagi hitam yang kucecap?
(Ngawi, Februari-Maret, 2020)

Tjahjono Widarmanto, tinggal di Ngawi. Buku puisinya: Kubur Penyair (2002, Diva Press:Yogya), Kitab Kelahiran (2003, Dewan Kesenian Jatim), Sejarah yang Merambat di Tembok-Tembok Sekolah (2014, Satukata:Surabaya) dan buku lainnya.
Keren, luar biasa like this