pulang ke haribaan pelukmu
lalu di mana muara bagi segenap kembara,
bila tak henti di haribaan pelukmu?
seluruh liku jalan yang kutapak bagai lorong
bercabang banyak — gelap nan basah.
dinding-dinding yang kuraba dengan terbata,
hanya menuntun tatih langkahku
pada kegamangan-kegamangan baru menggapai cahaya.
kecemasan kerap jadi batu, mengantuk
sepasang kakiku menujumu, menujumkan segala rindu.
sambut aku, kasihku. sambut aku serupa
kuntum bunga-bunga seroja yang memekarkan diri,
untuk mencumbu jamah matahari.
pagut bibirku dan lampiaskan gelegak birahi.
peluk erat kesepianku, seakan esok adalah hari terakhir
bagi kata-kata, untuk menulis riwayat kita.
lalu kita hikmati setiap lenguh napas dan desah cemas.
setiap inci sentuhan dan jengkal kemabukan.
bayangkan ini perjumpaan sebagai pungkas pelayaran
: kita arungi samudera birahi, kita garami luka-luka dalam diri.
hingga gelap juntaikan tirai, kita tetap baku-dekap,
melihat malam yang sekarat lumpuh-terkulai
— di atas sepasang tubuh kita: tubuh penuh cinta, yang belia!
2021
pagi yang monokrom #1
di stasiun, menanti kereta tiba, kusaksikan peron kebak
para calon penumpang, mencangking kecemasan masing-masing;
hilir mudik para porter mengusung sejumlah koper,
raut-raut kusut; dan kantuk yang berjelaga di pelupuk mata
adalah komposisi di suatu pagi yang miring.
sejumlah orang duduk mencangkung, selebihnya berdiri mematung,
dan sesekali, melongok ke arah kereta tiba
— walau yang mereka temu, masihlah kekosongan belaka.
sepasang burung gereja menisik bulu di punggung besi tua,
kemudian melenting ke pucuk ranting pohon trembesi.
pagi yang monokrom, cuaca sedingin logam,
dan langit yang muram, seperti wajah resah yang menunggu,
lalu menangis dalam ritmis rintik gerimis itu.
kenangan merambat di antara rel-rel kereta, pipa-pipa tua saluran air
karat dan menggigir, kaki-kaki kursi dan wajah-wajah lesi
yang jemu menanti. sabar pun perlahan pudar,
pada detik-detik yang gusar. “ya. kita memang gampang tergesa,
dan acap tak sadar, bahwa dalam gegas, kerap memicing mata nestapa.”
lengking kereta terdengar dari jauh, memecah gelisah
yang kecamuk dalam dadaku. fajar gemetar di ufuk,
orang-orang berhambur menuju pintu masuk. dan aku,
masih pula berdiri, merunduk, merapal doa keberangkatan,
memanjat mantra-mantra keselamatan, “betapa kita kerap lupa
untuk senantiasa awas dan was-was pada segala, sebab pada setiap
hitam-putih kemungkinan, selalu tersimpan waktu-waktu yang rawan!”
2021
pagi yang monokrom #2
“angin apa yang telah sampai membawamu kemari?”
mungkin angin purbani, yang bertiup lembut
dari dengus napasmu dulu. ketika jari-jarinya
menyentuh kulit jangatku, ia tumbuh menjelma badai.
aku, sehelai daun ringkih, kasih, yang ingin tanggal
dan merebah di dadamu yang tandus.
biarlah waktu dan cuaca, musim-musim yang itu juga,
meleburkanku, dan aku akan merupa humus bagi benih-benih kata,
untuk tumbuh memutikkan kuncup-kuncup bunga.
ujarku pada suatu pagi yang monokrom, ketika kusaksikan
sehelai daun getas di selasar peron jatuh-meranggas
diterpa angin bulan november. kurapatkan kerah kemeja,
kukancingkan buah jaketku, kota ini sedang dingin dan berangin, cintaku;
waktu-waktu riskan bagi tubuh yang minim dirahmati pelukan.
perjalanan, barangkali, hanya berkisar pada kedatangan
dan keberangkatan. siapa yang bakal tiba lebih dulu,
cumalah masalah waktu. karenanya, aku ingin kaumenungguku,
di puncak bukit mahasakit, di mana luka telah menyalibmu.
akan aku congkel seluruh kesepian yang telah memaku sepasang lenganmu.
dari jendela sembab-berembun, mataku memandang ngungun
ke titik jauh: hamparan sawah bagai wajah yang tengadah,
dangau-dangau di batang pematang seakan melambai pada pikiran
yang capai dan sangsai, sungai mengular membelah kini dan kiwari,
rumah-rumah berbanjar sepanjang bantar rel kereta api,
pohon-pohon berkelebat ke arah masa lalu: ke arah yang tak pernah
terjangkau oleh genggamanku. segalanya hanya bisu.
bahasa menghilang dari tubuh orang-orang. langit kelabu di luar jendela
seperti ingin memuntahkan banyak bercerita. buku puisi yang kubaca
membentangkan sejuta rahasia. dan hujan pun turun. dan jagad pun basah,
menyentil sisi sentimentil dalam tubuh kerontangku. dan kuyuplah sekujur ingatanku.
2021
hal-hal yang masih mengendap
di sprei motif bunga mawar
rintih dan lenguh, hasrat dan peluh
masih mengendap di sprei motif
bunga mawar, juga di dinding-dinding kamar,
yang kusam dan memar.
sekalipun kini, malam-malam telah jadi asam,
dan sepi, harga yang tak dapat lagi
ditawar-tawar. selalu ada
yang tak akan pernah kuasa kauhapus,
pula oleh telapak tangan waktu: ialah segala gebu nikmat
yang sempat menanam geletar dalam ngilu
sendi-sendimu. gigitan-gigitan kecil bagai jarum-jarum
morphin, menyengatkan semacam gigil yang lain.
tidur meringkuk memeluk diri sendiri,
kaukenang kembali sesuatu yang telah jadi ganih;
ingatan-ingatan yang perlahan malih menjadi buih
: lingerie berenda yang masih lekat di indera peraba,
serta sejumlah kerling nafsu yang pernah memantul
di mata manik-maniknya, seakan menjelma
lembut mulut yang mengulum seluruh kesedihanmu
— sampai ke pangkal batangnya.
2021
interlude
/1/
kau kerap gagal di hadapan sesuatu yang krusial.
semisal, melangkah tabah dan bersiap tanggal,
ataukah tugur, dan terus memilih tinggal
— meski barangkali, kau paham benar,
dingin itu telah seumpama api biru,
yang membakar harapanmu menjadi abu.
/2/
menangislah, cintaku. menangislah seperti gelegak ombak
melampiaskan dendam pada daratan.
air mata akan membuat pandanganmu jernih kembali,
sehingga kau dapat melihat:
betapa setia dan khianat gemar bertukar tempat.
segala yang lekang akan kautemu ulang
kelak di ujung tualang. sebab, di hadapan cinta yang remaja,
kita semua pengembara belaka.
/3/
kau (pun aku) mungkin kerap keliru menaruh prasangka.
sebagaimana kita sedang berenang
di sebuah tepi, lalu tergesa menyebutnya menyelam ke lubuk terdalam
— bukankah mencintai pun kadang juga begitu?
tetapi kau selalu percaya, kelak, luka akan menjadi karma
dengan sendirinya. Seseorang yang telah menikamkan pisau sepi
ke punggungmu, akan menanggung seluruh kesunyian paling merah.
/4/
pada akhirnya, kau lebih memilih berjalan sendiri,
menamsil nasib yang ganjil,
menyelusur hari-hari yang kabur, dan menafsir rasa getir
seumpama seorang penyair,
menyusun ulang tubuh yang telah retak
menjadi sebuah sajak, sebagai ritus pengampunan
atas seluruh dosa-dosa kesunyian.
2021
scorpius
: Sindy Novia Larensi
Apa kau tak pernah membayangkan,
sebuah rasi bintang scorpio
menampakkan diri di angkasa bumi kita?
Kau melihatnya dari jendela kamarmu, aku
mengintipnya dari halaman rumahku,
sepasang capitnya, mencengkau namamu dan namaku.
Sedang ekornya menyengat masing-masing
dada kita, sehingga tahulah aku, rindu bekerja
bagai racun, membuat biru seluruh tubuhku.
Aku masih mengamatinya. Apakah kau pun?
Tanpa kita sadari, kita telah jadi sepasang penujum,
menerka sesuatu yang belum kita mafhum,
“Di hari apakah, nasib akan menjatuhkan
nama kita pada peruntungan yang sama?”
2021
sajak tentang sebuah vas bunga
Pada vas bunga
yang menggigir kesepian
di atas meja, di sudut ruang itu
kau bertanya,
apa yang membuatnya bermakna,
selain hanya sesuatu
yang kelak layu,
dan kita berupaya mengekalkannya?
— seperti kenangan,
yang terus-menerus kita segarkan.
Pada vas bunga
yang menggigir kesepian
di atas meja, di sudut ruang itu,
kau tak menemukan apa-apa,
tidak juga jawaban
atas kesuwungan tanda tanya,
selain hanya sesuatu
di dadamu yang memurung tiba-tiba.
2021
malam dalam komposisi
Pilau lampu-lampu kota,
seakan sedang
menerjemahkan cerlang
mata kekasihnya.
Udara gigil, musim yang labil,
merepih kantung kemih,
dan bulan yang limau
di langit pucat memutih.
Di atas bangku tepi jalan,
di hadapan lalu lintas waktu,
ia hendak meraih sebungkus
kenangan di liang saku.
Tetapi ia malah merasa,
seperti ada jemari
yang hangat dan melumer
di genggamannya.
Ia terkenang pada suatu malam
ketika untuk pertama kalinya,
ia ingin waktu berjalan lamban
— atau, ke arah selain masa depan?
Disulutnya kekalutan itu, dan
kesedihan mengepul ke udara.
Sedang air matanya, umpama segumpil
mentega yang meleleh di penggorengan.
2021
le poète maudit
Aku seekor ular yang diam-diam
mengamatimu dari pucuk ranting pohon apel,
membelit kegamangannya sendiri:
antara melata pergi, ataukah menghampirimu?
Sementara ketakutan, sebagaimana tuhan,
gemar menorehkan sejumlah larangan
juga kutukan-kutukan, di tubuhku.
Suatu hari, kupetik jantung sendiri.
Kusihir menjelma sebutir apel merah,
dan menyuguhkannya padamu.
Semoga, begitu kau menggigitnya, kau paham
akulah daging buah yang tabah tubuhnya berdarah,
meski dengan lelaki itu pula
pada akhirnya, kau berbagi rasa manisnya
“Tidakkah kau tahu? Itulah saripati rindu,
yang sepanjang usia waktu, selalu luput dari pagutanmu?”
2021
rencana mengunjungi pasar malam
Bagaimana bila sejenak kau sampurkan air mata di pundakku,
dan mari, kita jalan menyusuri hingar-bingar pasar malam
yang tampak melambai-lambai kepada kita itu?
Akan kuajak kau menonton atraksi roda gila supaya bising suara
kenalpotnya, memecah rasa masygul yang terbuhul di dada.
Atau, mengendarai kuda sembrani di sebuah komidi putar?
Di sana, waktu seperti henti melaju, hidup bukan lagi kejar-mengejar.
Kita akan merasa berjalan, meski tidak ke mana-mana.
Mungkin dengan begitu, kesedihan jadi sesuatu yang tak berarti apa-apa.
Atau barangkali, kau ingin sekadar membeli permen kapas?
Lalu, duduk menikmatinya sambil menyimak dan tergelak
melihat orang-orang jerit-teriak di atas perahu yang limbung disapu ombak?
Juga kincir angin yang berjentera seakan ingin mengajari kita:
naik-turun atas-bawah itu biasa, dan begitulah sewajarnya hidup berkelindan
menjalin warna-warninya? Siapa tahu, rasa legit yang leleh di lidah,
bakal samarkan getir-pahit, sedih, dan gundah.
Lalu, akan kucegat seorang pengamen kecil yang kebetulan lewat agar dipetiknya
senar ukulele, agar ditabuhnya tambun tubuh jimbe, sembari kubacakan
sejudul sajak cinta yang sudah kutulis semenjak lama,
lihatlah rembulan yang menggantung di luas lengkuh kubah angkasa:
“Apatah pantas kau tetaskan tetes air mata? Sedang rembulan itu, bintang gemintang itu,
bahkan selamanya akan tersipu, sembunyikan muka di balik murung gemelung mega
lantaran meski parasmu sedih, rupanya masih gagal ia lampaui keindahannya.”
2021
bersama panchali di suatu
pertunjukan wayang orang
I
Hastinapura kala itu, mungkin tak ubahnya
panggung trapesium di hadapan kita, Panchali.
Dan kita hari ini, adalah sepasang mata
yang tak ingin melewatkan satu pun adegan;
degup jantung yang tak henti menanti,
dan terus dirundung tanya, “Apa lagi setelah ini?”
Sepasang tirai itu kemudian terbuka
disusul lampu-lampu yang menyala,
lalu kita sama saksikan
lidah Sengkuni yang begitu licin,
menjatuhkan Yudhistira di atas meja judi
: tergelecik muslihat licik,
dan terjengkang nasibnya sendiri.
II
Sementara Yudhistira telah pertaruhkan segala yang ia miliki:
Kereta dan turangga, Pandhawa dan Indraprastha,
harga diri, hingga kekasihnya,
tidakkah kaulihat ada yang berkilat
di mata Kurupati,
bagai lidah bara yang mengeropok bulu domba?
Ketika nafsu telah menyihir Dharmaputra
yang tak bercela bagai amuk seekor kuda,
kadung lepas dari tali kekangnya?
Lalu, sesal tinggallah gelugut
yang bertebar di tubuh Yudhistira.
Detik pun meruam, dan nasib hanyalah nyala
yang masih berupaya terjaga pada sumbu sejumlah kandil
— yang tampak ngungun dan menggigil, Panchali.
Gedung ini sesak penonton, Panchali,
tetapi, kesunyian seperti dinding kedap yang menyerap
seluruh suara-suara di sekitarku, di sekitar kita.
Genggam tanganku, Panchali
agar dapat kurasakan getar-getar kesedihan
yang menusuki batang nadimu.
III
Kali ini kita saksikan seorang perempuan
— O, itukah kau, Panchali?
diseret Dursasana ke tengah gelanggang
seumpama rusa buruan,
yang dilempar di atas tungku perapian.
“Adakah seorang raja yang sampai hati melempar seorang istri
ke tengah gelanggang judi? Sedang penjudi paling nista pun tiada pernah tega
menggadai perempuannya — sekalipun toh ia seorang sundal!”
Perempuan itu berseru dengan suara terpatah,
menahan sesak-isak yang membuhul kekata dan lidah.
Suara itu, mata pedang menyayat-nyayat,
lenguh napas kijang menahan sekarat.
Kurasakan jari-jemarimu berkeringat dingin
Kau remas erat genggaman tanganku.
Sandarkan kesedihan itu di tampuk pundakku, Panchali.
“Ini hanyalah sebuah pentas,” ujarku padamu
“dan babak tak lama lagi akan pungkas.”
Tetapi kaubilang, “Kesedihan bukan seperti air mata,
yang dapat mengering hanya dengan diseka sehelai kacu,
yang kaulurkan dari saku bajumu.”
IV
Dan senja pun penuh, ketika perempuan itu
hanya menatap ngungun ke titik jauh
— ke arah di mana harapan
adalah jarak yang begitu muhal ia sentuh.
Tetapi, kita pun seakan mengerti, Panchali,
“Nasib barangkali tak ubahnya permainan dadu.
Dan kita tak akan pernah tahu angka yang bakal keluar,
sebelum dadu-dadu pungkas dilempar!”
…
Tirai tertutup kembali, dan lampu-lampu bersusulan mati.
Panggung pun usai, sementara kita, masihlah sepasang penonton
yang sibuk menyeka linang masing-masing,
sebelum ruang jadi hening,
dan sepi pun tumpah, membasah ke tubuh kita.
2021

Yohan Fikri, lahir di Ponorogo, 1 November. Belajar di Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah, Universitas Negeri Malang. Puisinya tersiar di pelbagai media dan memenangkan beberapa lomba. Bukunya yang bakal terbit bertajuk Tanbihat Sebuah Perjalanan. Dapat disapa melalui akun Instagram @yohan_fvckry.