Panada
memilih berpupur ragi
adonan kalis kelat teruleni
lembar kemangi dan jeruk purut
tubuh cakalang tercabik cabai
sebatang serai memar
berlumur albumen panir terburai
panas minyak terjerang api
air liur terbit ruah
setangkup panada tambun menggoda
Sidoarjo, 2019
Bakso
adalah kepul yang menguar rasa
di terik siang pun kuyup hujan
di pagi muram pun senja bersolek
“semangkuk saja tanpa vetsin, bang”
brambang tabur rajang seledri
tambahkan sampai penuh
kaldu berkuah, pentol berenang
untalan mie kusut serupa ganggang
bersendok sambal saos kecap cuka
lambung pekak begah hingga ulu
siapa mampu menahan hasrat?
Sidoarjo, 2019
Ote-ote
tidak usah kau tebak apa yang tersembunyi
tak usah pula kau cari yang terselubung
kubis wortel merdeka menampakkan muka
seekor udang bergelung berpose riang
lihat, setangkai cabai rawit gendut kelimis
tertancap mematut diri serupa sepi
sungguh tembem wajah kesayangan
sebulat purnama di malam lalu
di pinggan kaleng bercorak loreng
Sidoarjo, 2019
Donut
bergelimang gula salju
bersolek taburan coklat penuh warna
bergulingan di lengket pasta pekat
ia mematut diri
menyaru berkamuflase
lekat manis bukan fatamorgana
sungguh,
hanya hasrat
hanya lapar
tak ada dendam
tak ada cinta
di bolong dadanya
Sidoarjo, 2019
Sayur Kekedemes
aku melihat ibu
memasak sayur kekedemes
dalam kastrol berpantat jelaga
jerebu menari di bias cahaya
sebatang songsong meniupkan bayu
bara meletup lelatu riang melayang layang
telah habis ubi kayu pada getuk merah hijau
demi segantang beras sejumput gula
“kita lapar, nak” kata ibu
sayur kadedemes dimasak ibu
kulit ari ubi kayu melayang di kuah santan
“bayangkan gulai, nak” senyumnya
lalu ,
kubayangkan cinta ibu
di atas lelatu dan jerebu
yang menari nari
Sidoarjo, 2019
Gulali Pink
di gerbang pasar malam itu
kakinya melangkah melompat-lompat
gadis kecil keriting berkucir ceplok
kemilau bintang di bulat mata bola
ia tertawa
ia bertepuk tangan
ia menunjuk segala sesuatu
tersenyum pada kincir bianglala
menggapai warna warna balon
berjinjit menangkap ribuan gelembung sabun
dan cahaya kunang-kunang di rambutnya
setangkai gulali pink mekar
tiada yang lain, tak ingin yang lain
senyum gadis cilik mekar
gulali pink tersangkut di gingsulnya
Sidoarjo, 2019
Pizza
pukulan demi pukulan
lebam terbanting kayu talenan
licin kalis seluruh tubuh
bengkak mekar tak berbentuk
sekepalan, sekepalan telah tercomot
berputar melebar di ujung jemari
terbanting ditepuk sepenuh hati
lalu saus sewarna darah meruah
tertabur keju susis bak bunga ziarah
dan api memanggangnya
tubuh terbakar
sempurna
Sidoarjo, 2019
Agar-agar
beri aku sesendok agar-agar
yang meluncur turun jatuh ke usus
melewati lidah kebas kerongkongan berduri
lenyap hilang tak bersua geligi
hidup bukanlah garis linear
naik turun berkelok berkelindan
penuh cadas karang kerikil tajam
pun embun, matahari, bunga berseri
hatimu yang agar-agar
tansah segala risau gulana
baiklah ia bersegera
mendekap rinai di kilau senja
Sidoarjo, 2019
Roti Tawar
pagi membuka birai
cahaya kesana kemari
debu menari nari
sunyi mematut diri
betapa waktu serupa kijang muda
yang menemu sabana hijau
bergegas tak terkekang
menyeret fajar di kaki senja
kopi mengepul
roti tawar tak berselai
setangkai azalea layu
dan percakapan yang tak purna
ada yang tak tersentuh
kasih mula mula yang kian asing
Malang, 2019
Ketoprak
potongan kecil tahu goreng, berebut bumbu, soun tak berbentuk, kerupuk orange, remah kacang tumbuk, yang ditabur diatas irisan lontong bergelimang kecap sewarna ampas kopi, melukis mural nyeri di kosong dadamu
selarik cahaya melayang di atas pinggan loreng, menyusur muka ketoprak, serupa sentuhan agar liurmu terbit sejalan siang yang meninggi, hingga kau yang telah kenyang bergelimang sunyi, sebentaran ini terpuaskan, biarpun sementara, dari lapar yang setia memburumu
Sidoarjo, 2019

Yuliani Kumudaswari. Lahir di Bandung Juli 1971, menikah dengan dua putri, sejak tahun 2015 menetap di Sidoarjo. Beberapa puisi tergabung dalam antologi bersama diantaranya Wajah Ibu (2016), Menyandi Sepi (2017), Rumah Kita (2018), Kepada Hujan di Bulan Purnama (2018), Membaca Hujan di Bulan Purnama (2019). Antologi tunggal 100 Puisi Yuliani Kumudaswari (2016), Perempuan Bertatto Kura-kura (2017), Menyusuri Waktu (2018), dan Wajah Senja (2019)