Cerpen Erwin Setia
Seorang lelaki muda turun dari sebuah kereta jarak jauh di Stasiun Bekasi. Ia menggendong sebuah tas dan menyeret koper abu-abu berukuran sedang. Ia melepas kacamata dan menyampirkan sweternya di bahu. Tubuh lelaki itu cenderung kurus, tapi caranya berjalan begitu bertenaga dan optimistik seolah-olah tidak akan ada sesuatu pun yang bisa mencelakakannya.
Di atas sebuah kursi tunggu, ia duduk sebentar. Dipandanginya sekeliling stasiun di mana orang-orang yang baru turun dari kereta berlalu lalang, orang-orang menunggu di kursi plastk yang dingin, dua orang petugas mempercakapkan sesuatu, dan batangan rel tampak berkilau disepuh cahaya siang. Ia beranjak dari kursi setelah beberapa menit mengambil jeda. Ia buru-buru keluar dari area stasiun. Ia memanggil tukang ojek, menyebut alamat, dan bergegaslah motor bebek yang bunyi knalpotnya berisik itu ke alamat yang dituju. Tak jauh, kurang dari lima belas menit, ia tiba di tempat tujuan.
Sebuah rumah besar dengan pohon beringin di seberang pagar yang daun-daunnya bertebaran di tanah tampak di hadapannya. Ia memandangi rumah itu saksama seakan hendak memastikan bahwa ia tidak salah alamat. Tempat itu memang agak jauh dari jalan besar. Sopir ojek mesti melalui beberapa gang kecil dan sepi sebelum tiba di rumah besar itu. Setiba di sana, suasana jalan makin sepi saja. Sejauh mata memandang, lelaki itu tak mendapati satu pun orang—entah tetangga ataupun orang yang sekadar lewat—tampak. Area itu begitu sepi seperti sebuah jalan yang sedang diisolasi. Hanya ada beberapa pohon besar dengan burung-burung yang sesekali bertengger di dahannya untuk kemudian terbang kembali ke langit. Pohon-pohon itu menghadirkan keteduhan yang membuat Bekasi menjadi tak begitu panas. Lelaki itu merasa nyaman dengan yang kini dirasakannya. Ia merogoh saku celana, mengambil kunci, dan membuka pagar rumah besar dengan kunci tersebut.
Rumah itu terdiri atas dua lantai. Lelaki itu menyisiri satu demi satu ruangan rumah. Dengan langkah-langkah pelan dan waspada, ia memeriksa keadaan rumah yang sudah ditinggalkan penghuninya selama tiga tahun itu. Si penghuni terakhir—Pak Simon dan keluarga—sebelumnya menitipkan rumah itu kepada tetangganya yang tinggal persis di sebelah rumah. Pak Simon membayar tetangga itu untuk rutin membersihkan rumah agar tidak kusam dan kotor seperti barang tak berguna.
Dua tahun lebih lamanya si tetangga menjalani rutinitas membersihkan rumah besar itu, sampai sebulan lalu Pak Simon mendapat kabar tetangga itu mati karena terpeleset saat membersihkan kamar mandi rumah besar. Itulah penyebab Pak Simon meminta tokoh kita—si lelaki muda—untuk menyambangi rumah besarnya. Pak Simon meminta pada lelaki itu untuk menjaga dan merawat rumah besar sekitar satu pekan sebelum penghuni baru datang ke sana. Ya, rumah besar Pak Simon itu sudah dipinang oleh sepasang pengantin baru asal Bali. Mereka sudah membayar uang muka dan mengatakan minggu depan akan mulai menghuni rumah besar.
Pada hari pertama kedatangannya, setelah bersih-bersih sekadarnya lelaki muda bersantai dan tiduran di atas sofa yang sangat empuk. Ia tidak pernah merasakan sofa seempuk dan selembut itu. Ia membayangkan betapa nikmatnya kalau bisa menghuni rumah itu selamanya. Ia mendesah dan membuang impian muluk itu. Dengan televisi menyala, lelaki itu ketiduran di atas sofa.
Hari sudah berangsur gelap ketika lelaki itu terbangun. Televisi, lampu, dan pendingin ruangan mati. Ia mengecek meteran listrik dan mendapatinya baik-baik saja. Listrik tidak turun atau korslet. Mati listrik datang begitu tiba-tiba. Ia keluar dari rumah. Jalanan di depan rumah sangat lengang dan sepi. Matahari sudah lama pergi, berganti cahaya bulan yang tipis dan hanya menghasilkan keremangan. Dedaunan bertiup terbawa angin. Petang itu udara sejuk sekali. Lelaki muda mengenakan sweter dan mulai berkeliling. Ia hendak mencari seseorang yang bisa diajaknya berbicara atau sekadar menjadi tempatnya bertanya mengapa listrik mati tiba-tiba.
Ia berjalan menyusuri jalan. Rumah-rumah di kanan-kirinya tampak gelap dan sepi. Semuanya tak berpenghuni. Rumah-rumah yang berukuran cukup besar itu meruakkan sensasi ganjil. Lelaki itu merinding dan mempercepat langkah. Ia menembus gang lain. Di gang itu beberapa lampu menyala dan tampak beberapa orang sedang berkumpul. Saat ia melambaikan tangan dan hendak menghampiri orang-orang itu, mereka terperanjat dan membubarkan diri. Ia merasa heran dan meneruskan perjalanan. Azan magrib berkumandang. Jalanan begitu sunyi dan dingin. Saat berhenti sejenak dan duduk di atas sebuah kursi beton, ia tiba-tiba teringat pintu utama rumah tidak dikunci. Ia hanya mengunci pintu pagar karena memang tadi ia agak terburu-buru. Mengingat itu, lelaki itu bergegas kembali ke rumah besar. Sementara ia berjalan cepat, sayup-sayup azan dan suara orang mengaji masih terdengar.
Setiba di area rumah besar, ia terkejut senang mendapati lampu-lampu sudah menyala. Ia membuka pagar dengan cekatan, lantas mendorong pintu utama. Benar saja, pintu itu tidak terkunci. Ia buru-buru memeriksa keberadaan televisi, guci, perhiasan porselen, dan sebuah lukisan mooi indie yang tergantung dinding. Syukurlah, semua barang-barang berharga itu tak bergeser seinci pun dari tempatnya. Tidak ada barang-barang yang hilang. Tidak ada barang-barang yang dicuri. Ia bisa tidur dengan tenang malam ini.
Lantaran lelah, lelaki itu memutuskan untuk merebahkan diri di sofa. Tak lama ia pun tertidur. Beberapa jam setelah tidur, kandung kemihnya terasa penuh. Ia kebelet buang air kecil. Cepat-cepat ia menuju kamar mandi lantai satu. Ia pun menunaikan hajatnya dan merasakan kelegaan selepasnya. Tanpa kecurigaan ia membuka pintu. Di depan pintu, seorang perempuan berpakaian serbahitam dengan muka hitam melompat ke hadapannya dan memandanginya dengan mata melotot. Lelaki itu terlonjak ke belakang. Kepalanya membentur pinggiran kloset. Darah mengucur dari kepala lelaki malang itu. Tiga hari setelahnya, seorang pemulung merasa heran burung-burung berbulu hitam berkerumun di halaman rumah besar. Si pemulung coba-coba memasuki pagar rumah yang lupa dikunci, membuka pintu utama yang juga tak dikunci, dan samar-samar mencium bau busuk. Ia menemukan mayat seorang lelaki muda dan segera melaporkannya ke warga terdekat.
***
Sepasang pengantin baru asal Bali yang hendak membeli rumah besar mengurungkan niat mereka usai mengetahui fakta-fakta seram soal rumah besar. Selain kematian tiba-tiba si tetangga dan si lelaki muda, rupanya ada satu kematian juga yang baru terungkap saat polisi menggeledah rumah besar selepas kematian lelaki muda. Di sebuah ruangan yang selalu dikunci di dekat kamar mandi, polisi menemukan seonggok mayat beku yang sudah diawetkan. Mayat itu berpakaian serbahitam dan wajahnya hitam seluruh seolah diolesi arang. Setelah polisi melakukan penyelidikan, didapatilah bahwa mayat serbahitam itu tak lain istri pertama Pak Simon. Istri pertama Pak Simon lama bekerja di Arab Saudi dan rutin mengirimi uang setiap bulan kepada Pak Simon dan anak mereka yang masih berusia lima tahun. Bertahun-tahun istri Pak Simon tak kunjung pulang. Sang istri bilang ia selalu ditahan-tahan oleh majikan sehingga tak bisa pulang. Kendati tak pulang-pulang, sang istri tak pernah lupa mengirimkan uang yang jumlahnya lumayan banyak. Bosan menunggu, suatu hari Pak Simon berjumpa seorang janda kaya raya yang tak lain adalah temannya sewaktu sekolah menengah. Pertemuan mereka berakhir dengan perkawinan. Pak Simon mengatakan kepada anak mereka dan petugas KUA bahwa istri pertamanya sudah meninggal di Arab Saudi. Ia tidak mengabarkan keluarga istrinya ketika menikahi janda kaya raya itu. Suatu malam, beberapa bulan setelah pernikahan itu, istrinya datang. Waktu itu istri kedua dan anaknya sedang pergi ke rumah mertuanya. Kedatangan istri pertama itu tak ia sambut dengan ramah. Alih-alih ia langsung menjambak sang istri, membawanya ke sebuah ruangan dekat kamar mandi, dan menyiksanya sampai mati. Ia mengawetkan mayatnya dan membiarkannya tergeletak dengan hanya ditutupi lapisan kain hitam. Semenjak itu, ia melarang siapa pun mendekati apalagi berusaha membuka pintu ruangan yang selalu terkunci itu.
***
Pada malam pertama di penjara, Pak Simon izin ke kamar mandi. Sipir yang berjaga merasa heran Pak Simon tak muncul juga dari kamar mandi selama berjam-jam. Ketika sang sipir mendobrak pintu, ia mendapati tubuh Pak Simon sudah tak bernyawa dengan sekujur tubuh berwarna hitam seolah baru saja dibakar massa.***
Tambun Selatan-Bekasi, 14 April 2020

Erwin Setia, lahir pada 14 September. Penulis lepas. Aktif menulis cerpen dan esai. Tulisan-tulisannya pernah dimuat di berbagai media. Cerpennya terkumpul antara lain dalam antologi bersama Dosa di Hutan Terlarang (2018) dan Berita Kehilangan (2021). Bisa dihubungi di Instagram @erwinsetia14 atau melalui surel: erwinsetia2018@gmail.com.