Cerpen

Seandainya Boleh Memilih

May 9, 2023

Cerpen Dewanto Amin Sadono

Ia baru saja lahir dari kuburannya dan masih rebah di dalam lubangnya di sebuah pekuburan tua dan tak tahu telah berapa lama terkubur di dalamnya. Seingatnya sejak Perang Bharatayudha. Tubuhnya masih seperti dulu; tegap, gagah, serta berotot meskipun berselimut keringat, daki, dan debu. Rambutnya tergerai sepundak; kotor dan seamis bangkai ikan pada lungkang. Tak ada suara karena ia terdiam dan keheningan telah menyerap semuanya. Di bawah tubuhnya tak ada apa-apa lagi; batu, pasir, bunga, keranda, serta ubarampe lainnya, atau sisa bau dupa atau yang semacamnya. Itu kalau semua sesuai dugaannya. Ia tak ingat segalanya seperti halnya tak lupa seluruh masa lalunya meskipun ia sangat menginginkan semua itu lenyap dari benaknya.

Ia sangsi adakah upacara militer yang mengiringi prosesi pemakamannya: terompet, drum band, tembakan salvo…. Barangkali hanya sepi yang menyambut kematiannya dan penguburan itu tak lebih mewah daripada prosesi anjing kurap yang dicampakkan ke comberan. Ia tersenyum masam. Siapa pula yang butuh semua kemurahan itu. Mati, ya tinggal mati saja. Tak peduli di mana atau dengan cara apa mati dan dikuburnya.

“Kuturuti permintaanmu. Datanglah ke tempat itu! Di sana Arjuna akan menemuimu,”  suara itu kembali berkumandang di kepala.

Barangkali ia telah mengigau dalam matinya. Mungkin arwahnya gentayangan dan mengamuk di kerajaan langit sana, memrotes sana-sini, menggugat hidup serta matinya yang tidak adil. Dan ia pun lalu dibangunkan dari tidur panjangnya; lengkap dengan busana, senjata pusaka, juga kepala yang telah kembali ke asalnya.

Dan terbayang lagi jejak itu, jejak kematiannya. Dan kenangan menyakitkan itu pun kembali lagi. Ketika itu kereta perangnya menuju arah matahari, sementara kereta perang orang itu menjauhi, dan ia telah merentangkan gendewanya seperti halnya orang itu. Untuk apa Salya menghentakkan laju kereta ketika bidikan panahnya sudah tepat pada leher orang itu? Mestinya panah itu tidak hanya menyerempet rambut.

Ia berdiri mematung dan tampak murung. Betapa pedih dan perih saat menyadari  pengkhianat itu ternyata orang terdekatnya sendiri. Ia meraba lehernya dan terbayang lagi ketika panah orang itu memenggalnya dan tempurung itu terpental, menggelinding, dan darah, darahnya, berceceran membasahi tanah di padang ilalang.

Ia menggeram. Salya, orang yang kepadanya ia titipkan nyawanya, bapak angkat yang telah dianggapnya sebagai bapak sendiri, kusir kereta perangnya ketika pertempuran itu terjadi ternyata lebih mencintai orang itu dan memilih dirinya yang harus mati. Ia menghela napas panjang, lalu menengadah seolah-olah ingin menemukan jawaban atas ribuan pertanyaan di benaknya dan di langit sana tak ada apa-apa kecuali awan lembayung. Ah, alangkah bahagia andai ia bisa memilih cara dan tempat matinya sendiri.

Tiba-tiba ia menggeram. Wajah yang semula seolah-olah onggokan kain basah di pojokan kamar mandi itu tiba-tiba memancarkan sinar. Sorot mata rusa tua yang ketinggalan kawanannya itu seketika menjadi mata seekor singa yang siap menerkam mangsanya.

“Arjuna.”

Ia menyebutkan nama itu penuh kebencian sementara darahnya mendidih seperti minyak di wajan penggorengan. Urat-urat di batang lehernya menyembul seukuran akar pohon kelapa. Teringat lagi apa yang telah orang itu perbuat kepadanya, semuanya, dan ia pun muntab.

“Arjuna, aku akan menyayat-nyayat wajah tampanmu hingga tak ada yang bisa mengenalinya. Melumatkan kepalamu hingga jadi bubur. Memutilasi tubuhmu menjadi potongan-potongan kecil sehingga  ketika nanti ada yang menemukan daging atau tulang itu, tidak akan pernah ada yang tahu berasal dari bagian tubuh yang mana.”

Serta-merta ia melompat dari dalam lubang kuburnya seolah-olah tersengat bara api pada telapak kakinya, lalu berlari seakan-akan sudah ketinggalan janji. Lajunya secepat kilat di angkasa. Jalan setapak penuh ranting kering dan daun ilalang diterjangnya, lubang dan bebatuan dilompatinya. Ia menuju ke tenggelamnya matahari dan tak tahu alasannya dan tak peduli.

Napas terengah-engah dan keringat bercucuran ketika ia sampai di tempat yang dulunya padang ilalang itu. Padang Kurusetra! Genderang perang, suara madali, dan tiupan maut sangkakala seakan-akan terdengar lagi; suara-suara yang telah mengiringi kematian teman, guru, serta orang-orang yang dikenalnya. Mereka telah menjadi tumbal, dan mati dengan berbagai cara ini: termutilasi, bermandikan darah, darah mereka sendiri atau musuhnya.

Keluarga Kuru telah musnah, tumpas, dan habis, diiringi mampusnya ratusan ribu prajurit Astina dan Amarta serta para pelengkap penderita lainnya. Orang-orang itu masih teman dan saudaranya. Dirinya dan kakak-beradik berjumlah seratus  itu pernah bersama-sama main gundu di masa-masa lalu. Itu semua demi apa kalau bukan supaya Bharatayudha bisa tetap berlangsung sesuai nubuatnya dan betapa bangsatnya para dewa ternyata.

“Arjuna! Arjuna!”

Ia memanggil-manggil, tapi tak ada jawaban.  Padang itu kini cuma menyisakan kenangan kengerian dan kesia-siaan, juga darah yang telah mengubah warna tanah itu menjadi merah. Juga mayat-mayat yang teronggok tak berbentuk lagi. Juga tumpukan daging berbelatung, bertebaran, berserakan,  dan tumpang tindih. Burung-burung pemakan bangkai berpesta di atasnya sambil memekik-mekik kegirangan. Juga bau busuk itu, bau yang menusuk-nusuk lubang hidung dan masih tercium dari jarak sepuluh ribu kaki. Ia masih ingat semua itu seolah-olah perang saudara itu terjadi baru saja.

“Arjuna! Arjuna! Di mana kau?”

Tiba-tiba terdengar sahutan dan itu suara perempuan.

“Karna, anakku.”

Ia mencari-cari dengan matanya, dan memastikan suara itu tidak pernah ada kecuali hanya di dalam pikirannya. Ia masih ingat nada, irama, kelembutannya, dan semua itu justru membuatnya makin menderita. Ah, Kunti, ibunya yang bukan ibunya, bunda yang tak pernah ia rasakan air susunya. Adakah rintihan yang terucap ketika bayi mungil yang bermandikan air ketuban itu keluar dari rahimnya, melewati batang lehernya, lalu menjebol keperawanan kupingnya?

Ia tersenyum masam. Seandainya boleh memilih, ia ingin batu yang mengandungnya, atau apa saja, asalkan bukan perempuan yang sukanya merancap, tapi maunya tetap gadis ini. Kunti oh, Kunti.

Ia mengumam pelan walau masih terasakan olehnya kepedihan itu. Bibir itu menguncup, sorot matanya meredup. Di mana perempuan ini saat kusir pedati itu mengaisnya sedangkan ia bukan makanan sisa di tempat sampah? Sedang apa perempuan ini saat seluruh penonton lomba memanah itu menertawai meskipun dialah pemenangnya? Seandainya boleh memilih, ia ingin tak pernah ada karena sakit ini begitu lara.

“Karna, anakku, jangan kau sakiti adikmu!”

Ia menegakkan kepala seperti ular cobra disentuh ekornya, dan tiba-tiba merasa sedang diingatkan lagi akan tujuannya semula: membunuh Arjuna! Seketika awan hitam menghilang dari wajahnya, dan berubah menjadi rona merah darah. Rahangnya mengeras, melengkapi keriap matanya yang buas.

“Adik macam apa yang menghianati kakaknya? Adik jenis apa yang rela mengorbankan kakak demi ambisinya”

“Anakku, demi kepentingan yang lebih mulia….”

“Siapa yang mulia dan tercela?” Ia memotong ucapan itu. “Siapa yang mengangkat kamu sebagai hakim sehingga berhak memutuskan Kurawa sebagai angkara murka dan Pandawa pembasminya?”

“Karna, anakku, darma bakti seorang ksatria adalah…..”

“Arjuna tak pantas disebut satria. Dia sama busuk dengan lainnya!” ucapnya berapi-api, memenggal kalimat yang belum selesai tadi.

“Anakku, jangan turuti nafsu amarahmu….”

“Enyahlah kau! Minggat!” 

Ia memukul-mukul kepala agar bunyi-bunyi itu  terhenti, tapi bising di pikirannya lebih menguasai. Mulutnya mengumpat-umpat, tapi suara itu terus menyeruak di lubang telinganya; berisik, bertalu-talu, bergaung, dan bercampur-baur dengan umpatan, tangisan, serta jeritan. Ia menjambaki rambutnya sambil tertawa dan bergelakak seperti orang gila.

Ketika segala hiruk-pikuk itu tiba-tiba sirna, serta-merta ia berdiri mematung, termenung, dan merasa baru saja membunuh ibu yang selama ini bersemayam di relung hatinya: suara-suara itu telah mati, menemani hatinya yang sepi.

Namun, sedetik kemudian ia menggeram. Arjuna harus mati, dan tak ada lagi yang bisa menghalang-halangi, termasuk Kunti yang konon ibunya itu walaupun sekarang bukan lagi. Kuburanlah yang telah melahirkannya, baru saja. Dan nasihat itu pernah didengarnya dulu, dulu sekali. Kini ia tak butuh lagi.

Tak ada hutang yang dibawa mati kecuali hutang budi. Apa pun maksud di baliknya, Kurawa-lah yang telah mengangkat derajat, memanusiakan, serta menganggapnya ada dan berharga. Perjalanan hidup itu telah memaksanya untuk memilih. Dan sampai saat ini, ia tak menyesali pilihan itu. Pandawa tak pantas disebut saudara! Saudara yang mempermalukan saudara sendiri adalah kriminal dan boleh dibikin modar dengan cara yang sekeji-kejinya.

Ia mengatur napasnya yang memburu, sementara gemuruh di dadanya masih terasa, dan keringat membasahi sekujur tubuhnya. Susah payah ia membujuki otak lelahnya. Persetan dengan suara perempuan itu!

“Arjuna!”

Ia meneriakkan nama itu sekeras-kerasnya, lalu menengadah, menajamkan mata dan telinga. Namun, tak ada suara apa-apa kecuali sepi serta lautan ilalang yang membentang. Padang itu bagaikan kanvas raksasa yang dipenuhi warna hijau, coklat, putih, dan hitam. Sementara itu, angin semilir, udara mengalir, dan langit menjelang senja masih seperti hari-hari sebelumnya.

“Arjuna, keluarlah dari persembunyianmu!”

Bunyi itu berpusing-pusing bising, mengarungi gelombang udara sebelum akhirnya menghilang di balik cakrawala nan jauh di sana. Udara senyap, kicau burung lenyap dan yang terdengar hanya bunyi napasnya sendiri yang memburu-buru seperti anjing lagi birahi. Tiba-tiba sekelebat cahaya turun dari langit, berputar-putar, bergemuruh laksana angin puyuh, lalu berhenti. Dan Arjuna pun memperlihatkan wujudnya. Satria lelananging jagat ini mendekat. Rupa tampannya masih bersinar. Dia bersedekap dengan kepala menunduk seolah-olah murid sedang berdiri di hadapan gurunya.

Ia mendengkus. Orang itu hanya berjarak empat-lima langkah di depannya. Begitu dekatnya, tapi betapa jauhnya bagi jiwa yang dipenuhi oleh kecurigaan ini. Meskipun penengah Pandawa ini tampak enggan, ia tak ingin tertipu oleh lagak lagunya. Ia memandang tajam orang yang sebentar lagi jadi mayat ini lalu berucap dingin, tajam, dan kejam.

“Arjuna, kuburku terasa gelap, lembab, dan pengap. Hanya kematianmu yang bisa membuatnya hangat.” Ia tak ragu mengungkapkan keterusterangan yang tidak sopan itu.

“Kakang Karna, hamba sumarah dan pasrah,” jawab Arjuna. Kedua tangannya ditangkupkan di depan dahi, menghaturkan sungkem.

“Aku selalu dihantui mimpi buruk bahkan di dalam matiku. Kuburku terasa sesak dan menghimpit.”

“Kakang, hamba hanya sekadar titah.”

“Arjuna, karena mulut kotormu aku harus merelakan harga diriku diinjak-injak. Sebab busuk otakmu guru Durna menjauhiku.”

”Maafkan hamba, Kakang.”

”Tahukah kamu bagaimana rasanya menjadi anak yang dibuang ibunya dan saudara yang tidak diinginkan oleh adik-adiknya?” suara itu terdengar getir.

”Kakang, maafkan hamba.”

”Aku coba mengasihimu sebagaimana seharusnya, tapi tak bisa. Luka ini begitu dalamnya. Aku telah coba memaafkan kamu sebagaimana semestinya, tapi tak mampu. Dendam ini telah membatu.”

“Kakang Karna, hamba sumarah dan pasrah. Raga ini hamba baktikan. Jiwa ini hamba ikhlaskan.”

Sesaat ia ragu mendengar kerelaan itu, teringat akan masa lalu, yaitu ketika mereka sama-sama sedang berguru kepada Resi Durna, dan bercanda tawa di sela-selanya. Mereka juga pernah berdiam di rahim yang sama meskipun terlahir dari lubang berbeda. Ia ksatria dan tak mungkin baginya berkulikat nista; membunuh musuh yang tak mau melawannya salah satunya.

Ia menarik napas dalam-dalam. Sesaat matanya terpejam, coba menguraikan otaknya yang sengkarut. Ia sudah sampai sejauh ini, dan tak ada jalan untuk kembali. Keadilan harus diperjuangkan dan ia telah terlanjur membongkar rumah kuburannya. Tiba-tiba bibirnya mengatup, tubuhnya gemetar, kedua tangannya mengepal-ngepal, lalu tertawa kecil.  Arjuna bukan musuhnya ataupun saudaranya. Dia orang yang harus mati, dan saat ini juga!

Seketika ia menerjang sosok di hadapannya. Tangan kanannya terayun sekuat tenaga ke arah kepala, kaki kanannya melayang dengan gerakan memutar, menghantam lumbal kanan, disusul kaki kiri menerjang bagian tubuh lainnya.

“Bangsat, lawan aku! Mumpung tak ada mulut berbisa Kresna! Selagi tak ada guru batil bernama Durna. Hanya kamu dan aku!” 

Arjuna bergelangsar, terlempar, dan berguling-guling. Darah mengalir dari mulut dan  hidungnya. Alis matanya sobek. Dia tampak kesakitan dan menderita. Dia menyeka darah yang membanjiri hampir seluruh wajahnya lalu kembali berdiri di tempat yang sama, bersikap seperti sebelumnya, bersiap menghadapi matinya seperti kambing kurban dihadapan tukang jagalnya.

“Hamba tidak akan melawan, Kakang,” jawabnya.

Ia makin marah. Bukan jawaban semacam itu yang diharapkannya. Seketika ia kembali menerjang seumpama banjir bandang. Ia meninju mulut yang baru selesai bicara tadi. Ia menghantam ulu hati hingga tubuh itu tertekuk dan terbungkuk-bungkuk.

“Arjuna,  lawan aku. Keluarkan semua kesaktianmu!”

Arjuna menegakkan tubuh, sempoyongan dan limbung. Bibirnya pecah dan berdarah dan beberapa giginya goyah.

“Tidak, Kakang! Saya sudah berdamai dengan masa lalu.”

Ia menerkam dada, menginjak-injak perut, dan menjadikan kepala itu seumpama bola. Ia memukul, mencakar, menampar, menendang, dan mencekik sambil meraung-raung.

“Masa lalumu, bukanlah masa laluku. Andai aku bisa melupakannya!”

Arjuna terjatuh, terguling-guling, terbanting-banting. Dia coba berdiri, tertatih-tatih, jerih, terhuyung-huyung. Sekujur tubuhnya cobak-cabik oleh luka, dari kepala hingga kaki.

“Kakang, bunuhlah hamba jika itu bisa membuat Kakang bahagia. Namun, mohon kiranya hamba izin bersiap lebih dahulu!”

Susah payah Arjuna melucuti dirinya sendiri. Kakinya goyah dan wajahnya tertampak letih. Ia melemparkan gendewa di tangannya, keris pulanggeni yang terselip di pinggang, lalu kain limarsawo, juga ikat pinggang limarkatanggi. Seterusnya, dia menguraikan gelung minangkara lalu melemparkannya, pun membuang kalung candrakanta juga cincin mustika ampal.

Sementara itu, tak peduli dengan yang dilakukan orang di depannya, ia berdiri kaku seperti arca penunggu candi. Gebaran di hati dan pikirannya sudah mati. Ia telah membunuhnya baru saja dan persetan dengan jiwa satria. Kalau perlu, ia akan menikam jantung orang itu meskipun orang itu lagi tertidur lelap di pelukan selir-selirnya. 

Ia lalu mengambil napas, mengembuskan kuat-kuat lewat mulutnya. Dengan bibir terkatup, ia menyiapkan gendewa wijaya, memasang panah taksaka. Ia membidik tepat ke arah jantung orang di hadapannya, lalu menarik tali busurnya sekuat tenaga.

“Arjuna, demi masa lalu, masa kini, dan masa nanti, aku harus membunuhmu.”

“Hamba siap, Kakang,” jawab Arjuna lirih.   

Arjuna tersenyum pada orang yang sangat menginginkan nyawanya ini. Dia justru merentangkan kedua tangannya, membuka dadanya lebar-lebar sambil melemparkan panah pasopati yang sedari tadi ditimangnya tanpa peduli arah jatuhnya.

“Hamba pamit….”

Panah pasopati itu terlempar ke tumpukan batu tepat pada pangkalnya, lalu melesat bagai peluru kendali, menerjang pori-pori udara dan semuanya. Ia terkesiap dan segera menyadari bagaimana akhir kisah ini nantinya. Seketika senyum getir tersungging di bibir. Hidup ini, terutama hidupnya, ternyata begitu lucu, absurd, dan sia-sia. Ia pun memejamkan mata, menyambut mautnya. Setengah detik kemudian, panah pasopati itu menembus leher; memotong kulit, daging, otot, tulang, dan semua yang menghalangi laju geraknya. Tempurung kepala itu terpental dan menggelinding. Darah berselerak membasahi ilalang.***

                                                                               Pekalongan, 3 September 2021


Dewanto Amin Sadono, guru dan penulis. Beberapa karyanya memenangkan lomba dan dimuat di media masa cetak dan online. Novel Ikan-Ikan dan Kunang-Kunang di Kedung Mayit menjadi Juara I, Perpusnas Writingthon Festivaal November 2022. Naskah lakon Ikan-Ikan di Kedung Mayit menjadi Nominator Lomba Naskah Lakon Dewan Kesenian Jakarta, Desember 2022.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *