Buku Resensi

Sempati; Kandar Kilas yang Menolak Fungsi

October 29, 2019

Oleh Mutia Senja

Semanggi; kepalanya sudah lepas dari tadi. Air mata dan sengguk pun sudah lenyap dari tadi. Namun tangisan dan sedihnya belum. Sedih tentang mengapa ibunya begitu berjarak sebelum mati. Sedih tentang mengapa ayahnya begitu diam sebelum menghilang (hal. 11).

Setelah pemuda itu bertemu dengan M4; perempuan yang melayani program Bebaskan Kepalamu—yang (mirip) ibunya—Sempati Patangga Bratadikara berperan sebagai pemeran utama yang selalu mendapat sorotan dalam setiap adegan dalam novel ini. Sengaja dibuat meloncat-loncat layaknya figuran ketika ayahnya—jam tangan—mendeskripsikan kronologis kejadian di Bagian Tiga: Kenang—sebelum Sempati berencana memisahkan tubuh dan kepala—sepakat saling cerai sejak bertahan melawan resap bosan oleh jejal kehidupan.

Triskaidekaman membuat permulaan “alfa”—semacam petunjuk menjelajah kehidupan dua keluarga yang rumit; memulai menceritakannya dalam lima bagian: hilang, buang, kenang, datang, dan pulang. Penulis berupaya membuat pikiran pembaca teracak, lalu seperti puzzle—disusun kembali secara ritmis, bertemu ester egg, saling adu, saling tindih, lalu seperti hendak ditertawakan kenyataan. Kenyataan yang membuat Sempati terjerat dalam kegelapan yang samad, ketika suara tawa menggagalkan pertemuannya dengan ‘bahagia’.

Seperti digambarkan dalam blurb buku ini; Sempati merasa kepalanya tak memberi solusi atas ragam persoalan. Tentu, sebuah keniscayaan yang realistis sebab segala persoalan manusia bermuara ke dalam alam pikir. Namun, yang kemudian membuat tak masuk akal adalah ketika Sempati ingin hidup bahagia tanpa kepala, karena dirasa kepalanya justru merepotkan. Persis sebagaimana yang nampak dalam judul buku ini.

Bagian pertama berhasil menghabiskan hampir separuh isi buku dengan cukup menggambarkan alasan Sempati ingin melepas kepalanya. Tanpa bertolak ketika ia membaca selebaran bertuliskan “Program penggal. Mengusir beban pikiran bebal dan sedih yang terus tinggal”. Dia tertarik dalam hitungan detik. Terkesan khayali, memang. Namun inilah kenyataan yang terjadi dalam fiksi. Penulis pun bebas menuliskan apa saja.

Alhasil, mencari celah antara membebaskan kepala dari tubuh atau memanfaatkan fungsi otak dalam memecahkan masalah menjadi dua pilihan yang memuakkan. Hidup bagi Sempati (mungkin juga yang dialami sebagian orang) adalah penolakan, pergulatan, kesendirian, dan jauh dari rasa senang. Seolah membuka kembali memori atas pernyataan Dee Lestari ketika menulis, “aku kini percaya manusia dirancang untuk terluka.”

Lalu, katanya lagi, “tidak ada yang lebih menyakitkan dari kepedihan yang tidak bisa ditangiskan.” Benar saja, Sempati tidak pernah menangis sekalipun (pernah) ia sangat bersedih. Orangtua Sempati: Semanggi dan Merpati bermasalah. Sejak kecil, pemeran utama sangat karib dengan dendam, air mata, kesepian, konflik rumah tangga yang rumit, hingga persoalan diri sendiri yang membuatnya seolah bom waktu—dapat meledak kapan saja.

Dijuluki novel anti mainstream setelah lahirnya Buku Panduan Matematika Terapan, membuat kita meyakini akan hadiah berupa kejutan-kejutan saat membaca buku ini. Sungguh, di bagian 1.4 Triska menyuguhkan seberkas kekhawatiran ketika M4—inisial petugas instalasi (pemegang kunci nasibnya)—menghilang, saat di mana penulis menuliskan masa lalu, hingga Sempati kehilangan kepalanya di sebuah rusun yang dia tinggali. Pembaca dirancang layaknya detektif yang dengan sigap dan teliti mengerti alur yang sedang dimainkan masing-masing tokoh. Dalam hal ini, penulis cermat membuat pembaca seolah tak boleh lepas untuk tetap menikmati paragraf demi paragraf.

Hal tak wajar seringkali muncul, misalnya: Setelah prosesi pemotongan kepala, peserta masih dapat hidup dengan kandar kilas yang diletakkan di tengkuk atau bagian tubuh lainnya. Kandar kilas itu berfungsi mencadangkan isi otak sehingga tubuh masih dapat berpikir, melihat, mendengar, bicara, saat tubuh berpisah dengan kepala nanti. Namun jauh dari harapan agar terbebas dari kehidupan yang bebal, Sempati justru ditimpa tragedi yang gagal menemukan solusi. Terkejutnya, saat ia mendapati kandar kilasnya bengkok.

Lalu di bagian lain digambarkan dengan alur mundur, seperti: Merpati; setelah sekian lama menghilang, dia—di waktu dan tubuh yang lain—menjelaskan kronologis kematian yang diakuinya tak sengaja dilakukan Darnal. Mancakrida kantor dibalut malam yang indah. Dirinya dan Darnal (atasan dan sekretaris) menyepi ke tempat senyap. Rel itu katanya sudah jarang terpakai lagi. Mereka berbaring, menyanggakan kepala pada rel, sambil menatap langit—mengulang kembali tarian kebanggan setelah sekian tahun. Bulu tubuh Darnal masuk dan mereguk cawan Merpati yang lama tak tersentuh. Dia lemas. Lalu pingsan. Golak roda kereta berdesing. Darnal terlambat menyelamatkannya. Merpati mati di tempat.

Hal semacam ini yang terkadang membuat pembaca dipaksa percaya. Walaupun realitanya, tidak dapat diterima oleh akal sehat manusia. Sebab dalam bagian terakhir, “pulang”, ia kembali membuat konflik baru dengan memainkan tokoh hasil dari kebangkitan setelah mati. Bahkan dalam hal ini, apa pun dikisahkan Triska dengan bebas dan ia seolah menikmatinya.

Dibuktikan ketika ia mengisahkan kepala yang dapat bicara meski terpisah dari tubuh, kemudian dimasukkan dalam rak (mirip) penitipan barang yang bisa diambil kembali dengan syarat meninggalkan identitas. Tubuh yang terpenggal namun masih dapat menyatu kembali, dan hal menggetarkan lainnya. Hebatnya, Triska dapat mengatasi kejenuhan pembaca dan bertanggungjawab atas imajinasinya yang liar tanpa membuat pembaca melepas kepalanya. Sungguh!

Pembaca makin dibuat jatuh hati ketika Sempati berbisik ke pancang nisan ibunya: Ibu melacur yang baik, ya. Nanti ibu belikan rumah di sana. Aku pasti akan bertandang (hal. 259). Celetuk lisannya persis ketika ibunya berjanji; Kamu sekolah yang baik saja. Nanti Ibu tetap biayai kamu. Ibu belikan kamu jam tangan baru (hal. 257). Korelasi semacam ini yang langka dijumpai dalam cerita dan lekat dalam ingatan. Seperti dibisiki dengan hal-hal menakjubkan dan seketika membuat kita terperanjat saat itu juga. Tetapi yang jadi soal, apakah Triska sengaja membuat kebetulan ini nampak cantik di mata pembaca? Atau mungkin kebetulan bisa dibuat secara sengaja?

Bagaimanapun, uang takkan pernah cukup. Waktu selalu saja lebih sempit daripada celana. Tubuh kita pun fana (hal. 5) hingga Merpati mengakui di hadapan anak dan suaminya; “Kami tak pernah berpikir soal kualitas. Yang penting berkeluarga. Yang penting kami dicap normal. Bahkan semua masalah uang, popok, susu, nafkah, sekolah, dan jam tangan ini—inilah normal yang masyarakat mau” (hal. 264). Meski belum utuh, mungkin inilah pertanggungjawaban atas fantasi liar si penulis. Triska mengembalikan persoalan kepada sesuatu yang faktual tanpa tergesa-gesa.

Membaca konflik yang terjadi dalam cerita, seperti mengingatkan pada sabda Epictetus mengenai hal ini; “Pada akhirnya nanti, setiap orang harus menebus hukuman atas perbuatan-perbuatannya yang salah. Jika orang selalu ingat hukum ini, ia pasti tidak akan marah kepada siapa pun, tidak akan dendam, tidak akan mencerca, tidak akan menyalahkan, tidak akan melukai hati, tidak akan benci, kepada siapa pun.” Tapi takdir berjalan sebagaimana Semanggi—yang mengambil lengan kiri Jatayu saat masih di dalam kandungan Tania—akibat menuruti amarah dan dendam setelah menyaksikan perselingkuhan istrinya.

Sempati terus terkejat, mencabik-cabik tubuhnya sendiri; sebelum dia jatuh ke tanah dan terlunglai mati karena lapis-lapis rasa bersalah (hal. 279). Triska tak henti membuat imajinasi liarnya berkecamuk di dada pembaca, menggeliat memenuhi kepala, menjerat seluruh indera untuk memasuki alur ceritanya yang langgas—seperti Sempati saat akan dipenggal kepalanya. Tak boleh beranjak. Sedikit saja menoleh, maka akan tamat riwayat. Setiap bagian, setiap adegan, membutuhkan fokus seperti menjaga kandar kilas supaya tetap hidup tanpa kepala.

Sembari terus membaca bab demi bab, pembaca selalu dihantui rasa penasaran tentang apa yang akan terjadi kepada para tokoh dalam novel ini. Mereka bersekongkol mengelabuhi pembaca. Penuh misteri. Triska membuat pembaca membolak-balikkan pikiran tanpa permisi dan mencari sendiri akarnya. Seperti melihat pohon tumbuh di atas tanah, sedangkan banyak kisah tumbuh menembus celah tanah—bagian tersembunyi sebelum bertumbuh batang, daun, cabang, dan buah—yang nampak—terkesan ‘rumit’ dan ‘menyebalkan’.

Kita seakan diajak meraba, menemukan kursi untuk sejenak duduk ketika berada di ruang gelap Triska: Kematian bukan penanda akhir sedangkan nasi telah menjadi bubur. Kepalanya sudah lepas dari tadi. Airmata dan sengguk pun sudah lenyap dari tadi. Namun tangisan dan sedihnya belum (hal. 11).

Lalu kita seakan kembali berjalan hingga menemukan celah cahaya.


Mutia Senja, lahir di Sragen, Jawa Tengah. Bergiat  di Sekolah Menulis  Sragen. Hobinya menulis sesuka hati. E-mail: muthiahart@gmail.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *