Cerpen Galuh Ayara
Seorang teman tiba-tiba menelepon dan memberitahuku bahwa ia hendak bunuh diri dan pergi ke hutan Aokigahara? Ia memintaku membantunya melewati masa krisis sampai ia bisa membebaskan pikiran negatifnya. Bukankah setiap orang yang ingin bunuh diri berpikir dan berharap di detik-detik terakhir, ia masih bisa selamat di dunia yang serba menjeratnya?
Namanya Fujio. Dia adalah sahabatku ketika aku kuliah di Universitas Waseda di Tokyo, Jepang. Fujio adalah seorang penulis sastra. Karyanya dimuat di koran, majalah, dan media daring. Ia yang mengenalkanku kepada buku-buku sastra Jepang seperti buku Kazuo Ishiguro, Haruki Murakami, dan para terdahulunya seperti Junichiro Tanizaki dan Yasunari Kawabata. Dia juga yang akhirnya membuatku sangat menyukai ‘Midaregami’, buku kumpulan tanka, puisi berpola khas jepang, yang dianggap kontroversial karya Akiko Yosano.
Fujio adalah sosok lelaki sederhana yang selain menulis, kadang ia suka memasak dan bergaya bak koki restoran. Ia akan mengenakan baju dan topi koki berwarna putih terang saat ingin menunjukkan keahliannya meracik ramen pedas kepadaku. Aku selalu antusias dengan pertunjukan memasak kecil-kecilan di dapur apartemennya yang agak sempit itu. Gaya Fujio yang kocak dan sebenarnya tidak alami ketika meracik ramen itu selalu sukses mengocok perutku. Aku terpingkal-pingkal sampai keluar air mata, sementara Fujio dengan senyum cengengesannya fokus melanjutkan kegiatannya. Ketika mengaduk bumbu di panci ia sengaja membenturkan sendok yang agak besar itu ke pinggiran kuali hingga mengeluarkan suara yang berisik. Aku menutup telinga sambil terbahak-bahak.
Di balik kesederhanaannya, sesungguhnya Fujio lahir dari keluarga kaya di Tokyo. Kekayaan keluarganya mencakup beberapa restoran, bar, hotel, juga dorm berikut salah satu sekolah bahasa di Shinjuku. Rumah tinggal keluarga Fujio berada di Denenchofu, sebuah kawasan pemukiman elit yang dikembangkan oleh seorang industrialis yang dianggap sebagai bapak kapitalisme Jepang. Karena kekayaan keluarga tersebutlah, Fujio dipaksa kuliah bisnis oleh ayahnya untuk meneruskan bisnis keluarganya. Akan tetapi, Fujio lebih tertarik dengan bidang sastra. Takdir itu kemudian mempertemukanku dengan Fujio di Universitas Waseda.
Pada saat itu–bulan Mei, Jepang mengalami periode ‘tsuyu’ atau musim hujan. Saat itulah aku seringkali bermalam di apartemen Fujio yang terletak tidak begitu jauh dari taman Shinjuku Gyoen. Aku tidak tahu apakah Fujio menyukaiku atau tidak. Dia tidak pernah mengungkapkan apapun soal perasaannya kepadaku. Aku tidak tahu, tapi sejujurnya kami sering melakukan hubungan seks setiap kali aku menginap di apartemennya, atau pun sebaliknya, ia yang datang ke apartemenku.
“Hidupku sangat berat, Hanin,” katanya suatu ketika. Saat itu aku baru saja menghabiskan satu mangkuk besar ramen pedas buatannya yang berhasil membuat tubuhku panas dan berkeringat. Kami makan ramen sambil menonton film anime Kotonoha No Niwa-Makoto Shinkai yang banyak memakai latar keindahan taman Gyoen. Film itu adalah salah satu film anime Jepang yang aku suka. Selain karena berlatar taman Gyoen yang terasa amat dekat dan digambarkan sangat indah dan mendetail itu, juga karena cerita cintanya yang melankolik dengan dihiasi kutipan tanka lama yang penuh teka-teki.
Aku bergeser untuk membelai punggung Fujio lalu memeluknya dari belakang.
“Kenapa? Apa yang membuat hidupmu berat?”
Aku bertanya sembari membenahi posisi dudukku di atas tatami.
“Entahlah. Kadang aku merasa dikejar-kejar sesuatu di kota ini hingga aku sangat takut dan tertekan.”
“Soal ayahmu?”
“Mungkin lebih dari itu? Aku merasa kota ini penuh tuntutan. Dan aku hanya seorang yang keras kepala. Hmm, terlalu keras kepala untuk mempertahankan ketertarikanku pada dunia sastra.”
Aku menyandarkan kepala di pundaknya.
“Kamu satu-satunya orang paling baik yang pernah aku kenal, Fujio. Aku senang bisa mengenalmu, dan akan sedih jika suatu saat aku harus pulang ke Indonesia dan kita akan berpisah dalam waktu yang lama, mungkin selamanya.”
Aku mengucapkan kata-kata itu untuk membesarkan hatinya sekaligus mempertanyakan secara terselubung, kenapa dia belum juga mau berkomitmen denganku?
“Maafkan aku, Hanin. Aku tidak ingin kamu ikut masuk ke dalam kehidupanku yang sangat rumit. Maaf.”
Ia berkata seolah mengerti kegelisahanku. Aku menelan ludah mendengar kenyataan yang agak pahit itu. Akan tetapi di luar itu, aku begitu nyaman setiap kali dekat dengan Fujio, sehingga aku tidak dapat menuntut apapun darinya, asalkan dia ada.
Aku berdiri dan berjalan ke muka jendela. Hujan rintik-rintik di luar membuat Jepang seperti sebuah lukisan dengan orang-orang berpayung yang berjalan di antara gedung-gedung menyala. Aku ingat, aku pernah melihat lukisan seperti itu di rumah kakekku di Bandung. Jepang benar-benar seperti lukisan yang sangat besar ketika memasuki periode tsuyu.
“Di kaki gunung Fuji ada hutan yang bernama Aokigahara. Orang-orang pergi ke sana untuk bunuh diri. Kau pernah dengar?”
Fujio mengambil satu batang rokok dari atas meja. Aku berjalan kembali ke dekatnya. Aku berjongkok untuk mengambilkan korek lalu menyalakan api ke rokok yang sudah ada di mulutnya.
“Ya. Hmm, aku kurang suka mendengarnya.”
Aku mengambil rokok itu lalu mencium bibirnya yang basah dan berasap. Perlahan tubuhku bergerak dan menjadi sangat melekat dengan Fujio. Aku memeluk dan membuka pahaku lebar-lebar di atas pangkuannya.
“Tolong jangan pernah berpikir untuk mengakhiri hidupmu, di mana pun. Sebab aku akan sedih dan merasa bersalah.”
Aku mengembalikan batang rokok itu ke mulutnya.
“Aku tidak tahu apakah hidupku berharga?”
Fujio mematikan rokok dengan menekan ujungnya di permukaan meja kecil di samping kami.
“Dengar, tidak ada hidup yang sia-sia. Kuatkan dirimu, ya. Sabar.”
“Suatu hari aku akan meneruskan bisnis ayahku. Dan saat itu mungkin aku hanyalah mayat hidup.”
“Kamu masih bisa menulis nanti.”
“Entahlah. Aku muak dengan segala tuntutan di hidupku.”
“Jangan pernah putus asa.”
“Iya.”
Ia lantas memeluk tubuhku sangat erat. Aku merasakan tangannya yang dingin masuk ke dalam blus dan bra-ku. Tangan itu meremas-remas payudaraku hingga aku berdebar bukan main. Aku menurunkan resleting blusku lalu melepas bra dengan napas naik turun dan tergesa. Aku meraih tangannya yang agak kasar itu lalu menciuminya dengan mata terpejam. Aku merasakan seluruh kecemasannya masuk ke pori-pori kulitku, sehingga aku sangat sulit lepas darinya. Aku tidak pernah bisa lepas seakan tubuhku diikat. Aku hanya bisa menerima tubuh itu menyatu dengan tubuhku semakin dalam, semakin dalam. Lalu di kedalaman itu, aku berharap seluruh kegelisahannya reda.
***
Aku menutup panggilan telepon itu dengan tangan yang gemetar, dan hatiku begitu hancur lebur.
“Siapa yang meneleponmu? Kenapa kamu menangis? Apakah dia temanmu sewaktu kuliah di Universitas Waseda?”
Aku tidak segera menjawab. Hatiku terlalu berkecamuk. Fujio baru saja meneleponku setelah kami hilang kontak selama dua tahun selepas aku pulang ke Indonesia. Ia menutup semua akun media sosialnya, juga mengganti nomor ponselnya atau bagaimana aku tidak tahu. Lalu sekarang ia tiba-tiba muncul dan berkata ingin bunuh diri. Aku bisa mendengar suara tangisnya yang berat seolah ia tak sanggup lagi menanggung pikiran-pikiran negatifnya? Bagaimana jika ia benar-benar pergi ke Aokigahara sendirian lalu tidak pernah kembali ke apartemennya, ke rumah keluarganya atau ke mana pun? Ah, aku tidak sanggup membayangkannya.
“Hanin? Kamu baik-baik aja?”
“Hmm, bisa kita pulang sekarang?”
“Yakin? Makan malam kita baru saja datang?”
“Kalau kamu enggak ingin mengantarku pulang, biar aku pulang naik taksi.”
“Wait, wait, Hanin. Oke, kita pulang ya.”
“Thank’s, Adit.”
“Bukan masalah. Kamu kekasihku. Akan kuturuti apapun kehendakmu.”
Setelah Aditya membayar makanan yang tidak kami makan, kami segera meninggalkan restoran itu.
***
Sesampainya di rumah, aku langsung menangis tersedu-sedu. Aku berguling di atas kasur dan kesulitan mengatasi kegelisahanku yang menjadi-jadi. Di tengah perasaan sedih dan khawatir itu, tiba-tiba aku merasa bersalah kepada Aditya. Perasaan bersalah itu merasuk begitu saja seperti roh yang mendesak dan menguasai diriku. Aku menangis semakin menjadi. Aku kebingungan mengatasi seluruh kegelisahan itu yang saling tindih menindih dan bertumpuk tebal di atas tubuhku.
Aditya adalah temanku sejak taman kanak-kanak. Sewaktu SD, kami pernah mencuri dewandaru sebesar gundu dari halaman sekolah SMA Strada di belakang sekolah kami. Adit yang memetik dewandaru itu karena aku begitu menginginkannya, karena aku tergoda dengan warna merahnya. Buah itu seperti lampion kecil yang menyala. Aku benar-benar tergoda dan amat menginginkannya. Setelah berhasil mendapatkannya, kami tunggang langgang dikejar satpam. Aditya memberikanku dewandaru sebesar gundu, tapi aku merasa ia baru saja memberikan bumi dan seisinya.
Sedari kecil, Aditya selalu memberikan apapun yang kumau, tapi aku tak pernah memberikannya apapun milikku. Sepulang aku dari Jepang, Adit menyatakan perasaannya sekaligus melamarku. Bahkan saat itu aku tidak memberikan hatiku, meski aku mengatakan “ya”. Aku bahkan selalu menolak ketika ia ingin menciumku, padahal sewaktu di Jepang hampir setiap malam aku tidur dengan Fujio. Fujio? Mengapa harus Fujio yang ingin aku berikan segalanya milikku? Padahal jelas-jelas lelaki itu selalu menolak membuat komitmen hubungan denganku.
Aku meraih novel Naomi. Naomi adalah sebuah novel karya Junichiro Tanizaki. Buku itu merupakan hadiah ulang tahun yang diberikan Fujio. Naomi berkisah tentang percintaan yang muskil, mendebarkan, provokatif dan penuh tragedi. Aku selalu suka kisah cinta yang melankolik, penuh teka-teki dan tragedi. Mengapa di Jepang penuh tragedi? Mengapa Fujio ingin bunuh diri? Ah, tiba-tiba kepalaku sangat pusing.
Buku itu selalu kubawa ke mana pun bersama dengan buku Midaregami. Aku membuka buku tersebut lalu foto Fujio yang kusimpan di dalam buku itu terjatuh. Aku menangis sambil memeluk foto itu. Segera saja aku meraih ponselku dari atas meja. Aku berusaha menelepon nomor ponsel yang dipakai Fujio tadi, tetapi tidak ada jawaban.
***
Pagi sekali, Aditya datang ke rumahku. Dia membuatkanku sarapan dan membantuku mengerjakan pekerjaan rumah. Dari meja makan aku bisa mencium aroma cabai merah dan bawang putih yang ditumis dan dicampurkan dengan udang segar dan nasi putih. Tidak lama, Adit datang dengan baki berisi sepiring nasi goreng dan teh jeruk lemon.
“Nasi goreng udang untuk Nona Hanin yang paling cantik.”
Adit menaruh nasi goreng udang dan teh jeruk lemon itu di depanku. Aku tersenyum alakadarnya sambil mulai memasukkan sesendok penuh nasi goreng ke dalam mulut.
“Apa perasaanmu sudah lebih baik?”
Aku mengangguk.
“Kalau boleh tahu, siapa orang itu, Sayang? Hmm?”
“Namanya Fujio. Ia teman kuliahku.”
“Dia pasti teman baikmu.”
“Ya, kami hanya berteman, tidak lebih.”
“Lalu apa yang membuatmu menangis semalam?”
“Dia dalam masa-masa krisis. Semalam dia bilang akan mengakhiri hidupnya dan sepertinya dalam perjalanan ke Aokigahara. Entahlah. Dia orang yang sangat rentan dan sulit berteman.”
“Aokigahara? Aku pernah menonton film dokumenter tentang hutan itu. Hutan di kaki gunung Fuji yang dijuluki hutan bunuh diri, kan?”
Tiba-tiba tak terasa air mataku banjir lagi. Aku menangis sesenggukan seperti bocah yang baru saja kehilangan mainan. Adit seketika mendekat dan merangkul tubuhku.
“Teleponku enggak diangkat. Gimana kalau dia sungguh-sungguh. Aku merasa bersalah. Dia menelponku karena dia tidak tahu harus menghubungi siapa. Dia memintaku membantu melewati masa krisisnya. Tapi waktu aku telepon balik, dia enggak angkat teleponku.”
Tangisku lantas semakin keras.
“It’s ok, Sayang. Cup cup cup, semua akan baik-baik aja. Kalau kamu mau, nanti aku beli tiket pesawat ke Jepang. Kita sama-sama ke sana biar kamu tenang, sekalian aku juga lagi butuh libur.”
“Kita?”
“Kenapa?”
“Enggak apa-apa. Terima kasih selalu memberi apa yang aku mau.”
“Aku cinta kamu, Hanin. Tidak ada yang lebih penting dari itu.”
Setelah itu, setelah memastikan aku sudah lebih tenang, Adit berangkat ke kantornya, sementara aku memutuskan tidak bekerja hari ini. Aku terlalu sedih dan sulit menguasai diri.
Aku membuka laptop, mencari tahu kanal berita online di Jepang yang memuat kabar tentang orang bunuh diri di hutan Aokigahara. Berjam-jam aku tidak menemukan nama Fujio Shinkai dari Shinjuku. Lalu aku mengetik nama pena Fujio yaitu Kawamura. Hasil pencarian nama itu hanya karya-karya Fujio yang dimuat di media-media jepang. Aku baru tahu, ternyata sudah banyak sekali karya yang ditulis Fujio. Karena penasaran akhirnya aku ketik nama ayah Fujio, yaitu Yukio Shinkai. Nama itu cukup populer sebagai pebisnis di Tokyo. Dan apa ini? Ada sebuah artikel memuat tentang Yukio Shinkai yang menggelar pernikahan putra tunggalnya dengan seorang anak pengusaha asal Hongkong.
Mendadak udara sangat dingin, tubuhku keram dan sulit bergerak.
Ponselku tiba-tiba berdering. Kulihat panggilan itu dari nomor yang dipakai Fujio semalam.
“Ha-Hanin.”
Mendengar suara yang terbata itu, tiba-tiba aku sangat ingin bunuh diri detik itu juga.***
2022
Galuh Ayara, suka menulis puisi dan cerpen. Karyanya dimuat di beberapa media. Buku kumcernya yang berjudul ‘Nyanyian Origami’ terbit pada tahun 2020.
Woah, Great story! <3