Cerpen Ruly R
Hamparan warna-warni kue menggoda mata, tersusun rapi aneka jajanan berbungkus daun pisang, harum menyeruak. Radio mengalunkan pengajian, sesekali ditingkahi iklan obat herbal. Subuh belum matang di kawasan Senen, Anwar Saleh bersiap menunggu pembeli, sambil memegang gagang kayu pipih berujung rumbai plastik guna mengusir lalat. Pemandangan pasar subuh seperti biasa, hanya satu yang tampak berbeda, bukan pada jenis dan susunan kue, meja alas, toples uang, atau plastik bungkus kue, melainkan penampilan Roheti.
Eti, biasa penjual lain memanggil perempuan yang kali ini mengenakan kaos putih bertuliskan no comment dengan celana kulot abu-abu batako. Lipen warna merah bata memoles bibir, jedai warna biru muda langit puncak menghimpun rambut hitamnya, dan wangi Harum Sari sachetan menguar bersaing dengan wangi kue talam pandan. Lapak kue Eti bukan hanya mengundang lalat-lalat hijau tentara, namun juga pandangan mata para lelaki, tak terkecuali Anwar Saleh.
“Bang,” sapa Eti pada Anwar Saleh sambil mengangguk pelan di lapak seberang.
Anwar Saleh mengangguk kecil. Lanjut menebah lalat yang mampir di antara rainbow cake dan black forest penuh krem putih.
“Buset. Ntu mah bidadari turun ke bumi, War. Resep dah kalo gua kawin ama Eti kali, ya?” celetuk Haji Zaenal. Anwar Saleh hanya meringis kuda, separuh menaruh hormat pada juragannya dan selebihnya tidak tahu harus bagaimana menanggapi ucapan itu.
Haji Zaenal gloyor menuju lapak kue Eti sambil tangannya membenahi peci hitam lusuh. Anwar Saleh rasakan ada yang berkecamuk di dadanya melihat kelakuan genit Haji Zaenal pada Eti, tapi dia tidak tahu persis akan apa yang dirasanya. Lamunan Anwar Saleh buyar ketika seorang langganan mengatakan ingin membeli kue basah.
Anwar Saleh mencuri pandang pada lapak kue Eti di tengah cekat tangannya melayani pelanggan.
“Demen ama yang sono, ya?” tanya pelanggan sembari mengarahkan ujung matanya ke lapak kue seberang.
Anwar Saleh tidak hirau. Hanya diam dan tangannya memasukan pesanan kue basah ke plastik besar warna seragam Juventus.
“Kagak ada bonus nih, War.”
“Iya dah ditambah atu nih.”
“Yaelah langganan cuma ditambah atu doang. Gua laporin juragan lu baru nyaho.”
Senyum tersimpul dari bibir Anwar Saleh.
Satu pelanggan berlalu, datang beberapa pelanggan lain. Silih berganti pembeli, sebagian wajah-wajah yang sudah dikenal Anwar Saleh, selebihnya wajah baru.
Haji Zaenal datang ketika semua pembeli sudah pergi. Air mukanya tampak girang-girang bangga. Lelaki yang sudah kawin sama persis jumlahnya dengan keberangkatannya ke Makkah—dua kali, berpanjang lebar menceritakan tentang Eti.
“Eti titip salam juga buat lu, War. Dia bakal mampir ke sini habis jualan nanti. Kagak sabar gua. Gimana? Gua ajib, kan? Panteslah ama Eti, ya?” tanya Haji Zaenal sambil merapikan baju kokonya yang tidak kusut atau tertempel kotoran sama sekali.
Anwar Saleh mengacungkan jempol saja menanggapi semua.
“Oya, lu sering ketemu Eti juga katanya. Bener?”
Anwar Saleh mengiyakan. Ingatannya terlempar pada hari-hari yang telah gugur di makan angka-angka. Itu adalah pertemuannya dengan Eti yang kerap terjadi kala siang hari, waktu di mana Anwar Saleh menjaga bengkel ban berdinding triplek miliknya lengkap dengan radio penghibur, sementara Eti numpang istirahat karena lelah ngobyek duteng—dangdut tenteng. Anwar Saleh tak tahu menahu alasan Eti memilih istirahat di bengkelnya dan juga tak mau hirau akan alasan itu. Dia tidak memasalahkan pilihan Eti. Kerap Anwar Saleh mengambilkan teh botol untuk Eti ketika penyanyi keliling itu istirahat dan yang diberi hanya membalas dengan ucapan terima kasih dan senyum.
Beriring hari dengan kerapnya Eti mampir di bengkel ban, keakraban semakin terjalin. Anwar Saleh dan Eti mulai kerap banyak mengobrol. Mulanya tentang pekerjaan masing-masing, lantas merambat pada hal-hal pribadi, semisal cita-cita Eti menjadi penyanyi dangdut beken yang tampil di panggung nasional. Anwar Saleh mendukung penuh dan mendoakan baik akan niat Eti, wajahnya saksama menyimak cerita Eti, sementara yang disimak hanya tersenyum tipis malu-malu dan mengatakan senang dengan dukungan Anwar Saleh, karena hanya lelaki itu yang mendukung dan mendoakan naik perkara cita-cita Eti.
Di bengkel ban, Eti juga sering bercerita tentang asmara. Ketika sudah menginjak pada masalah itu, Anwar Saleh lebih banyak menanggapi dengan candaan saja, sementara Eti tampak serius. Sekali waktu Eti bertanya perkara kriteria perempuan pada Anwar Saleh dan yang ditanya tidak tahu harus menjawab persisnya bagaimana.
“Masa kagak ada, Bang?”
Anwar Saleh diam sejenak, lantas menjawab dalam gurauan kalau dia suka perempuan yang seperti Eti. Di antara bising mikrolet dan asap hitam knalpot Kopaja, radio mengalunkan lagu Kuingin milik Rita Sugiarto.
Kalau kau memang sayang kepadaku
Kuingin hanya kau yang kau sayang
Kalau kau memang cinta kepadaku
Kuingin hanya aku yang kau cinta
Eti mendendang. Dia khatam di luar kepala lagu itu dan air mukanya tampak lebih ceria dari sebelum-sebelumnya. Keesokannya, Eti lebih lama untuk istirahat di bengkel ban. Dia tersenyum memandangi Anwar Saleh yang bekerja. Kerap sampai sore Eti di sana hingga akhirnya dia tak nge-duteng lagi pasca istirahat.
Pertanyaan-pertanyaan dari Eti lebih sering terlontar dibanding milik Anwar Saleh ketika mereka berdua saja. Suatu waktu Eti pernah bertanya tentang arti cinta bagi Anwar Saleh, namun lelaki itu hanya diam.
“Kok abang kagak jawab?”
“Bingung, Ti. Apa, ya?”
Suara-suara hanya milik mereka yang di jalan, bukan di bengkel ban.
“Gini kali ya, cinta ibarat kuku,” ucap Anwar Saleh. Eti diam, memandang Anwar Saleh dengan raut bingung.
Anwar Saleh melanjutkan ucapannya, kuku meski sudah dipotong, akan selalu tumbuh, dan begitulah cinta.
“Gitulah, Ti. Kan kalo kuku panjang juga kagak enak, kalo ada tahi kukunya ya kudu dibersihin.”
Sejak itu sikap Eti berubah, lebih sering memoles dan mematutkan diri dibanding sebelum-sebelumnya, entah saat di lapak kue pasar subuh atau di bengkel ban. Dia juga tampak lebih perhatian pada Anwar Saleh, yang tidak sepenuhnya menggubris semua itu. Bagi Anwar Saleh, Eti tetaplah Eti yang dia kenal seperti sebelum-sebelumnya.
Radio di lapak kue mengumandangkan azan, buyar lamunan Anwar Saleh. Haji Zaenal duduk di kursi plastik warna cokelat bermotif anyaman masih mengusir lalat-lalat jail yang mampir di kue dagangannya.
“Kagak kayak biasanya, nih,” seloroh Anwar Saleh.
“Bukan masalah, War. Asal gua bisa lihat romannya Eti ya udah senang.”
Anwar Saleh geleng-geleng. Sekali-dua pembeli datang lantas lapak sepi lagi. Radio mengudara dengan lagu-lagu dangdut pagi yang mengalun sesekali ditingkahi iklan obat dan laporan lalu lintas Jakarta kota kala pagi.
Pertama ku berjumpa denganmu
Seakan berdebarlah hatiku
Pandangan pertama yang kuterima
Terasa sejuk dalam dada
Pancaran dari rasa cinta
Setelah pertemuan pertama..[1]
Jalanan mulai dipadati mikrolet dan kopaja. Orang-orang ramai berlalu lalang di antara kerja dan olahraga pagi. Dari seberang jalan, Eti datang menghampiri lapak kue Anwar Saleh. Haji Zaenal menyambut uluran tangan Eti meski itu ditujukan untuk Anwar Saleh.
“Gua kira tadi cuma basa-basi, Ti,” celetuk Haji Zaenal yang menganggap ucapan Eti mampir ke lapak kuenya hanya gurauan, namun penuh harap dia menunggunya.
“Kagak pak haji.”
“Panggil bang haji aja, jangan pak, kesannya udah bangkot bener gua.”
Eti hanya mengangguk.
Anwar Saleh hanya berdiri mematung, melihat Haji Zaenal dan Eti di dekatnya. Sesekali ada pembeli datang, Anwar Saleh meladeni dengan cepat.
“Gimana, Ti? Kapan hari ntar main ke tempat gua, ya?” ucap Haji Zaenal.
“Iya. Asal sama bang Anwar juga.”
“Kendiri aja kagak apa-apa. Anwar kan sibuk. Ya kan, War?”
“Bener, Ji,” ucap Anwar Saleh.
“Eti kagak berani kalo sendiri.” Eti menunduk usai mengatakan itu.
“Kagak apa-apa, Ti. Eti yang udah abang anggap kayak adik sendiri kagak boleh takut,” ucap Anwar Saleh.
“Abang nganggap Eti cuma kayak adek abang?”
Anwar Saleh mengangguk penuh yakin. Seketika juga Eti pamit, hanya tampak belakang dalam pandangan Anwar Saleh dan Haji Zaenal. Dua lelaki itu tidak tahu ada air mata yang menetes di hitamnya aspal jalanan Senen pagi itu.

Ruly R, bagian dari Kamar Kata dan Rusamenjana. Suka lele bakar atau goreng dan Dji Sam Soe.
[1] Nukilan lirik lagu Setelah Jumpa Pertama dinyanyikan Mus Muliadi dan Ida Laila.