Cerpen Dewanto Amin Sadono
Setelah lima belas menit berlari tanpa henti, bocah itu pun terkapar di halaman rumah seorang warga. Mulutnya megap-megap seolah-olah sedang dicekik lehernya. Pemilik rumah lalu buru-buru memberinya segelas air putih. Tak seberapa lama berbagai macam racauan seperti orang gila berhamburan dari mulut si bocah. Meskipun ocehannya membingungkan, orang-orang yang sedang berkerumun di tempat itu bisa memahaminya: Suro Gentho hidup lagi.
Warga Awon-Awon pun geger. Para pengecut buru-buru masuk rumah. Menutup pintu rapat-rapat. Menyembunyikan harta bendanya di dasar sumur. Mengungsikan istri dan anak perempuannya ke desa tetangga. Pada saat matinya, Suro Gentho adalah perampok. Sudah pasti saat ini masih suka merampok juga. Begitu barangkali yang ada dalam benak mereka.
Lima orang yang merasa punya nyali segede gajah bengkak segera ke kuburan untuk membuktikan kabar tersebut. Dari balik pagar kompleks pemakaman yang hampir rubuh itu, mereka memusatkan pandangan ke dalam makam. Dan di pojokan sana, seperti iblis baru saja bangkit dari kematiannya, Suro Gentho tampakberdiri termangu-mangu di pinggir lubang kuburannya.
Tubuh Suro Gentho terlihat kurus kering mirip jerangkong. Sepasang matanya sangat cekung bagaikan cerukan mangkuk bakso sehingga sebutir telor bisa diletakkan di dalamnya. Pakaian yang biasa dikenakan para pejuang kemerdekaan itu masih melekat pada tubuhnya. Bolong-bolong bekas tembakan peluru.
Terdengar Suro Gentho menggerundel: tentara telah bertindak biadab. Memperlakukannya seperti binatang. Menggantung mayatnya seperti jemuran basah.
Dari jarak dua puluh meter, lima orang sok pemberani tersebut terus gemetaran. Terduduk di tanah tanpa sadarnya. Pemandangan mengerikan itu ternyata lebih mengerikan daripada bayangan mereka.
Sementara itu, Suro Gentho masih tetap belum bisa memahami perjalanan hidupnya. Ilmu kesaktian yang dibangga-banggakannya itu ternyata justru membuat hidup dan matinya selalu dalam keadaan koma. Sambil menepis sisa tanah kuburan pada pakaiannya, Suro Gentho berjalan gontai menuju luar makam, lalu berhenti tepat di depan pintu gerbang. Ditolehnya lima orang berwajah seputih kapas yang sedang jongkok berhimpit-himpitan di samping pohon teh-tehan itu.
“Di mana ini? Daerah mana?” tanya Suro.
Suara tersebut pelan saja, tapi tetap saja telah mengguncang dada mereka yang mendengarnya. Salah satu dari mereka yang merasakan kakinya lumpuh tiba-tiba, tapi belum sampai terkencing-kencing, buru-buru menunjuk papan nama di atas pintu gerbang, tanpa berani mengangkat muka. Melirik ke arah si penanya pun tidak.
Suro Gentho menoleh ke arah yang ditunjuk. Sesaat kemudian dia terlihat menyeringai. Memperlihatkan giginya yang masih utuh dan cokelat kehitam-hitaman. Papan kayu itu bertuliskan Sasono Layu, Desa Awon-Awon, Kecamatan Colomadu. Ada kenangan indah di tempat ini dan semoga anak laki-lakinya itu belum mati.
“Tahun berapa sekarang?” tanyanya lagi.
Mula-mula lima orang yang sok berani tersebut tak segera menjawab. Namun, setelah menyadari si penanya adalah orang yang sudah lama mati dan sangat pantas menanyakannya, seseorang segera menyebutkan angka tahun ini.
Sesaat kemudian bibir Suro Gentho berkomat-kamit, mengikuti gerakan jemarinya, menghitung jumlah tahun yang telah dia habiskan di dalam kuburnya. Segera saja mukanya yang keriput itu berkerut. Umurnya sudah 108 tahun. Semua perawan pasti menolak dikawininya.
“Tahu rumahnya Warto? Warto Digdo? Masih hidupkah dia?” tanya Suro Gentho lagi.
Kelima orang tersebut serentak mengangguk.
“Tahu!”
Lalu menggeleng. Juga berbarengan.
“Sudah meninggal.”
***
Hampir semua warga Desa Awon-Awon yang berusia di atas lima puluh tahun kenal nama Suro Gentho. Bahkan pada era 60-an, kekejaman Suro Gentho dan gerombolannya disebut-sebut melampaui kebengisan tentara Jepang.
Ketika belum ada embel-embel genthonya, Suro adalah pejuang. Selain rajin mengganggu pasukan Belanda yang lagi berpatroli di pinggiran Boyolali dengan lemparan bom kotoran kuda dan sambitan ketapel, Suro dan lima temannya juga pernah hendak menyerbu tangsi Belanda di Desa Bangak, Banyudono. Namun, mereka dipergoki tentara Belanda yang lagi patroli naik jip bersenjatakan stengun dan siap ditarik pelatuknya. Satu pejuang dihabisi penembak jitu. Peluru dari jarak dua ratus meter itu menembus belakang kepalanya. Sementara tiga lainnya kena berondongan timah panas sebelum sempat bersembunyi di balik batu. Peristiwa penyerbuan yang gagal itu menyisakan Suro seorang.
Suro juga pernah bahu-membahu dengan Tentara Pelajar dan pasukan Slamet Riyadi saat menggempur Belanda yang sedang berlindung di Benteng Vastenburg, Gladak, Solo. Pertempuran yang berlangsung empat hari penuh itu memakan korban banyak sekali. Mayat-mayat bergelimpangan di sepanjang jalan yang kini dinamai Jalan Slamet Riyadi itu. Namun, Slamet Riyadi yang hilir-mudik sambil memberikan komando justru tidak terluka sedikit pun. Bahkan, tak ada sehelai rambut pun yang kena serempet peluru tentara Belanda. Konon, Slamet Riyadi punya ilmu lembu sekilan. Semua peluru yang mengarah kepadanya tiba-tiba berbelok arahnya sejengkal sebelum mengenai tubuh.
Setelah Belanda benar-benar minggatdari Indonesia, Suro yang sangat ingin menjadi tentara resmi dan digaji negara itu ikut mendaftar sebagai anggota TNI, tapi ditolak. Selain umurnya dianggap terlalu tua, tentara tidak butuh orang yang bertabiat garong seperti dirinya. Tentara yang berisikan orang-orang yang maunya bertindak seenak perutnya dan tak patuh pada pimpinan seperti itu hanya akan mengacaukan seluruh rencana.
Suro mengajukan protes kepada panitia seleksi, tapi tak ada yang menggubris. Bahkan, Suro diusir dan diancam akan ditangkap. Dengan menahan perasaan dongkol yang luar biasa, Suro dan orang-orang yang bernasib sama dengannya kembali ke hutan. Meneruskan perjuangan.
Pasukan liar pimpinan Suro yang selanjutnya disebut gerombolan oleh polisi dan tentara itu tak lagi menyerang para bule atau prajurit kate, melainkan merampok orang-orang kaya, terutama para saudagar, dan tak peduli warna kulit atau tinggi badannya. Menurut Suro, tabiat para pedagang itu tak ubahnya penjajah. Tega berlaku aniaya dan mengeruk harta sebanyak-banyaknya demi kepentingan sendiri. Tak peduli orang lain makan bonggol pepaya agar tidak mati kelaparan.
Setelah beberapa kali hampir kehilangan nyawa dalam duel melawan para jawara pengawal orang-orang kaya, juga polisi dan tentara yang terus mengubernya, suatu hari Suro teringat akan Slamet Riyadi. Walau tak berminat namanya kelak akan diprasastikan sebagai nama jalan raya di seantero Nusantara, Suro ingin mempunyai kesaktian yang sama. Syukur-syukur melampaui. Suro pun pamit kepada gerombolannya. Mengajukan cuti dari merampok demi mencari guru sakti.
Entah siapa pemberi informasinya, Suro pergi Gunung Lawu dan bertapa di puncaknya sebulan lamanya. Merasa belum mendapat kesaktian seperti keinginannya, Suro melanjutkan bersemedi di Gunung Merapi selama tujuh malam tujuh hari. Tirakat kelas berat itu dia jalani tanpa busana, makan, dan minum kecuali meneguk air liurnya sendiri. Belum juga puas akan ilmu yang sudah dia dapatkan, Suro pergi ke Parang Kusuma untuk mengabdi kepada Nyi Roro Kidul selama tiga bulan lamanya.
Walau tubuhnya yang dulu gemuk itu telah menjadi kurus kering seperti sebatang ranting, Suro pulang ke gerombolannya sambil menepuk dada: mengklaim dirinya tak bisa mati. Sejak itu pula Gerakan Rakyat Kelaparan (Grayak) yang biasa beroperasi di wilayah MMC, Merapi-Merbabu Complex, itu bagai mendapat tambahan segudang amunisi.
Gerombolan Suro lalu merampok di mana-mana dan siapa saja. Tak peduli cuaca, tempat, dan waktu. Bahkan, keberadaan polisi atau tentara sekali pun. Suro yang kemudian mendapat gelar gentho itu kadang-kadang justru sengaja ingin mempermalukan para petugas negara itu dengan cara mendatangi rumahnya, merampok harta bendanya, dan tidak lari ketika mereka menembakkan senjata.
Begitulah, walaupun kepala Suro Gentho pecah, dadanya ditembus peluru, dadanya berlubang segede gelindingan bakso, darahnya tumpah melimpah-limpah, begitu tubuhnya menyentuh tanah, Suro Gentho hidup lagi. Tanpa menyisakan bekas luka sama sekali. Begitu yang terjadi setiap kali.
Makin hari kelakuan Suro Gentho makin gila. Dia menentang dan menantang siapa saja untuk melawannya. Lupa di atas langit masih ada langit. Begitu juga di atasnya lagi. Orang sakti dan berilmu tinggi–sebut saja namanya Kumbang–yang oleh para tetangganya hanya dikenal sebagai marbut musala merasa terusik hatinya. Kumbang pun mendatangi markas tentara, membocorkan rahasia kelemahan ilmu pancasona milik Suro Gentho.
Pagi harinya lima belas tentara menguber Suro Gentho ke lereng Gunung Merbabu. Selain senjata, mereka juga membawa jaring yang biasa dipakai untuk memerangkap celeng. Kalau biasanya nyali mereka menciut seperti kelaminnya saat kedinginan, kali itu mereka berangkat dengan langkah gagah. Apalagi sang komandan sudah mewanti-wanti: kalau sampai gagal lagi menangkap Suro Gentho, bakal dikurung di ruang isolasi ditemani ular berbisa sebanyak lima belas biji.
Mendapat laporan dari mata-mata yang bertugas di pinggir Hutan Gondho Mayit bahwa tentara bersenjata lengkap sedang menuju markas Grayak, alih-alih kabur, Suro Gentho justru menyongsongnya seorang diri. Disuruhnya anak buahnya sembunyi. Boleh juga lari dan tidak akan dianggap sebagai pelaku disersi. Namun, anak buah Suro Gentho yang pernah berkali-kali menyaksikan kesaktian pimpinan mereka itu tak mau memilih keduanya. Mereka justru ingin menonton. Apalagi sudah lama sekali mereka tidak mendapatkan hiburan. Wayang kulit terakhir yang mereka tonton sudah dua tahun lalu.
Sesuai petunjuk dari Kumbang, kali ini para tentara tidak langsung menembak Suro Gentho yang terus mengayun-ayunkan goloknya. Namun, mengeroyoknya. Memukuli Suro Gentho hingga pingsan. Lalu meletakkan tubuhnya di atas jaring yang direntangkan. Membungkusnya seakan-akan laba-laba sedang menggulung serangga yang masuk ke dalam perangkapnya.
Dengan sebatang kayu cemara seukuran lengan, dua orang tentara memanggul Suro Gentho seolah-olah celeng yang hendak dibawa ke tempat penjagalan. Sang pimpinan regu segera mendekat. Berdiri tegak di samping tubuh yang lagi terayun-ayun itu. Setelah memberi hormat, ditembaknya kepala Suro Gentho tiga kali.
Setelah menunggu lima belas menit dan ternyata Suro Gentho tetap juga mati, seratus dua anggota gerombolan yang sedang bersembunyi di balik gerumbul ilalang dan batang pohon jati itu pun segera berhamburan. Pontang-panting seperti sedang dikejar setan.
Sebagai bentuk penghormatan terakhir kepada pejuang yang telah beralih kiblat menjadi bajingan itu, komandan tentara memerintahkan anak buahnya agar memakamkan Suro Gentho di tempat kelahirannya. Atau di tempat lain yang barangkali disukainya. Karena tak ada yang asal usul Suro gentho, dipilihlah opsi kedua. Setelah seharian dipajang di lapangan sepak bola seperti babi panggang, mayat Suro Gentho dibawa ke kompleks pemakaman berjarak lima belas kilometer dari markas tentara. Di Desa Ngawon-Awon itu ada perempuan yang diakui Suro Gentho sebagai istrinya.
Setelah diadakan upacara militer sederhana, diiringi tembakan salvo tiga kali, Suro Gentho dikubur dengan cara khusus. Mayatnya diikat kawat pada potongan besi yang tergantung setengah meter dari dasar lubang. Sebelum jasadnya mulai ditimbun tanah, di atas potongan besi yang silang menyilang seumpama kerangka cor-coran jembatan itu ditutupi lembaran seng.
Selain tentara, tak ada pelayat lain di kompleks pemakaman berumur sangat tua itu kecuali perempuan yang sedang menggendong bayi laki-lakinya. Keduanya terus menangis. Si perempuan karena sedih; si bayi sebab lapar. Ingin menyusu, tapi ibunya tak mau lagi membuka bajunya di depan tentara.
Bayi yang terus menangis itu Warto Digdo alias Mbah Mantan, kepala desa lama. Namun, sudah meninggal. Saat ini kepala desanya Wagino Digdo, anak laki-laki Warto Digdo, yang berarti cucu Suro Digdo alias Suro Gentho.
***
Suro Gentho tiba di rumah Wagino Digdo menjelang Magrib. Sang cucu menyambutnya di depan pintu gerbang. Lima menit sebelumnya salah satu orang yang tadi menyaksikan kebangkitan kakeknya itu telah memberitahu. Wagino Digdo memeluk Suro Gentho penuh keakraban, memperkenalkan istri dan anak laki-lakinya, lalu membawanya ke ruang keluarga. Semua lampu dinyalakan seolah-olah ada pesta. Semua hidangan disajikan seakan-akan sedang kedatangan raja.
Seperti wabah kolera, berita tentang Suro Gentho yang bangkit dari kuburnya itu pun menyebar ke mana-mana. Tanpa menunggu datangnya pagi, orang-orang berdatangan ke rumah Wagino Digdo yang besar dan mewah itu. Demi bisa menonton Suro Gentho, mereka bahkan rela berdesakan-desakan di halaman dan jalanan dan berebut memanjat pohon. Ada juga yang tak memasang tenda di samping comberan di dekat sumur.
Paginya Wagino Digdo menjumpai para penonton yang menyemut di sekitar rumahnya. Sang kepala desa yang sedang digadang-gadang oleh partai politik berlambang kepala celeng untuk dimajukan sebagai calon bupati pilkada tahun depan itu mengatakan, Suro Gentho telah pergi. Itu saja. Lalu masuk rumah lagi. Ditutupnya pintu rumahnya rapat-rapat. Dibiarkannya orang-orang bergelut dengan tanda tanya.
***
Konon kabarnya, sebenarnya, Suro Gentho tidak ke mana-mana. Masih di rumah itu juga. Menyiapkan cucunya menjadi penerusnya.***
Kajen, 8 November 2021
Dewanto Amin Sadono, guru SMP dan penulis, tinggal di Kajen, Pekalongan. Cerpen-cerpennya memenangkan beberapa lomba dan diterbitkan dalam beberapa kumpulan cerpen juara. Novel Ikan-Ikan dan Kunang-Kunang di Kedung Mayit menjadi Juara 1 lomba Novel yang diadakan Perpusnas Writingthon Festival, Oktober 2022.