Cerpen

Syarat

March 28, 2023

Cerpen Kesit Himawan

Nama Rudi Koplak akhir-akhir ini menjadi buah bibir di desaku, Desa Sambisari. Pemuda yang sehari-hari tidak jelas apa pekerjaannya, kini setiap hari didatangi banyak orang. Berbagai jenis kendaraan silih berganti parkir di halaman rumahnya. Dari kabar yang sampai di telingaku, Rudi Koplak kini telah menjadi “orang pintar”. Menurut salah satu tamu, setiap permohonan dari orang yang datang kepadanya pasti terkabul, termasuk perkara menolak hujan.

Besok malam, tepatnya Jumat Kliwon, Desa Sambisari akan mengadakan pertunjukkan seni dalam ajang pesta rakyat di balai Desa Sambisari. Sedangkan saat ini sedang musim hujan. Kepala Desa memintaku untuk mencari pawang hujan agar kegiatan tersebut dapat berjalan dengan lancar. Sebenarnya aku tidak percaya atau mungkin bisa dikatakan belum percaya atas perihal yang aku anggap tidak masuk akal. Dalam pemahamanku, keberhasilan seorang pawang hujan bisa menghentikan hujan hanyalah kebetulan belaka. Karena memang saat itu sudah waktunya hujan reda atau memang bukan waktunya turun hujan.

Pagi ini, aku memutuskan untuk menemui Rudi Koplak karena desakan terus-menerus dari warga desa. Rudi Koplak adalah satu-satunya pawang hujan yang pernah kudengar. Setelah mengutarakan maksud kedatanganku. Rudi Koplak mulai menjelaskan tentang profesinya. Setiap orang yang datang kepadanya mempunyai maksud dan tujuan yang berbeda-beda. Mulai dari menyingkirkan hujan, permintaan nomor togel, pencarian residivis, sampai perkara ranjang. Dia bercerita bahwa pernah ada seorang guru ngaji yang datang ke rumahnya untuk meminta “syarat” agar para anak didiknya bisa diajak untuk memadu kasih. Namun dia tidak bersedia memenuhi keinginan guru ngaji tersebut. Bukan karena dia tidak mampu, namun baginya apa yang dirasa tidak baik, akan menjadikan buah yang buruk di kehidupannya.

Rudi Koplak berbicara lantang dengan suara serak-serak basahnya,. “Sudah. Yang penting yakin ya!”Aku hanya mengangguk saja. Dalam hatiku menahan tawa atas apa yang diucapkannya. Karena seumur hidup baru kali ini, aku berhubungan dengan dukun. Kemudian Rudi Koplak berdiri dari duduknya. Dia melangkah keluar rumah. Aku menunggu dengan sabar sambil mengisap rokok dan melihat sekeliling ruangan tamu. Tidak beberapa lama, Rudi Koplak masuk ke rumah sambil membawa sebuah daun merah kecil yang dibalik, ditusuk dengan lidi dan di bawah daun itu terdapat satu siung bawang merah. Dari penjelasan dukun itu, daun itu bernama sinom merah.  Menurutnya, sinom merah sebagai simbol atas sebuah permintaan. Dia bercerita kalau pohon itu adanya hanya di puncak Gunung Kendalisodo yang bernama puncak Hanoman. Dengan lelaku tirakat, puasa dan tidak tidur sebulan penuh di gunung itu, akhirnya dia mendapatkan wangsit untuk mengambil pohon sinom merah. Dia mengatakan kalau Kyai Anoman yang selama ini membantunya sebagai pawang hujan. Kyai Anoman memiliki ajian Sappo Angen pemberian Dewa Bayu yang akan menyingkirkan segala penghalang yang ada di depan mata, termasuk hujan. Aku hanya manggut-manggut mendengarkan kisah itu..

“Syarat ini dibawa dengan tangan kiri. Nanti ditancapkan di tanah, di tempat yang jarang disambangi orang. Jangan sampai ambruk!” pesannya kepadaku. “Oh, iya. Satu lagi, jangan berbicara dengan orang lain mulai sekarang sebelum kamu menancapkan syarat ini di tanah,” tambahnya sebelum kakiku melangkah keluar dari rumahnya.

***

Sejak pagi, mendung hitam menggantung rata di langit Desa Sambisari. Setiap orang berkali-kali menengadah berharap mendung segera menyingkir. Aku turut cemas. Aku terus berdoa agar “syarat” berupa daun sinom merah yang diberikan Rudi Koplak benar-benar bisa menjadi penyingkir mendung agar hujan tidak terjadi nanti malam. Aku masih ingat suara serak-serak basah dari mulut Rudi Koplak. Yang penting yakin ya!

Kesibukan dalam persiapan acara sedikit mengalihkan perhatianku. Namun sesekali, aku melihat langit. Warna hitam itu perlahan-lahan mulai bergeser menjauh. Ada sedikit perasaan lega. Aku merasa malam ini tidak terjadi hujan, juga menjadi tanggung jawabku. Karena aku yang mencari pawang hujan dan menaruh “syarat” penolak hujan.

Ketika semua perlengkapan untuk acara pentas seni selesai dipersiapkan, aku beranjak ke tempat “syarat” yang aku letakkan, yaitu di belakang balai desa. Jantungku berdebar-debar dengan keras. Terdengar riuh suara gerombolan bebek. Mereka bergerak ke arah benda yang kutancapkan. Belum sempat aku mengusir mereka, gerombolan bebek itu menerjang daun sinom merah dan bawang yang ditusuk lidi itu. Benda itu ambruk. Kebetulan di belakang balai desa adalah rumpun bambu yang berbatasan dengan area persawahan. Aku tidak menyadari bahwa tempat itu menjadi jalur bebek yang sedang digembala. Memang sebenarnya aku sedikit menyepelekan benda yang diberikan dukun itu. Sehingga aku tidak begitu mempertimbangkan pemilihan letak untuk menancapkan “syarat” yang diberikan Rudi Koplak. Gegas aku mengusir gerombolan sialan itu. Mengambil benda yang diberikan Rudi Koplak dan mencari tempat yang kurasa lebih aman dari segala gangguan.  

Langit sore tampak ayu dengan semburat jingga keunguan. Aku lega, apa yang terjadi dengan “syarat” yang diberikan si dukun ternyata tetap bekerja dengan baik. Bahuku ditepuk seseorang dari belakang. Spontan, aku menoleh. Setelah selesai memindah benda itu, aku kembali ke halaman balai desa melihat tim dekorasi menyelesaikan pekerjaannya.

Yang penting yakin ya!”. Suara serak-serak basah itu kembali bergema di gendang telingaku.

“Terima kasih, Kang Koplak. Nanti malam, acara pasti ramai,” jawabku. Anggukan kepalanya sebagai tanda setuju sambil melangkah meninggalkanku.

Aliran kedatangan warga ke balai desa seperti air sungai Desa Sambisari yang deras. Warga riuh bertepuk tangan setiap kali pertunjukkan pentas selesai. Malam ini, setiap dusun menyajikan penampilan yang terbaik. Maklum saja, sejak adanya pandemi wabah penyakit, jarang sekali diadakan hiburan di desa ini. Sehingga antusias warga begitu besar. Semua wajah penonton berbinar-binar. Pertunjukan yang paling ditunggu adalah pementasan tari Kethek Ogleng.

Gendhing Suwe Ora Jamu mengalun sebagai tanda pementasan tari Kethek Ogleng dimulai. Penari itu bergerak gesit menyerupai gerakan kera. Naik ke atas kursi. Kemudian dia memanjat batang bambu di mana terdapat tali yang menggantung di antara di batang bambu. Dengan luwesnya, penari itu bergelantungan. Tepuk sorak dan teriakan memberi semangat penari Kethek Ogleng itu.

Di tengah-tengah gerak lincah yang penari kera putih itu, hujan turun dengan hebatnya tanpa ada tanda-tanda rintik hujan atau langit yang menghitam. Aku berlari tergopoh-gopoh menuju daun sinom merah yang tadi kutancapkan. Benda itu masih berdiri tegak. Tetapi hujan tetap turun dengan derasnya. Aku teringat kejadian tadi sore. Aku merasa sangat bersalah. Kelalaianku membuat acara pentas seni malam ini berakhir berantakan.

Dari jauh, aku melihat Rudi Koplak lari tergopoh-gopoh. Pakaiannya basah menerjang hujan. Kemudian dia menghampiriku.  “Maaf. Hari ini, hari nahasku,” ucap Rudi Koplak lirih hampir tak terdengar, terkalahkan deras hujan. Aku melangkah gontai meninggalkan Balai Desa Sambisari dengan penyesalan yang mungkin tak akan bisa terobati.***


Kesit Himawan Setyadji, lahir di Saradan, Wonogiri. Kini tinggal di Sukoharjo. Selain berkecimpung di bidang arsitektur, saat ini juga bergiat menulis di Komunitas Kamar Kata Karanganyar. Surat menyurat bisa melalui alamat surel: setyadjikesit@gmail.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *