Cerpen

Panmunjom

Aroma gas menyerang masuk ke lubang hidung Lee. Dia merangkak semakin jauh, hampir tidak ada tenaga tersisa. Dia lalu mengintip sedikit ke balik bahunya yang ringkih, tersisa sedikit sinar dari luar. Sinar itu datang dari senter si tentara kedua yang perlahan-lahan redup. Dari kejauhan dia mendengar beberapa kawannya yang memberontak. Mereka melawan tidak ingin masuk ke lubang-lubang bergas itu. Kekacauan terjadi di luar. Rupanya mereka hanya berpindah lokasi pekerjaan. Pabrik kayu ditutup, tetapi mereka harus menjadi budak penambangan Utara.

Continue Reading...

Cerpen

Mereka yang Dijemput, lalu Bertemu Malaikat Maut

Kelengangan terusik. Aku menoleh dan bangkit ketika mendengar sesuatu patah akibat terinjak. Naluriku langsung berkata ada bahaya saat melihat ke sekeliling dangau. Di bawah sorot remang cahaya bulan, aku melihat beberapa orang bergerak dengan mengendap-endap ke arahku. Cara bergerak yang mencurigakan itu membuatku yakin bahwa salah satu dari mereka bukan Sahir.

Continue Reading...

Cerpen

Berkabung

Kupalingkan badan, kamar kontrakan kami berukuran tiga kali empat, dari tempatku berdiri aku masih bisa melihat senyumnya. Aku berjalan mendekatinya, memandangnya, mengelus tangannya yang kian keriput, gurat-gurat menua sudah memenuhi wajahnya. Tapi senyumnya masih sama.

Continue Reading...

Cerpen

Ingin Kuinjak Kepala Orang Ini

Bersusah payah aku jalan sambil satu tanganku memegang Hanifah pada bagian dadanya agar kepalanya tidak terantuk kepala motor. Mendadak kurasakan sesuatu yang hangat menempel pada tanganku. Sialan! Dia tidur sampai ileran.

Continue Reading...

Cerpen

Seandainya Boleh Memilih

Ia menggeram. Salya, orang yang kepadanya ia titipkan nyawanya, bapak angkat yang telah dianggapnya sebagai bapak sendiri, kusir kereta perangnya ketika pertempuran itu terjadi ternyata lebih mencintai orang itu dan memilih dirinya yang harus mati. Ia menghela napas panjang, lalu menengadah seolah-olah ingin menemukan jawaban atas ribuan pertanyaan di benaknya dan di langit sana tak ada apa-apa kecuali awan lembayung. Ah, alangkah bahagia andai ia bisa memilih cara dan tempat matinya sendiri.
Tiba-tiba ia menggeram. Wajah yang semula seolah-olah onggokan kain basah di pojokan kamar mandi itu tiba-tiba memancarkan sinar. Sorot mata rusa tua yang ketinggalan kawanannya itu seketika menjadi mata seekor singa yang siap menerkam mangsanya.

Continue Reading...

Cerpen

Susu Kemasan Berwarna-Warni untuk Kenta

Pemilik suara itu adalah seorang wanita awal dua puluhan. Rambut hitam berkilaunya dikuncir kuda. Matanya memancarkan keriangan dan kehangatan. Senyumannya terlihat tulus dan menyenangkan. Ia mengenakan apron biru dan kemeja kuning, seragam pegawai mini market tersebut. Di dada kirinya terdapat papan nama bertuliskan “Yamanaka”. Ia terlihat sedikit berisi, mungkin karena pipinya putih merona itu sedikit tembam. Secara keseluruhan, ia bisa dibilang manis. Sejenak Satoshi tertegun. Begitu juga Kenta.

Continue Reading...

Cerpen

Menghafal Wajah

Perempuan itu duduk di kursi, menciptakan hening. Aku pergi dari keheningan, membuat teh. Usai menyajikan teh aku berdiri tidak jauh darinya. Seperti pengawal putri kerajaan, aku menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya. Hening kembali. Ia menyeruput teh.

Continue Reading...