Paginya, pundak Ken diguncang oleh mamanya. Ia terbangun dan melihat mama sudah berada di sampingnya dengan mata yang sembab. Ken pura-pura tak tahu menahu tentang tangisan mamanya semalam. Ia mengucapkan selamat pagi kepada mamanya, lalu memeluk perempuan lembut itu, sama seperti pagi-pagi biasanya.
Tag: cerpen ideide.id
Kamu tahu kan, sejak kecil aku suka sekali merangkai syair dan nada-nada? Mereka seringkali membesuk kepala. Lalu menyusup ke tangis, tawa, marah, kecewa, bahagia, bahkan dalam diam.
Saat segala kecamuk berkelindan dalam benak, Anwar Saleh merindukan rumah. Dia ingin namun tak ingin. Baginya, pulang sama saja mengakui kesalahan yang sepenuhnya tak pernah dia lakukan. Pikiran tentang keinginannya pulang kali ini bersebab dari segala yang dia temui beberapa hari lalu, juga beberapa waktu saat Eti Ncus ada di panggung.
Tak banyak hal diketahui Kodrat mengenai Ki Broto dan pedepokannya. Masih terselubung rahasia. Terselubung misteri. Di mata Kodrat, penampilan Ki Broto – yang senantiasa mengenakan lurik dan blangkon – tampak setenang kabut Gunung Merapi. Kodrat merasa harus lebih banyak meluangkan waktu untuk memahami lelaki setengah baya itu. Ia, yang baru sekali bersua Ki Broto, mengikis rasa canggung berhadapan dengannya.
“Sekali kita masuk ke dalam sesuatu, maka mustahil untuk bisa benar-benar keluar darinya.” Itu merupakan pesan pembuka dari sebuah suara yang diputar berulang-ulang oleh Qeff di waktu luangnya menikmati kesendirian, di ruang pribadi yang didesain minimalis dengan suasana senyaman mungkin. Perpaduan ruang kerja sekaligus tempat bersantai.
Kau menatap perempuan itu lagi, dia mengangguk perlahan. Patah hati, itu yang kini tengah dia rasakan. Kau tidak pernah merasakan patah hati karena hidupmu terlalu monoton untuk merasakan cinta. Namun, dari tatap perempuan itu, kau tahu bahwa patah hati sangat menyakitkan.
Aku duduk di sini dan mereka menempati tempat duduk yang lain, yang ada di depanku. Si laki-laki, kalau tidak ada perempuan di depannya, bisa dikatakan ia sedang berhadapan denganku. Sementara si perempuan memunggungiku. Awalnya aku tak peduli dengan pembicaraan mereka, tapi ketika sampai pada kalimat itu, yang sudah kutulis di awal paragraf cerita ini, aku mulai ikut menyimak.
Produser masuk ke gedung pertunjukan melalui pintu utama. Lima detik lamanya ia tidak bergerak memandang tubuh sutradara pementasannya tergantung di tengah panggung. Dua orang petugas dari rumah sakit ikut bersama produser dengan membawa tandu dan peralatan lainnya. Mereka berdua segera mendekat ke arah panggung untuk menurunkan jenazah. Produser menghampiri asisten sutradara dan memeluknya. Tangis asisten sutradara tidak terbendung. Penata artistik melompat dari bibir panggung dan mendekati produser. Aktris yang sedari tadi menangis masih tersedu di tempat duduknya. Pemain musik ikut mendekat ke produser sambil menenteng biolanya.
Malam hari, semua orang berkumpul membicarakan apa yang telah terjadi. Ada yang ketakutan setengah mati, ada yang menganggap hal itu biasa, dan kebanyakan orang menganggap bahwa leluhur Danau Kelimutu marah. Alhasil para arwah mulai bergentayangan. Namun, yang pasti tak ada yang tahu siapa identitas perempuan yang menggendong bola mata. Yohanes Wato yang ditanya warga pun hanya membisu, seakan ada rahasia yang harus ditutup rapat-rapat. Mereka mulai bergegas pulang ke rumah masing-masing. Berdoa supaya tak hal buruk yang akan datang.
Ambulance sempat berhenti dan terdengar Samat berbicara dengan seseorang. Astaga, tega nian aparat masih berani dan tidak percaya pada isi ambulance jenazah. Aku gemetar saat suara pintu belakang dibuka, cahaya kecil tampak menerpa bagian kakiku. Mungkin si petugas tidak berani membuka peti terlalu lebar. Jika sedikit saja sudah memastikan ada tubuh berbalut kafan, aman sudah. Aku berusaha tidak memikirkan apa-apa. Sampai rasanya mataku pedas dan mengantuk. Aku hanya ingat pipiku ditepuk dengan kencang setelahnya.