Cerpen

Tameng

January 10, 2023

Cerpen Puspa Seruni

Setelah pertengkarannya dengan Mae, di antara suara isak tangis juga angin yang menerpa wajahnya, Hasbi akhirnya mensyukuri keberadaan benda di tangannya. Benda yang terlihat bergaris dua itu menjadi penyelamatnya. Hasbi tersenyum samar menatap benda yang sedikit berbau pesing itu, meski sebelumnya benda itu pula yang memantik amarahnya seolah Mae sedang mengencingi wajahnya.

Lima belas menit yang lalu, Hasbi menerima benda yang disodorkan Mae dengan tangan bergetar. Mae membangunkan Hasbi yang masih bergelung dengan sarung dan gulingnya di atas kasur tipis di lantai yang terletak di sebelah ranjang. Hasbi bergeming menatap benda yang disodorkan Mae. Hasbi pernah melihat benda serupa saat dia memergoki teman sekolahnya menangis di toilet perempuan. Benda kecil yang membuat temannya harus dikeluarkan dari sekolah. Dengan mata yang masih mengantuk, Hasbi mengalihkan pandangan dari benda di tangannya kepada Mae dengan wajah penuh tanya.

“Aku hamil,” ucap Mae singkat dengan wajah yang datar tanpa rasa bersalah.

Perempuan itu kemudian beranjak lagi ke atas ranjang sambil memijat-mijat dahinya, seolah ucapannya hanya angin lalu yang tak perlu ditanggapi oleh Hasbi. Mae memang tidak membutuhkan tanggapan Hasbi, dia hanya merasa perlu memberitahukan informasi itu karena Hasbi adalah suaminya. Mae tak peduli pada raut wajah Hasbi yang berkerut. Alih-alih merasa bahagia karena istri yang dinikahinya satu tahun lalu itu mengandung, Hasbi justru bingung dan merasa seolah Mae sedang mempermalukannya. Hasbi membeku di tempatnya.

Kedua mata Hasbi terus menatap benda di tangannya. Akan tetapi pandangannya tidak pada benda itu, melainkan tembus pada kejadian satu tahun lalu. Hasbi baru lulus SMA saat itu. Dia melihat Pi’i, Bapak Mae, duduk di ruang tamunya. Jantungnya kebat kebit apalagi setelah mendengar penuturan ibunya.

“Kang Pi’i datang kesini untuk melamar kamu, Le.”

Jangan … jangan … emak …. Batin Hasbi berkecamuk. Jantungnya semakin berdegup kencang.

“Maksudnya, Mak?” tanya Hasbi tak mengerti.

Seolah memahami kebingungan anaknya, Zubaidah memberi penjelasan. Sontak saja Hasbi terperangah. Hasbi semakin bingung karena melihat wajah ibunya yang semringah. Terdengar suara berdehem dari Pi’i. Suara berat itu membuat nyali Hasbi ciut. Lelaki bertato itu selalu berhasil memaksakan kehendaknya kepada Hasbi.

“Aku mau kamu menikah dengan Mae. Kudengar kamu teman dekat Mae, dia sering menyebut-nyebut namamu.”

Hasbi semakin terkejut. Sejak kapan Mae menjadi teman dekatnya? Hasbi bergumam dengan dahi berkernyit. Siapa yang tidak mengenal Mae di sekolah, perlakuannya kepada Hasbi tentu tak bisa diartikan mereka berteman.

Menikah dengan Mae? Itu artinya …. Hati Hasbi merintih.

“Akan ada imbalannya, tenang saja. Aku sudah bicarakan dengan Zubaidah, biaya sekolah adik-adikmu aku yang tanggung. Selama kamu menjadi suami Mae dan bersikap baik, kamu dan adik-adikmu aman. Bagaimana?”

Hasbi menelan ludah, tenggorokannya terasa kering. Dia menoleh pada ibunya yang sedang menoleh ke arahnya. Tidak pernah terlintas dalam pikirannya akan menikah dengan orang yang selalu mengganggunya di sekolah. Mae tentu tak akan diam saja jika mengetahui bapaknya akan menikahkannya dengan Hasbi.

Dan kenyataannya Mae memang menolak dengan keras rencana perjodohan itu. Dia tidak mau menjadi ejekan teman-temannya. Mae bergidik jijik membayangkan harus satu ranjang dengan lelaki kurus, dekil yang rambutnya selalu diminyaki itu. Dia tahu dirinya bersalah. Bapaknya teramat marah saat memergoki Mae berduaan dengan Arifin tanpa pakaian di sebuah gerbong kereta tua. Kejadian itu membuat Pi’i mengurung Mae selama satu bulan di kamarnya.

Pernikahan Mae dan Hasbi dianggap sebagai jalan keluar terbaik menurut Pi’i. Satu bulan setelah lamaran itu, pernikahan akhirnya di gelar. Pi’i tidak peduli penolakan Mae serta kebingungan Hasbi. Hasbi tidak punya pilihan karena dia harus membantu ibunya membiayai sekolah adik-adiknya. Lagipula, Hasbi selalu tidak kuasa menolak permintaan Pi’i.

“Ingat, ya. Kita hanya menikah pura-pura. Jangan coba menyentuhku,” ucap Mae di malam pertama pernikahan mereka.

Ijab Kabul sudah dilaksanakan pagi tadi. Acara selamatan dan resepsi sudah digelar dengan sederhana di halaman rumah Mae. Di malam pertama mereka menikah, Mae sangat menolak berdekatan dengan Hasbi. Mae tidak pernah mengijinkan Hasbi mendekat ke ranjang. Selama satu tahun mereka tidur terpisah. Hasbi menggelar kasur tipis di lantai sementara Mae menguasai dipan. Sampai pagi ini, saat Mae mengatakan dirinya hamil, Hasbi sama sekali belum pernah menyentuhnya.

“Anak siapa ini, Mae?”

Hasbi terbangun dari lamunannya. Dia menoleh pada Mae yang sudah berselimut di atas kasur. Mae tidak menjawab, dia hanya mengusap wajahnya yang berkeringat sambil menahan mual yang mulai mengganggunya.

“Bagaimana kamu bisa hamil?” desak Hasbi, menghampiri Mae.

“Tidak perlu marah begitu. Sejak awal bukannya kamu tahu bahwa pernikahan ini memang hanya tameng?” Mae menatap tajam kepada Hasbi.

“Bukankah kehamilanku memang diperlukan supaya kamu bisa terus hidup dengan duniamu? Supaya orang-orang tak lagi berkasak-kusuk membicarakanmu yang dianggap aneh oleh mereka?” Mae mencerca Hasbi dengan pertanyaan yang membuat Hasbi gemetar.

“Terima saja kehamilanku. Aku juga tidak tahu siapa bapaknya. Anggap saja anak ini penyelamatmu, maka balaslah dengan menjadi bapak yang baik juga untuknya. Sama-sama diuntungkan, bukan? Kita berdua butuh tameng untuk menutupi kebusukan kita masing-masing.”

Mae tersenyum sinis menatap Hasbi yang terlihat terkejut dan pucat pasi. Mae berbalik, memunggungi Hasbi dan sibuk dengan rasa mual di perutnya. Sementara Hasbi membeku. Bulir hangat mengalir di pipinya.

Perkataan Mae membuatnya teringat pada kejadian tujuh tahun lalu, saat usianya masih dua belas tahun. Siang itu Pi’i datang mengetuk pintu rumahnya. Hasbi bergegas membuka.

“Ibu masih di pasar,” ucap Hasbi.

Pi’i hanya tersenyum kemudian masuk. Lelaki itu memang kerap datang. Hasbi mengenalnya karena Pi’i sering membantu ibunya mengangkut barang dagangan di pasar. Pi’i petugas parkir sekaligus preman pasar. Dia lelaki yang baik dan sering membantu keluarga Hasbi. Bahkan Hasbi sempat berpikir bahwa Pi’i tertarik pada ibunya yang sudah menjadi janda sejak usía Hasbi tiga tahun.

Penilaian Hasbi kemudian berubah 180 derajat saat Pi’i mendekat dan menatapnya dengan tatapan yang berbeda dari biasanya. Hasbi berusaha memalingkan wajah. Pi’i terus mendekat, mendesak dan dengan tangannya yang kekar menarik Hasbi. Hasbi nyaris berteriak sebelum tangan kiri Pi’i membekap mulutnya.

Sejak kejadian siang itu, Pi’i kerap datang. Dia terus mengulangi perbuatannya kepada Hasbi. Parahnya, setelah usía Hasbi beranjak remaja, ada satu hal yang disadarinya. Dia seringkali merindukan sentuhan lelaki dewasa, seperti Pi’i menyentuhnya. Hasbi sangat tahu itu salah, tetapi hasratnya kerap tak bisa dibendung. Dia mulai terbiasa dan merasa nyaman dengan keberadaan Pi’i.

“Kamu tinggal saja di rumahku. Mae membutuhkanmu, begitu juga aku,” bujuk Pi’i sebelum día datang melamar Hasbi kepada Zubaidah.

Ingatan itu membuat Hasbi menggigil ketakutan. Dia beranjak keluar kamar meninggalkan Mae yang masih berselimut di atas ranjang. Hasbi mengayuh sepedanya, menjauh dari rumah. Dia memang butuh tameng untuk menutupi masa lalunya.

Tapi bayi itu tidak bersalah, Hasbi menggumam sambil menyeka sudut matanya.***

Jembrana, 27 Desember 2022


Puspa Seruni, penulis kelahiran Situbondo-Jawa Timur yang saat ini menjadi pengajar di Politeknik Kelautan dan Perikanan Jembrana, Bali. Penulis terpilih sebagai Emerging Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2022.

Only registered users can comment.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *