Cerpen Erwin Setia
Todo adalah lelaki bernasib mujur sampai ia bertemu lelaki bercodet sepanjang telunjuk di dahi kiri pada suatu siang yang sangat terik. Saking panasnya, ia merasa jarak pemisah antara kepalanya dan matahari hanyalah selembar plastik. Todo sedang berjalan di emperan terminal dengan ransel padat di punggung. Ia berjalan setenang orang saleh sampai Lak Wahar, lelaki bercodet itu menjambret ponselnya dan berlari secepat rusa.
Lelaki sialan itu sudah berbelok ke suatu gang ketika Todo baru sadar akan situasi yang terjadi. Ia berteriak, terengah-engah menyebut kata ‘maling’. Puluhan kali ia meneriakkan kosakata itu, namun tak seorang pun beranjak dan sekadar bertanya, “Pergi ke mana malingnya?” Tidak ada. Orang-orang yang tengah makan siang dan minum kopi di warung bergeming. Begitu pula para pengguna jalan, sopir angkot, tukang ojek, pedagang asongan, pemarkir liar, seorang petugas lalu lintas di kejauhan—mereka tetap terpaku pada pekerjaan masing-masing.
Todo mengutuk orang-orang yang hanya menonton nasib buruknya. Setelah kata ‘maling’ tak digubris siapa-siapa, dengan volume sedikit lebih keras, ia melemparkan makian sambil mengedarkan pandangan kepada muka-muka yang bisa dijangkaunya.
“Dasar pecundang kalian semua! Goblok! Ada orang kesusahan cuma planga-plongo. Pecundang!”
Di satu deretan kursi, sekelompok tukang ojek memelototi Todo seraya menggeleng-gelengkan kepala.
“Orang sinting!” umpat seorang tukang ojek berjaket hitam yang mengenakan kaos Juventus.
“Dia pikir dia saja yang pernah kemalingan. Kayak baru kenal dunia saja,” ujar seorang yang lain setengah mencibir.
Sebetulnya Todo tinggal menumpangi satu angkutan lagi ditambah berjalan kaki kira-kira lima menit sebelum tiba di rumahnya. Istri dan anaknya yang genap berumur setahun sebelas hari lalu sudah menunggunya. “Yah, kabari ya kalau sudah naik angkot.” Demikian pesan istrinya.
Angkot yang menuju ke arah rumahnya tak terhitung melintas di hadapannya. Ia bisa segera menaikinya kalau mau. Namun, bara dalam dada Todo belum padam. Ia masih belum rela ponsel kesayangannya lenyap begitu saja. Ia ingin mengejar penjambret kurang ajar itu sampai dapat dan membayangkan akan menghajar mukanya sampai sebonyok bangkai tikus terlindas ban truk.
Todo sekilas melihat wajah Lak Wahar. Sekilas artinya sebentar saja dan tidak banyak yang dapat ia ingat. Yang paling diingatnya adalah codet seukuran telunjuk di jidat orang itu. Ingatan tentang codet membuat Todo terkesiap. Ia berusaha menggali ingatan lain perihal penjambret tadi, tapi tak kunjung mendapat detil yang lebih lengkap. Setelah mengeratkan ransel di punggungnya, Todo berlari, menuju gang tempat si penjambret berbelok. Dadanya berdebar-debar.
***
Sepuluh tahun lalu Todo adalah seorang anak SMA yang lurus belaka. Ia tak punya catatan buruk selama di sekolah dan nilai rapornya juga melulu menerbitkan senyum bangga di wajah kedua orang tuanya. Namun, sebagaimana lazimnya remaja puber, hatinya pernah disusupi gairah cinta. Gairah itulah yang kemudian membuatnya berani menerima tantangan Harwo, murid kelas lain yang sesumbar mengaku sebagai satu-satunya orang yang berhak menjadi kekasih Melati. “Hadapi gua kalau ada yang coba-coba berani mendekati Melati.”
Harwo memang seorang murid yang berada di kutub berseberangan dengan Todo. Kalau Todo tergolong dalam murid baik-baik, tidak demikian Harwo. Harwo adalah kepala geng kelompok murid nakal yang hobi tawuran dan mengganggu anak-anak lemah. Sementara peringkat Todo di kelas selalu berada di puncak, Harwo adalah antitesanya, kemampuan akademiknya terbenam sedalam lumpur tempat anak-anak pada masa itu bermain kala musim hujan.
Maka tibalah hari itu, hanya beberapa pekan sebelum ujian akhir sekolah diselenggarakan. Disaksikan beberapa murid lain, Todo dan Harwo berdiri berhadap-hadapan di lapangan belakang sekolah. Lima puluh menit sebelumnya bel pulang berbunyi. Lingkungan sekolah sudah melompong. Tinggal ada petugas kebersihan dan satpam yang tak begitu memedulikan apa-apa yang terjadi di luar jam sekolah.
Keduanya saling menatap dengan pandangan beringas seolah sepasang macan yang hendak mencabik diri masing-masing. Postur tubuh mereka terbilang setara. Tidak ada yang kelewat lebih tinggi atau lebih gemuk. Menit-menit awal mereka berdiam-diaman. Tidak ada yang terburu-buru menyerang. Sorak-sorai kian menggeru di sekeliling mereka. Dada yang panas pun kian berapi-api. Akhirnya, setelah sekira tujuh menit kesunyian, Todo dan Harwo sama-sama bergerak maju, melayangkan pukulan, dan… Bam! Mereka terkena pukulan masing-masing. Namun, lantaran kekuatan pukulan yang lebih baik dan jam terbang perkelahian lebih banyak, pukulan Harwolah yang mampu menjatuhkan lawan tanding, bahkan Todo sampai tersungkur tak bangun-bangun beberapa lama di atas tanah. Sedangkan pukulan Todo yang tipis saja mengenai pipi Harwo, hanya membikin pipi Harwo agak perih. Tapi, bagi Harwo, itu bukanlah apa-apa.
Berhasil menjatuhkan Todo, Harwo menepuk dada bangga. Sebelum pertarungan, keduanya bersepakat, siapa yang jatuh duluan maka ialah yang kalah dan harus menjauh dari Melati.
Todo yang masih terbujur kesakitan, memandangi lekat-lekat sebuah benda keras dan panjang yang tergeletak sejangkauan tangan darinya. Pelan-pelan, ia mengangsurkan tangannya menuju benda itu. Saat Harwo masih berlari-lari kecil penuh jemawa mengelilingi lapangan, Todo sudah menggenggam benda itu. Ia bangkit cepat, menyabitkan kawat besi tersebut kepada Harwo yang tak pernah menduga bakal mendapat serangan dadakan. Kawat itu menggores dahi kiri Harwo. Menyisakan rasa perih yang sangat. Sebagai balasan, Harwo mendorong tubuh Todo, memukul dan menendanginya berkali-kali.
Todo pingsan. Satpam sekolah melerai keributan itu. Beberapa minggu setelahnya, ujian akhir sekolah diadakan. Todo lulus dengan nilai sangat memuaskan. Sedangkan Harwo sudah lebih dulu dikeluarkan dari sekolah gara-gara membikin pingsan Todo. Sejak itu, ia tak lagi bersekolah, dan sejak itu pula orang-orang menjauhinya—termasuk Melati, perempuan yang begitu dicintainya.
***
Todo akhirnya menemukan penjambret itu. Lelaki bercodet itu tengah menyuapi seorang anak kecil yang tampak lungkrah ketika Todo memapasinya di suatu rumah papan yang berada di pojok gang.
“Hei, kau!” seru Todo.
Lelaki bercodet menoleh. Seorang perempuan muda—istri lelaki itu sekaligus ibu dari bocah yang disuapinya—mengambil sang bocah dari si lelaki.
“Hapemu sudah kujual,” kata lelaki bercodet. “Aku terpaksa harus menjambret barangmu itu untuk membeli makanan dan obat buat anakku.”
Suara lelaki itu lemah. Tak terlihat seperti orang yang belum lama dengan gagah dan nekat melakonkan penjambretan. Istrinya mendekap anaknya yang bermuka pucat lebih erat.
“Namaku Lak Wahar. Kau Todo, kan?”
Kini, Todo yakin sudah dengan apa-apa yang diduganya. Lelaki itu betul-betul Harwo, yang sudah bermalih nama menjadi Lak Wahar. Meski namanya sudah berubah, namun Todo masih bisa mengenalinya. Terutama karena codet di dahi kirinya itu. Codet yang dibuatnya sebagai sejarah luka di tubuh Harwo bertahun-tahun lalu.
Sejak lama Todo ingin menebus dosanya atas Harwo. Bagaimanapun, dirinyalah yang menyebabkan Harwo mesti dikeluarkan dari sekolah sehingga mengalami rentetan kemalangan sampai sekarang. Paling tidak itulah yang dilihatnya. Harwo menempati rumah yang jauh dari kata layak. Rupa istrinya polos tak disepuh riasan, juga anaknya yang tampak penyakitan.
Todo pikir, merelakan ponsel miliknya bisa menjadi tebusan yang sepadan atas dosa masa silamnya.
“Tak apa. hapeku itu untukmu saja. Anggap saja itu permintaan maafku karena kesalahan yang dulu pernah kuperbuat kepadamu.”
Pandangan Lak Wahar menyelidik. Lalu, ia menunduk dan berubah mengiba. Lelaki bertubuh liat dengan bentuk rahang yang keras itu tiba-tiba menangis sesenggukan. Refleks, Todo mendekatinya dan berusaha menenangkannya. “Tak apa. Tak masalah. Kau lebih membutuhkan itu daripada aku.”
“Maafkan aku, aku tidak bermaksud mencuri. Aku sama sekali tidak mau melakukan perbuatan biadab itu kalau saja bukan karena terpaksa. Lihat, anakku ini, ia tidak makan berhari-hari.”
Lak Wahar semakin mengiba. Todo mengusap-usap punggung lelaki yang tengah menunduk itu. Mata Lak Wahar menerka bagian belakang tubuh Todo. Sesaat saja.
“Ya sudah. Gunakanlah uang hasil penjualan hapeku itu untuk keperluanmu dan anak-istrimu. Aku ikhlas.”
“Terima kasih,” ujar Lak Wahar.
Tak berapa lama, Todo pamit undur diri. Ia mesti segera menuju rumah. Melati dan Mawar—istri dan putri semata wayangnya—pasti sudah tak sabaran menantikan kedatangannya. Ia sengaja tak mau lama bercakap-cakap dengan Lak Wahar. Ia merasa tidak nyaman sejak menginjakan kaki di depan rumah papan itu. Ia ingin lekas pulang, menciumi istri dan anaknya, dan memberikan mereka oleh-oleh yang telah dibelinya di kota seberang, tempat ia menghabiskan beberapa waktu belakangan untuk bekerja.
Todo menghentikan sebuah angkot. Angkot yang sepi. Hanya ada ia seorang diri. Dua menit setelah angkot berjalan, Todo memeriksa saku celananya. Kosong. Dompetnya hilang! Dompet berisi uang yang telah dikumpulkannya selama bekerja di luar kota. Dari jendela angkot, ia memandang panik ke arah luar. Di sana, di suatu trotoar, dua orang sedang berkejar-kejaran. Ia tak mengenal siapa lelaki yang berada di posisi belakang. Tapi ia tahu betul, orang yang berada di depan sambil menggondol sepucuk tas dan sedang dikejar-kejar itu tak lain adalah Harwo—yang sudah berganti nama jadi Lak Wahar!***
Tambun Selatan, 11 Juli-30 November 2019

Erwin Setia lahir tahun 1998. Penulis lepas. Menulis puisi, cerpen, dan esai. Tulisan-tulisannya pernah dimuat di berbagai media. Bisa dihubungi di Instagram @erwinsetia14 atau melalui surel: erwinsetia2018@gmail.com.