Cerpen Indarka P.P.
Moncong perak perahu sandek telah memagut bibir pantai pulau Kapuang, tempat di mana Badri menjalani nasib hidupnya. Sore ini arah angin memang sedang tidak bersahabat. Badri tahu gelagat alam demikian pertanda badai kemungkinan datang. Belumlah kepisnya terisi penuh, Badri terpaksa puas dengan enam ekor ikan sunu. Hasil yang tak sebanding daripada biaya perahu sandek yang ia sewa.
“Lupa mi jadi nelayan?” ketus Haji Jalili, memamer gigi taring emas sambil menulis nama Badri di buku catatan utang.
“Biasa tidak cepat ji cuaca berubah, Pak Haji. Saya pikir bisa maki melaut sampai malam.”
“Banyak sekali alasan ta’,” tanggap Haji Jalili, “Tunggakan ta’ tujuh ratus lima puluh ribu, nah. Aih, coba ada anak, Badri, bisa nanti kita wariskan ini,” tandasnya seraya menguar tawa.
Badri cuma tertunduk dan mengangguk. Lepas itu ia bertolak dari pangkalan perahu untuk pulang ke rumahnya di kampung Ujung Bulo. Petang menemani perjalanan yang bimbang. Dalam ceruk dada paling sunyi, gelombang gahar tiba-tiba muncul dan berdeburan dari ujung kaki hingga pusar kepala. Setengah lusin ikan sunu jelas tidak membuat Badri yakin bisa menebus riwayat utang di warung-warung tetangga. Artinya, lagi-lagi ia juga harus bersiap menahan bising amuk dari Muna.
Sejak pagi memang istrinya itu sudah berang setengah mati. Persediaan beras tinggal dua cangkir, sementara utang sudah bejibun. Suasana pagi itu tampak bancuh, seperti api obor yang melahapi dinding kayu rumah panggung mereka. Badri yang disergap gagu enggan menanggapi. Lantaran tak mau sia-sia menjadi abu, ia gegas keluar menuju beranda. Mula-mula ia mengambil potongan galah di sudut beranda sisi barat. Kemudian mengambil kepis dan badik yang menggantung di sisi timur. Kepis dikaitkannya pada ujung galah. Badik dililitkan memakai tali melingkari pinggang. Badri pun berjalan menuruni empat baris anak tangga. Sementara dari dalam dapur, mulut Muna terus-menerus memuntah kecam pada Badri, lelaki yang membuat dirinya pandai berpura-pura hidup tabah selama ini.
Persoalan-persoalan yang datang barang tentu tiada jauh dari urusan perut belaka. Hari-hari mereka bagai api dalam sekam. Prahara bisa mengemuka kapan saja. Oleh sebab itu, satu-satunya pengharapan Muna akan seorang anak sungguh menjadi pelita dalam kelam, yang tiap kali mampu mengendurkan amarahnya. Ia berpikir, kehadiran buah hati setidaknya mampu menepis letih yang tiada juga berpaling selama delapan tahun belakangan.
Sayang, harapan itu kini tinggallah omong kosong. Rupanya ada masalah pada kejantanan Badri. Itulah sebabnya sampai sekarang Muna tak kunjung mengandung, sebagaimana Badri yang tak juga kunjung berhasil menimang darah dagingnya. Begitu kira-kira kata seorang tabib yang pernah didatangi Badri dan Muna, beberapa waktu silam.
Gejolak-gejolak keji senantiasa berputar di kepala Badri sejauh kaki melewati satu-satunya jalur kampung Ujung Bulo. Menerobos remang malam, menyusuri jalan setapak pejal, menyapu kesiur angin yang membikin beku ikan-ikan di kepisnya. Di tengah langkah yang mulai gontai, tetiba mata Badri nyalang melihat sesuatu tergeletak sekitar delapan langkah dari tempat ia berdiri. Dalam denyut nadi terhitung, kepala Badri bergoyang-goyang menajamkan pandang. Seperti kerikil lolos dari gagang ketapel, Badri berlari ke arah di mana matanya tertuju. Begitu tahu benda apa yang ditemukannya, Badri lekas-lekas meraihnya sambil bersorai, “Sekomandi! Sekomandi!”
Ya, sekomandi, sebuah kain rajut yang konon bernilai tinggi. Dalam cerita-cerita tetua pulau Kapuang, sekomandi disebut-sebut cuma bisa dimiliki orang yang berderajat tingkat wahid. Itulah mengapa air muka Badri tampak takjub begitu jemarinya menyentuh selembar kain rajut itu. Lebih-lebih saat membayangkan betapa banyak duit yang bakal didapat apabila ia berhasil menjualnya. Selain itu, sekomandi diyakini pula sebagai simbol kesejahteraan. Barang siapa menyimpan baik-baik kain sekomandi, maka hidupnya akan bertabur berkah dan kecukupan. Namun, bagi Badri, pengertian yang kedua tak perlu diambil peduli. Ia lebih percaya kalau kesejahteraan justru akan datang dengan cara menjual sekomandi itu. Bukan sebaliknya.
Pusaran di kepala Badri pun lekas berganti. Ia merasa angan-angan untuk hidup sejahtera berhilir terbayang kian nyata. Karena enggan mematung lebih lama, Badri giat menggulung selembar sekomandi itu, lalu memasukkannya ke dalam kepis; menyelimuti ikan-ikan kedinginan. Lagipula waktu juga semakin merengkuh gelap. Angin menerjang pepohonan dengan tidak beraturan. Sekali dua kali air langit bahkan sudah melandai di kening Badri, bercampur dengan bulir-bulir keringatnya.
***
Muna mengguncang-guncangkan tubuh suaminya yang terlelap di atas dipan. Badri yang terkesiap mengacungkan badik di tangan kanannnya. Mata Badri merah mendelik penuh tanya ada apa?
“Di mana ki dapat ini?” suara Muna gemetar, iasorong sekomandi ke hadapan Badri.
“Kenapa kita ini? Bikin jantungan saja!” sergah Badri, berupaya memulangkan kesadaran, seraya meletakkan badiknya kembali.
“Dapat di mana ki ini sekomandi, heh!?” suara Muna terdengar lebih lugas.
“Di jalan.” Begitu kesadaran Badri kembali, ia mulai bercerita. Muna masih tugur berdiri, tiada berpaling sekata pun. Tapi begitu tiba pada bagian di mana Badri berniat menjual sekomandi itu, Muna buru-buru memotong.
“Gengge! Orang miskin punya sekomandi satu ji kemungkinannya!” Mata Muna melotot. Urat keningnya menjalar-jalar.
“Maksudnya mencuri? Jangan ki sembarang tuduh, Muna!”
“Cukup mi hidup sulit. Jangan mi ki bikin saya malu karena dibilang istri pencuri!”
Maka Badri bersumpah kalau sekomandi itu bukanlah hasil mencuri. Lantas Badri meyakinkan Muna kalau apa-apa yang dikhawatirkannya tidak akan terjadi. Kemudian tangan Badri merambati pundak Muna, merendahkan tubuh tegang itu untuk duduk di sebelahnya.
“Sekomandi ini, Muna,” kata Badri seraya mengambil alih kain dari tangan istrinya, “Akan na rubah hidup ta’.”
“Tidak i,” Muna menggeleng. Matanya berbalik menyoroti Badri dalam-dalam. “Anak ji ini yang bisa membuat semuanya lebih baik.”
Setitik air mata jatuh ke lengan legam Badri yang bersilang di pangkuan Muna. Mendadak beku mulut lelaki itu mendengar ucapan istrinya. Seingatnya, baru kali ini dadanya—yang ia tahbiskan sendiri setegar karang—runtuh oleh ungkapan yang dirapal serupa doa dari suara magis Muna, kawan hidupnya dalam penantian-penantian panjang. Satu windu bukan waktu sebentar bagi sepasang suami-istri itu menantikan anak. Juga bukan waktu yang singkat dalam menanggung penghakiman orang-orang yang kerap mengatai mereka.
Usai sekian menit bergeming, agaknya suasana berangsur berubah. Tampak Badri dan Muna sama-sama mulai beralih pikiran. Mereka merebahkan diri di atas dipan. Sekomandi pun lolos dari tangan Badri. Jari-jarinya yang terampil itu mengawalinya dengan mengurai kancing-kancing di pakaian Muna. Satu… tiga… lima… dan… belum tiba di kancing terakhir, Muna malah mengambil tindakan lain. Didorongnya dada Badri bangkit dari atas tubuhnya. Sambil menyelami alam pikir Badri lewat tatapan mata yang muskil dijelaskan dalam cerita ini, Muna menggulingkan tubuh satu kali, membalikkan ketakberdayaan. Bibir tipis perempuan itu tertarik ke dalam. Seulas senyum tertangkap mata Badri yang berada persis di bawah wajahnya. Perlahan Muna mendekatkan bibir ke daun telinga suaminya. Lembut sutera ia berbisik, “Pejamkan mata ta’.”
Mudah bagi Badri menuruti perintah banal Muna. Ia memejam dengan sungguh-sungguh, menanti kejutan di pagi yang ranum itu. Tangan kiri Muna sedikit demi sedikit merambat ke sekujur kening, kuping, bibir, leher, hingga dada Badri. Di waktu yang sama, tangan kanan Muna meraih badik yang tersungkur di sudut dipan. Sementara pejaman mata Badri masih rapat dan khusyuk menikmati penantian. Senyum Badri merekah tiap kali degup jantungnya dibuat laju lantaran sentuhan lembut tangan Muna.
Di atas tubuh Badri, Muna menatap masa depan pada selembar sekomandi yang sudah terjuntai ke tanah. Dan dalam posisi serupa, Muna juga melihat kejujuran pada badik yang tergenggam di tangan kanannya. Tak lama usai mengelus bibir sang suami, Muna mulai mengakhiri penantian-penantiannya yang panjang.
Dan waktu berpelesat sudah. Kini, satu nyawa telanjur tercerai dari raga salah seorang dari mereka. Karenanya, sejak pagi didewasakan siang dan menjadi celaka, siang dimatangkan malam dan berubah petaka, yang membusuk hanyalah burai-burai sekomandi, juga sesal di dada Badri. ***
Keterangan:
- Kita: anda, kamu
- Ta’: kepunyaanmu (uang ta’ = uangmu)
- Ji, mi, ki, pi, di, na, nah, maki, dst: klitika dalam bahasa orang-orang Sulawesi
- Gengge: umpatan

Indarka P.P, lahir di Wonogiri (Jawa Tengah). Saat ini bermukim di Mamuju (Sulbar). Menulis buku “Penumpasan” (Sirus Media, 2021), dan bergiat di Komunitas Kamar Kata.